Pemberian Honor Bulanan Forkopimda Flores Timur Dipertanyakan
Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Flores Timur, NTT, mendapat honor Rp 20 juta per bulan.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Honor para anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sebesar Rp 20 juta per bulan dipertanyakan. Dasar pemberian honor dipertanyakan karena mereka sudah digaji lembaganya masing-masing.
Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mendasari pembentukan forkopimda, keanggotaannya meliputi sejumlah unsur. Pada Pasal 23 (3) disebutkan, anggota forkopimda provinsi dan forkopimda kabupaten/kota terdiri atas pimpinan DPRD, pimpinan kepolisian, pimpinan kejaksaan, dan pimpinan satuan teritorial TNI di daerah. Namun, tidak diatur mengenai honorarium para anggotanya.
Ketua Koalisi Rakyat Bersatu Flores Timur (KRBF) Maria Sarina Romakia, yang dihubungi di Larantuka, Sabtu (23/5/2020), mengatakan, Flores Timur (Flotim) termasuk salah satu daerah termiskin di Nusa Tenggara Timur. Kemiskinan pula yang membuat 30-40 persen warga di sana memilih menjadi pekerja migran di luar negeri.
”Coba bayangkan, daerah dengan PAD hanya Rp 50 miliar, masih memaksakan diri memberi honor kepada para forum komunikasi pimpinan daerah, masing-masing Rp 20 juta per bulan setelah dipotong pajak. Untuk apa honor itu diberikan? Mereka sudah digaji dari lembaga masing-masing,” kata mantan Kabag Humas Polres Flotim itu.
Apa dasar pijakan perbup sebagai dasar penjabaran dari perda tentang honor Forkopimda senilai Rp 20 juta per bulan, dipotong pajak itu. (Hendrik Ara Lamarian)
Purnakarya Polri dengan pangkat komisaris ini mengatakan, anggota forkopimda boleh saja menerima honor Rp 2 juta-Rp 3 juta, misalnya karena memberi ceramah, pertemuan, atau kegiatan lain. Namun, tidak mendapat honor rutin setiap bulan dengan nilai seperti itu.
Honor itu diberikan kepada forkompinda sejak 2013 hingga kini. Besaran honor awal-awal dulu berkisar Rp 3 juta per bulan. Honor terus naik hingga Rp 20 juta.
Kondisi itu terasa kontras dengan kondisi sosial warga yang selain dibelit kemiskinan, juga selalu kesulitan air bersih seperti di Kecamatan Ile Boleng, Pulau Adonara. Mereka mengonsumsi air hujan. Bertahun-tahun mereka membuat bak di samping rumah untuk menampung air hujan yang jatuh dari atap. Sebagian warga membeli air tangki Rp 600.000-Rp 700.000 per tangki.
”Kondisi sanitasi, kebersihan lingkungan, dan kesehatan warga sangat memprihatinkan. Air bersih, salah satu kebutuhan dasar yang tidak boleh diabaikan pemda,” kata Maria.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, mengatakan, tidak ada undang-udang yang mewajibkan kepala daerah memberi honor khusus kepada kepala kejaksaan negeri, komandan kodim, kepala polres, dan para pimpinan DPRD. Para pejabat negara itu sudah digaji sesuai aturan yang berlaku.
”Bupati Flotim menerbitkan peraturan bupati tentang pemberian honor ini. Namun, atas dasar apa mereka menerbitkan perbub tersebut. Saya menilai, honor ini sebagai upaya menutupi semua kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di daerah itu. Sejumlah kasus dugaan korupsi disuarakan masyarakat, tetapi tidak pernah diproses di pengadilan,” kata Tuba Helan.
Ia juga mempertanyakan peran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT. Saat aparat penegak hukum di Flotim tidak bekerja serius menangani KKN di daerah itu, BPKP mestinya berperan melakukan pengawasan dan audit anggaran pembangunan di daerah.
APBD
Tokoh Muda Flores Timur Hendrik Ara Lamarian mengatakan, honor itu ditetapkan dalam APBD, antara bupati dan DPRD. Besaran honor itu sudah sesuai standar biaya umum yang dibuat Bupati Flotim.
Namun, kata dia, perda dan perbup bukan segala-galanya, termasuk dalam mengatur uang negara yang ada di daerah. Ia menilai honor forkopimda sangat fatal.
Perda APBD bertentangan dengan aturan rujukan di atasnya. Bupati tidak mendapat kewenangan, baik secara delegasi maupun mandat dari peraturan lebih tinggi, yakni mengatur keuangan sesuai kepentingan mereka.
”Apa dasar pijakan perbup sebagai dasar penjabaran dari perda tentang honor forkopimda senilai Rp 20 juta per bulan, dipotong pajak itu. Mengapa bupati menyusun standar biaya umum untuk honor itu,” kata Lamarian.
Kepada Kompas, Kepala Kejaksaan Negeri Flotim Asbach mengakui menerima honor tersebut. Honor itu diberikan sejak sebelum ia menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Flotim. Artinya, pejabat-pejabat sebelumnya juga menerima.
”Saya terima bukan atas nama pribadi, tetapi karena jabatan sebagai forkopimda. Tidak hanya saya, tetapi juga kepala polres, komandan kodim, dan beberapa lagi yang tergabung dalam Forkopimda Flotim,” kata Asbach.
Dikonfirmasi melalui aplikasi percakapan, Bupati Flotim Anton Hubertus Gege Hadjon tidak membalas pertanyaan seputar honorarium bulanan itu. Saat ditelepon pun tidak diangkat.