Beragam, tetapi Satu Tujuan
Perlawanan dengan cara masing-masing terhadap Covid-19 oleh beragam individu membangkitkan optimisme. Semangat itu menjadi modal besar Indonesia melewati krisis Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS—Pada saat memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Rabu (20/5/2020), bangsa Indonesia masih berjibaku menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19. Beragam respons muncul terhadap pandemi ini; ada yang mengisolasi diri, mengambil kesempatan di tengah kemalangan sesama, atau acuh tak acuh. Namun, tak sedikit pula yang memilih bekerja melampaui kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.
Saat pendirian Budi Utomo, 112 tahun silam, orang-orang yang berkumpul dalam semangat memajukan bangsa—kendati berskala terbatas—bekerja melampaui batas identitas sosial dan kepentingan individu. Momentum itu yang dijadikan titik tolak merayakan kebangkitan nasional Indonesia.
Saat ini juga muncul individu dari beragam etnis, agama, kelas sosial, dan profesi yang bekerja sendiri ataupun secara komunal dalam satu tujuan yang sama, yakni membantu sesama berperang melawan Covid-19.
Selain tenaga medis, seperti dokter dan perawat yang merawat pasien Covid-19, ada individu-individu yang menyumbang materi dan keahlian untuk membantu. Mereka antara lain Ahmad Alghozi Ramadhant, Ariyo Zidni, Novi Kurnia, Ngademi Agung Firmansyah, Elina Ciptadi, Iqbal Elyazar, Irma Hidayana, dan Hana Krismawati.
Tak sedikit pula yang memilih bekerja melampaui kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.
Mereka berinisiatif membantu secara materi, membuat aplikasi pelacakan orang dalam pengawasan, pembuatan konten melawan hoaks Covid-19, meneliti Covid-19, dan membuat platform data.
Dalam perbincangan dengan delapan orang itu, Senin hingga Selasa (18-19/5), muncul kata kunci ”gotong royong”, ”pengabdian”, ”empati”, ”kegelisahan”, dan ”kontribusi” saat mereka bicara mengenai tindakan mereka masing-masing. Kata itu terkait dengan sesama.
Baca juga : Warisan Kepemimpinan Soekarno-Hatta, Gelorakan Persatuan di Sanubari Rakyat
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, berpendapat, upaya memutus mata rantai Covid-19 dari beragam segmen harus terus dijaga dan dikoordinasikan menjadi gerakan bersama. Sepatutnya, Indonesia yang berasal dari beragam suku, agama, ras, dan antargolongan bahu-membahu, bukan menjauhkan.
Imam mengingatkan agar Hari Kebangkitan Nasional jadi momentum merajut kembali residu pembelahan akibat perbedaan politik yang selama ini terbangun. Musibah bersama bisa menjadi media melakukan aksi bersama untuk memperkuat solidaritas nasional.
Pengajar Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Margana, menuturkan, solidaritas sosial dari individu yang beragam sejalan dengan semangat kebangkitan nasional. Hal ini merupakan modal besar bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis. Sebab, hal itu memperlihatkan bahwa kesadaran berbangsa masih ada dan mulai tumbuh di saat krisis.
Rasa empati
Kekhawatiran terjadi penularan Covid-19 di pedalaman Papua membuat Hana bersemangat menyelesaikan pemeriksaan spesimen pengujian Covid-19 tiap hari. Menjadi salah satu peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua, ia harus bekerja keras untuk cepat menyelesaikan seluruh pemeriksaan spesimen.
”Hampir dua belas jam setiap hari kami bekerja agar seluruh spesimen bisa diperiksa. Pokoknya, sampai hari habis, harus nol (spesimen) antrean lagi,” ujarnya.
Pemeriksaan spesimen yang diduga Covid-19 harus cepat selesai sehingga hasilnya bisa segera diterima oleh pasien dan petugas kesehatan. Jika hasil cepat diterima, tindak lanjut dari penanganan pasien juga akan cepat dilakukan.
Sementara itu, Agung bersama sukarelawan di Yayasan Gerakan Indonesia Sadar Bencana membuat program membantu ekonomi kepala keluarga pasien Covid-19, memberi bantuan kepada tenaga medis, seperti alat pelindung diri dan vitamin. Program lainnya ialah memberi bantuan bahan pokok kepada warga yang tinggal di episentrum penyebaran Covid-19, terutama di Jabodetabek. Agung dan teman-temannya menerima donasi publik.
”Kami tiap hari melihat kebaikan warga yang berpartisipasi dalam program. Itu memberi optimisme,” ujar Agung.
Dalam menyalurkan bantuan, kata Agung, pihaknya dibantu sukarelawan dari berbagai latar belakang profesi, kelompok, dan organisasi. Meskipun demikian, mereka mempunyai semangat yang sama, yakni ingin membantu sesama.
