Mendirikan Gubuk di Bukit hingga Mewaspadai Ancaman Ular demi Belajar Daring
Demi sinyal, siswa pedalaman Kalimantan Barat mendaki bukit, melintasi hutan, dan melawan ular agar bisa belajar daring. Para guru pun harus menempuh perjalanan ke pelosok karena tak semua siswa bisa mengakses internet.
Para siswa pedalaman Kalimantan Barat mencari sinyal di bukit melintasi hutan untuk mendapatkan sinyal internet demi belajar daring. Mereka mendirikan gubuk beratapkan dedaunan dan berdinding kulit kayu hingga harus mewaspadai ancaman ular.
Sudah sejak pertengahan Maret, terutama saat pandemi Covid-19 mulai merebak di Tanah Air, sejumlah siswa di Dusun Sidas Daya, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Ladak, Kalimantan Barat, belajar daring. Namun, tidak mudah bagi mereka mendapatkan sinyal internet karena harus berjalan kaki 1 jam 5 menit ke bukit.
Sejumlah siswa SMA Daya Pelita Sidas dari Dusun Sidas Daya, misalnya, harus berjalan kaki melintasi hutan sekitar 1 jam. Ada empat jembatan terbuat dari kayu besar tanpa pegangan di tepi yang mereka lintasi. Jembatan sederhana itu sepanjang 1 meter.
Jalan yang mereka lintasi juga bergelombang. Kemudian, saat hujan, jalanan licin. Buku dan telepon pintar mereka harus dibungkus di dalam plastik dan tas sehingga tidak terkena hujan saat di jalan.
Baca juga:Covid-19 dan Belajar Daring
Setelah 1 jam melintasi hutan, mereka sampai ke lereng bukit. Dari lereng bukit, memerlukan waktu sekitar 5 menit mencapai puncak bukit. Di puncak bukit, mereka telah membangun dua gubuk tempat berlindung.
Gubuk itu berukuran sekitar 2 meter x 1 meter, dindingnya dari kulit kayu tengkawang yang diperoleh dari sekitar lokasi, atapnya dari dedaunan. ”Kami memerlukan waktu sekitar empat hari mendirikan gubuk itu,” ujar Junaidi (18), siswa kelas XI IPS SMA Daya Pelita Sidas, Sabtu (16/5/2020). Napasnya masih terdengar kelelahan karena baru saja mendaki bukit.
Tugas dikerjakan dahulu dengan tulis tangan di rumah. Setelah itu, mereka foto lalu dikirim menggunakan Whatsapp (WA). Meskipun sudah bersusah payah mencari sinyal, kerap kali sinyal jelek.
”Untuk mengirim satu foto, siswa memerlukan waktu 30 menit. Sementara tugas yang dikirim sekitar empat. Ada delapan siswa SMA yang mengirim tugas. Selebihnya siswa SMP dan mahasiwa sehingga total di situ sekitar 20 orang,” ujar Junaidi.
Baca juga: Tergagap Pembelajaran Daring
Setiap ke bukit, para siswa membawa bekal makanan dan minuman. Mereka biasanya berangkat pada pagi hari dan hingga siang berada di sana. Setelah itu, pulang sebentar ke kampung dan kembali ke bukit pada sore hari. Itupun jika daya telepon pintar masih ada.
Tidak semua siswa memiliki telepon pintar. Mereka meminjam kepada teman-temannya untuk mengirim tugas. Mengisi daya telepon pintar juga hanya bisa pada malam hari menggunakan genset. Daerah itu belum dialiri listrik negara.
”Untuk membeli kuota internet, kami menitip ke teman yang berada di lokasi bersinyal internet. Setelah itu, baru kami bayar. Bisa juga titip ke teman yang kebetulan akan ke luar kampung,” ujarnya.
Untuk mengirim satu foto, siswa memerlukan waktu 30 menit. Sementara tugas yang dikirim sekitar empat. Ada delapan siswa SMA yang mengirim tugas.
Orangtua Junaidi petani karet dan peladang. Tidak mudah perekonomian keluarganya di tengah harga karet di tingkat petani hanya Rp 3.000 per kg. Meskipun demikian, ia tetap semangat belajar di tengah sinyal internet yang ala kadarnya.
Mewaspadai ular
Para siswa juga kini harus waspada karena ternyata ular pernah masuk ke dalam salah satu gubuk yang mereka bangun. ”Salah satu gubuk agak rusak karena ada orang yang ingin membunuh ular di dalam gubuk,” ungkap Ranti (16), siswi kelas XI IPA SMA Daya Pelita Sidas.
Gubuk yang mereka bangun masih bisa ditembus hujan. Sering kali mereka tidak bisa melanjutkan mengirim tugas karena hujan. Kalau tetap bertahan di gubuk dalam keadaan hujan, barang bawaan mereka akan basah kuyup.
