Awasi Politisasi Bansos, Bawaslu Jateng Patroli di Medsos
Sebelumnya, mencuat kasus terkait dugaan politisasi bansos di Kabupaten Klaten dan Kota Semarang, Jawa Tengah. Namun, Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah tak bisa diterapkan karena belum ada penetapan paslon.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Badan Pengawas Pemilihan Umum Jawa Tengah mendesak para kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak memolitisasi bantuan sosial di masa pandemi Covid-19 dan menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2020. Untuk mencegah hal itu, Bawaslu berpatroli di media sosial.
Upaya itu dilakukan mengingat politisasi bansos menjadi salah satu kasus yang ditangani Bawaslu kabupaten/kota di Jateng pada masa Pilkada 2020. Hingga Rabu (20/5/2020), total ada 69 dugaan kasus pelanggaran dan 53 kasus di antaranya diproses lebih lanjut.
Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Jateng, Muhammad Rofiuddin, Kamis (21/5/2020), mengatakan, telah mencegah agar tak ada politisasi bansos terkait Covid-19. Surat kepada kepada para kepala daerah juga telah dikirim.
"Bawaslu Jateng sudah berkirim surat kepada para kepala daerah, wakil kepala daerah, dan pejabat agar tak ada penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi-kelompok. Bantuan agar tetap disalurkan tanpa diembel-embeli kepentingan politik," ujar Rofiuddin.
Ia menambahkan, terkait pengawasan, Bawaslu akan terus mengawasi secara langsung maupun patroli di media sosial. Apabila ada kasus, maka akan segera diusut. Masyarakat pun diharapkan melapor jika mengetahui ada penyalahgunaan bantuan sosial.
Sebelumnya, pada akhir April 2020, media sosial diaramaikan botol hand sanitizer yang ditempeli stiker bergambar wajah Bupati Klaten Sri Mulyani. Akan tetapi, pada unggahan lainnya, setelah stiker itu dicopot, terdapat tulisan stiker bertuliskan Kemensos.
Sri Mulyani sendiri membantah menggunakan bansos untuk kampanye. "Oh, ya enggak (terkait kampanye). Saya, kan, bukan calon (kepala daerah). Saya sekarang memang bekerja selaku kepala daerah," katanya Rabu (29/4). (Kompas.id, 29/4/2020).
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Sri Wahyu Ananingsih menuturkan, berdasarkan rapat dengan Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota belum bisa diterapkan dalam kasus itu.
"Sebab, tidak memenuhi unsur penetapan pasangan calon. Hingga kini, belum ada penetapan pasangan calon dalam Pilkada 2020. Keputusannya ialah penerapan Pasal 76 ayat (1) huruf (d) UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah," kata Ananingsih.
Adapun keputusan dari Bawaslu Klaten, lanjut Ananingsih, yakni rekomendasi yang diteruskan ke Menteri Dalam Negeri, dengan tembusan ke Bawaslu Jateng dan pimpinan DPRD Klaten.
Hingga kini, belum ada penetapan pasangan calon dalam Pilkada 2020. Keputusannya ialah penerapan Pasal 76 ayat (1) huruf (d) UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. (Sri Wahyu Ananingsih-Bawaslu Jateng)
Di Kota Semarang, bansos juga sempat diperbincangkan karena terdapat stiker bergambar Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu. Selain itu, ada slogan ”Bergerak Bersama” dan ”Semarang Semakin Hebat”.
Saat itu, Hendrar membantah telah melakukan pencitraan. ”Mengenai pencitraan dan lain-lain sudah cukup. Saya sudah sejak 2010 di pemerintahan dan saya pikir tak perlu pencitraan-pencitraan lagi. Kami total membuat Kota Semarang lebih baik,” ujarnya. (Kompas.id, 4/5)
Kasus tersebut, kata Ananingsih, penanganannya sama dengan Klaten. Namun, baik UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Guubernur, Bupati, dan Wali Kota maupun UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah tak bisa diterapkan dalam kasus tersebut.
"Berdasarkan rapat pleno, Bawaslu belum memiliki cukup bukti, sedangkan masa waktu penanganan kasus hanya lima hari (sehingga kasus tak dilanjutkan)," ujarnya.
Adapun dari 53 kasus yang ditangani Bawaslu selama masa Pilkada 2020, 42 di antaranya ialah pelanggaran administrasi terkait tahapan seleksi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sementara 11 kasus lainnya yakni pelanggaran perundang-undangan hukum lainnya. "Selain dugaan penyalahgunaan wewenang dengan terlapor Bupati Klaten, 10 kasus lainnya yakni terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN)," kata Ananingsih.