Rasa gelisah melihat korban berjatuhan akibat Covid-19 membuat Alghozi bersama tiga temannya menciptakan aplikasi pelacak lokasi terduga pembawa virus.
Nama aplikasi tersebut Fight Covid-19. Aplikasi itu awalnya digunakan Pemerintah Provinsi Bangka Belitung untuk melacak pergerakan orang yang baru datang dari episentrum Covid-19 ke Bangka Belitung. Setiap pendatang yang baru datang di Bangka Belitung diminta mendaftarkan diri lewat aplikasi Fight Covid-19.
Ariyo Zidni, pendongeng dan penulis cerita anak, mencoba berkontribusi menenangkan anak-anak agar tidak dirundung ketakutan berlebihan akibat Covid-19. Ia membuat dongeng bertema virus korona memakai cerita fiksi yang bisa menggambarkan situasi pandemi kepada anak-anak. Ariyo mengunggahnya ke Youtubedan Instagram.
”Saya berpikiran kalau bisa melakukan hal yang baik dan berguna, ya, dilakukan daripada memusingkan hal-hal negatif dan diam saja,” katanya.
Keresahan melihat kekacauan data dan informasi serta maraknya penyebaran hoaks terkait Covid-19 memantik Elina, Irma, dan Novi untuk membantu masyarakat melawan Covid-19 dengan data dan narasi.
Novi membuat konten digital dan video grafis melawan hoaks bersama kelompok Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) yang beranggotakan pengajar di 80 perguruan tinggi di Indonesia. Total ada 16 topik, 65 poster digital, dan dua video grafis yang dibuat dan disebarkan melalui media sosial.
Konten itu antara lain panduan menjaga diri dan keluarga dari Covid-19, ajakan tak mudik, dan sikap kritis melawan hoaks. Konten jaga diri dan keluarga dari Covid-19 diterjemahkan ke dalam 43 bahasa daerah.
”Kami merasakan apa yang dirasakan masyarakat umumnya. Kami beruntung memiliki teman dan jaringan. Kami ingin mengabdi kepada masyarakat dan ingin menjadi solusi dari masalah yang ada,” ujar Novi.
Irma dan sukarelawan laporcovid19.org mengumpulkan data berbasis laporan warga. Tak hanya terkait korban meninggal, warga juga diajak melaporkan kerentanan penyakit, bansos, dan pelanggaran pembatasan sosial berskala besar. Para sukarelawan juga memvisualisasikan data Covid-19.
”Transparansi informasi kunci membangun kepercayaan publik agar sama-sama memiliki kesadaran menghadapi wabah ini. Data yang terkumpul selain untuk advokasi dan edukasi publik, juga menjadi bahan kajian saintis,” katanya.
Kebijakan berbasis data
Bersama teman-temannya, Elina menginisiasi kawalcovid19.iduntuk menyediakan informasi akurat terkait Covid-19. Harapannya, masyarakat punya dasar informasi akurat dan tepercaya terkait kondisi sebenarnya. Dengan begitu, mereka lebih mampu melindungi dirinya dan orang di sekitarnya dari penularan Covid-19.
”Saya harap dari pengalaman menghadapi Covid-19 ini pemerintah juga bisa belajar menjadikan data sebagai dasar pembuatan kebijakan. Juga tanyalah kepada ahli yang mumpuni karena Indonesia tidak pernah kekurangan ahli,” ujar Elina.
Iqbal, sebagai seorang epidemiologi, selain meneliti untuk mendapat pemahaman soal penyebaran Covid-19, juga terlibat dalam pengumpulan data, memberi analisis serta rekomendasi ke pemerintah daerah yang bersedia berkolaborasi.
Dia juga menyampaikan pandangan kepada publik lewat media massa. Publik yang melek pengetahuan, katanya, amat penting dalam menghadapi wabah. Iqbal berharap epidemiologi benar-benar dijadikan pemandu menghadapi Covid-19.
Di tengah solidaritas itu, muncul perilaku individu yang tak menjalankan penjarakan fisik sehingga menyebabkan kekecewaan kelompok masyarakat yang lain. Hal ini kemudian memunculkan tagar #TerserahIndonesia yang menjadi populer di media sosial.
Awalnya, tagar #TerserahIndonesia muncul dari kicauan tenaga medis yang kecewa karena melihat banyak kerumunan. Hal ini dinilai berpotensi meningkatkan penularan Covid-19. Kemudian muncul pula melalui tagar itu beragam kritikan terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang dinilai cenderung membiarkan kerumunan.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada dan Direktur Eksekutif dari Youth Studies Centre (Yousure) Oki Rahadianto Sutopo mengatakan, bila tidak diatasi, hal ini akan memunculkan sikap acuh tak acuh. Padahal, saat ini semangat saling membantu agar bisa sama-sama bertahan amat diperlukan.
(BOW/NAD/AIK/TAN/SKA/DIV)