Baca juga: Tangis karena Rindu akan Sekolah
Dengan tantangan seperti itu, mereka masih mendapatkan tantangan lainnya. Pernah mereka tidak bisa mengirim tugas meski sudah berada di atas bukit. Sinyal internet pada hari itu buruk sekali. ”Kami terpaksa menunda mengirim tugas. Besoknya, baru kami kirim. Guru bisa memahami kesulitan kami,” kata Ranti.
Ranti berharap sinyal internet dapat diakses hingga ke kampung mereka sehingga di lain waktu, jika terjadi situasi seperti sekarang, mereka tetap dapat belajar daring dari rumah. Kalau harus ke bukit terus, tantangan yang berat untuk mereka. ”Per bulan sekitar 10 GB kuota internet yang diperlukan,” ujarnya.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, mereka tetap semangat. Ranti bercita-cita menjadi Polwan. Dia juara dua sekaligus juara tiga di sekolahnya. Matematika merupakan mata pelajaran yang paling Ranti senangi. Ia kerap mendapatkan nilai 80.
Frans Mandagi, salah satu guru di SMA Daya Pelita Sidas, kerap menyemangati siswanya di tengah tantangan yang mereka hadapi. Ia sebagai guru memaklumi jika murid-murid yang kesulitan menapatkan sinyal internet terkadang terlambat mengumpulkan tugas.
”Kalaupun agak telat mereka mengumpulkan tugas tidak apa-apa yang penting mereka tetap memiliki niat teguh untuk belajar. Meskipun sulit, mereka tetap berusaha mengumpulan tugas tepat waktu,” ujar Frans.
Kemudian, ada alternatif lain. Jika sulit mengumpulkan tugas menggunakan WA, tugas dikerjakan di buku. Setelah masuk, bisa dikumpulkan. Untuk belajar dengan aplikasi lainnya juga tidak memungkinkan.
Baca juga: Sebulan yang Berat Diterpa Covid-19
Untuk wilayah-wilayah yang lebih sulit sinyal internet, guru mengantarkan tugas kepada perwakilan siswa. Kemudian, perwakilan siswa yang mengantar tugas tersebut kepada siswa-siswa lainnya di kampung.
Kisah tersebut hanya salah satu contoh tantangan proses pendidikan di pedalaman secara daring. Di wilayah lain ada juga yang mengalami hal serupa. Bahkan, untuk mengatasi keterbatasan internet, ada guru mengantar tugas ke rumah siswa serta menitipkan tugas kepada kurir untuk siswa yang berada di ladang.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalbar Suprianus Herman menuturkan, sebagian besar SMA/SMK di Kalbar sudah bisa belajar secara daring. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalbar juga sudah membuat aplikasi belajar.
Kalaupun agak telat mereka mengumpulkan tugas tidak apa-apa yang penting mereka tetap memiliki niat teguh untuk belajar.
Namun, yang menjadi masalah, tempat tinggal siswa banyak yang tidak ada sinyal dan listrik. ”Dalam kondisi seperti itu, tergantung dari kreativitas kepala sekolah dan guru dalam menyikapi situasi,” ujarnya.
Untuk mengantar soal ke rumah siswa ada yang menggunakan kurir. Di sejumlah sekolah, guru ada juga yang mengantarkan sendiri soal ke rumah siswa. Bahkan, saat pengumuman kelulusan SMA beberapa waktu lalu, ada guru mengantarkan amplop hasil kelulusan siswa sampai ke rumah siswa.
Baca juga: Momok Pemiskinan di Masa Pandemi Covid-19
Guru mengendarai sepeda motor masuk ke kampung-kampung melintasi hutan, jalan berlumpur, dan licin diguyur hujan. Sebab, siswa tidak bisa melihat pengumuman kelulusan secara daring akibat keterbatasan jaringan internet dan listrik.
Jadi, menurut Herman, di tengah situasi saat ini kreativitas dan inovasi para kepala sekolah dan guru sangat menentukan. ”Inovasi tidak mesti harus daring atau digital. Situasi di setiap daerah berbeda-beda,” ujarnya.
Pengajar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura Pontianak, Aswandi, menuturkan, itulah kendala yang dihadapi dunia pendidikan saat ini. Maka, muncul program pemerintah pembelajaran melalui televisi karena internet terbatas. Keterbatasan internet membuat guru ke rumah siswa mengantarkan tugas.
”Kita belum siap dengan pembelajaran secara daring. Efektivitasnya kurang. Daerah yang jaringan internetnya bagus pun terkendala. Pengeluaran pulsa meningkat, muncul kendala lain,” kata Aswandi.
Pemerintah hendaknya membangun infrastruktur internet untuk penunjang belajar daring sehingga jaringan internet bisa menjangkau berbagai wilayah. Kemudian, kondisi saat ini juga mengingatkan kembali bahwa pendidikan ternyata tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah bersama orangtua. Namun, tidak banyak orangtua mampu melakukannya.