Dua Jaksa dalam Korupsi Proyek di Yogya Divonis Lebih Rendah dari Tuntutan
Dua jaksa yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) divonis bersalah dalam korupsi proyek saluran air hujan di Yogyakarta. Namun, KPK mengajukan banding atas putusan majelis hakim dalam kasus ini.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta memvonis bersalah dua jaksa dalam kasus korupsi proyek saluran air hujan di Kota Yogyakarta. Namun, mereka mendapat vonis lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi itu, jaksa KPK langsung mengajukan banding.
Dua jaksa yang divonis bersalah itu adalah Eka Safitra, jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Yogyakarta, dan Satriawan Sulaksono, jaksa di Kejari Surakarta, Jawa Tengah. Sidang pembacaan vonis terhadap keduanya digelar di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, Rabu (20/5/2020).
Dalam sidang itu, majelis hakim yang diketuai Asep Permana dengan anggota Samsul Hadi dan Rina Listyowati hadir secara langsung di ruang sidang PN Yogyakarta. Sementara itu, pihak-pihak lainnya, yakni kedua terdakwa, tim penasihat hukum dua terdakwa, dan jaksa penuntut umum KPK, mengikuti sidang dari tempat lain melalui konferensi video.
Sidang melalui konferensi video dilakukan untuk mencegah potensi penularan Covid-19. Selama sidang, pengunjung sidang juga mengenakan masker dan harus menjaga jarak satu sama lain sebagai bagian dari protokol pencegahan Covid-19.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, Eka Safitra dan Satriawan Sulaksono terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Eka Safitra dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 100 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” kata Asep Permana saat membacakan putusan.
Vonis terhadap Eka dan Satriawan itu lebih rendah daripada tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum KPK.
Sementara itu, Satriawan Sulaksono dijatuhi pidana penjara selama 1,5 tahun dan denda Rp 50 juta subsider kurungan selama satu bulan. Vonis terhadap Eka dan Satriawan itu lebih rendah daripada tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum KPK.
Pada persidangan sebelumnya, Eka dituntut pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 5 bulan kurungan. Sementara itu, Satriawan dituntut pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Kasus yang melibatkan Eka dan Satriawan berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 19 Agustus 2019. Dalam OTT itu, KPK menangkap Eka, Satriawan, serta seorang pengusaha asal Solo, Jawa Tengah, bernama Gabriella Yuan Anna Kusuma.
Eka dan Satriawan didakwa menerima suap Rp 221 juta dari Gabriella. Suap itu diberikan agar perusahaan yang dibawa Gabriella, yakni PT Widoro Kandang, bisa memenangi proyek rehabilitasi saluran air hujan (SAH) di Jalan Supomo, Yogyakarta, dan beberapa jalan di sekitarnya.
Rehabilitasi saluran air hujan Jalan Supomo merupakan proyek di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta. Nilai proyek tersebut sekitar Rp 10,8 miliar. Eka Safitra bisa terlibat dalam proyek itu karena dia merupakan anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejari Yogyakarta Tahun 2019.
Sebagai anggota TP4D, Eka antara lain bertugas memberi pendampingan hukum dalam sejumlah proyek di Yogyakarta, termasuk proyek SAH Jalan Supomo. Namun, bukannya menjalankan tugas dengan baik, Eka justru mengarahkan agar proyek itu dimenangi oleh perusahaan tertentu.
Sementara itu, Satriawan berperan mengenalkan Eka pada kontraktor atau pemilik perusahaan di Solo yang berminat mengikuti lelang proyek pemerintah di Yogyakarta. Dari proses itulah kedua jaksa tersebut bertemu dengan Gabriella yang kemudian menyerahkan uang Rp 221 juta agar bisa memenangi proyek SAH Jalan Supomo.
Namun, Eka dan Satriawan ternyata tidak hanya menerima suap dari Gabriella. Dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Yogyakarta, dua jaksa tersebut juga disebut menerima uang Rp 10 juta dari pengusaha asal Solo bernama Sumardjoko.
Uang itu diberikan agar perusahaan yang dibawa Sumardjoko bisa memenangi proyek pembangunan gedung SD Negeri Bangunrejo 2, Yogyakarta. Dengan pemberian uang dari Sumardjoko itu, total uang yang diterima Eka dan Satriawan Rp 231 juta.
Menanggapi vonis yang diterima Eka dan Satriawan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Wawan Yunarwanto mengatakan, pihaknya akan mengajukan banding. Keputusan mengajukan banding diambil karena pasal yang digunakan majelis hakim untuk memvonis Eka dan Satriawan berbeda dengan pasal yang dipakai JPU KPK dalam tuntutan.
Dalam tuntutan, JPU KPK menggunakan Pasal 12 huruf a UU Nomor 20 Tahun 2001 untuk menjerat Eka dan Satriawan. Namun, dalam putusannya, majelis hakim memilih menggunakan Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001.
Wawan memaparkan, dalam dakwaan terhadap kedua terdakwa, JPU KPK memang menggunakan dua dakwaan alternatif. Dakwaan pertama menggunakan Pasal 12 huruf a UU Nomor 20 Tahun 2001, sementara dakwaan kedua menggunakan Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001.
”Pasal 11 memang kita masukkan dalam dakwaan. Tapi yang kita buktikan dan masukkan dalam tuntutan itu Pasal 12 huruf a,” ujar Wawan saat dihubungi seusai sidang.
Menurut Wawan, JPU KPK memilih menggunakan Pasal 12 huruf a UU Nomor 20 Tahun 2001 karena pasal itu berkaitan dengan jabatan yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana korupsi. Dia menambahkan, pasal tersebut lebih tepat digunakan karena keterlibatan Eka dalam kasus ini berkaitan dengan jabatannya sebagai anggota TP4D.
Selain itu, Wawan menambahkan, JPU KPK juga mengajukan banding karena lamanya pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Satriawan ternyata kurang dari dua pertiga pidana penjara dalam tuntutan jaksa.
”Terkait putusan terhadap Pak Eka, kami mengajukan banding dengan alasan pasal yang digunakan oleh hakim berbeda dengan pasal yang ada di tuntutan. Untuk putusan pada Pak Satriawan, selain karena perbedaan pasal, pidana yang dijatuhkan kurang dari dua pertiga tuntutan jaksa,” ungkap Wawan.
Sementara itu, Eka Safitra mengatakan akan pikir-pikir lebih dulu sebelum mengambil sikap terhadap putusan majelis hakim. ”Terima kasih, Yang Mulia. Kami menghormati putusan Yang Mulia. Tapi kami pikir-pikir dulu, Yang Mulia,” ujarnya saat ditanya oleh majelis hakim.
Satriawan Sulaksono juga menyatakan pikir-pikir sesudah mendengarkan putusan yang diambil oleh majelis hakim. ”Saya mohon waktu berpikir supaya lebih tenang sebelum mengambil sikap,” katanya.
Sesuai aturan, para pihak terkait memiliki waktu tujuh hari untuk mengambil sikap terkait putusan majelis hakim itu.