Penerapan Normal Baru Harus Penuhi Sejumlah Syarat Ketat
Sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum kebijakan normal baru diterapkan. Tanpa itu, kebijakan normal baru justru bisa menambah jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menerapkan kebijakan normal baru (new normal) di tengah pandemi Covid-19 harus didahului kajian mendalam. Sejumlah syarat utama, mulai dari pengendalian penularan penyakit Covid-19 hingga penyediaan layanan kesehatan, harus benar-benar memadai. Tanpa itu, normal baru rentan memicu lonjakan kasus Covid-19.
”Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah sudah tidak ada outbreak atau peningkatan kasus luar biasa,” kata ahli epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, Selasa (26/5/2020), di Yogyakarta.
Riris mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan pedoman mengenai syarat untuk memberlakukan kebijakan normal baru. Direktur Regional WHO untuk Eropa Hans Henri P Kluge menyebut, ada enam syarat yang harus dipenuhi sebelum kebijakan normal baru diberlakukan.
Syarat pertama adalah bukti yang menunjukkan penularan penyakit Covid-19 sudah terkendali. Kedua, sistem kesehatan, termasuk rumah sakit, memiliki kapasitas merawat, mengetes, menelusuri kontak, dan karantina terhadap para pasien Covid-19.
Ketiga, lonjakan kasus di tempat-tempat berisiko tinggi, misalnya panti jompo dan permukiman padat penduduk, harus diminimalkan. Keempat, protokol kesehatan di tempat kerja harus diberlakukan, misalnya dengan menjaga jarak, memakai masker, dan menyediakan tempat cuci tangan. Kelima, risiko terjadinya kasus impor bisa ditekan. Keenam, masyarakat bisa berpartisipasi dan terlibat aktif dalam masa transisi menuju kondisi normal baru.
Riris memaparkan, esensi kebijakan normal baru adalah penerapan pembatasan sosial yang lebih longgar agar aktivitas masyarakat bisa berjalan kembali, Namun, masih memungkinkan adanya pengendalian penularan penyakit Covid-19.
”Thenew normal itu bagaimana kita membuat intervensi social distancing (pembatasan sosial) yang lebih longgar, tetapi masih memungkinkan mengendalikan transmisi (penularan) dan pada sisi yang lain bisa menggerakkan roda kehidupan yang selama ini berhenti,” papar Riris.
Riris menyatakan, salah satu yang harus diperhatikan terkait kebijakan normal baru adalah kapan waktu tepat memberlakukan kebijakan tersebut. Dia menyebut, jika kebijakan normal baru diberlakukan saat kasus Covid-19 masih tinggi, hal itu berpotensi meningkatkan penularan yang terjadi.
”Ketika transmisi masih sangat tinggi dan kita belum berhasil menurunkannya, maka new normal itu akan meningkatkan transmisi lagi,” ujar Riris.
Untuk melihat bagaimana kondisi penularan Covid-19, Riris menuturkan, harus dilihat kondisi setiap daerah di Indonesia. Sebab, kondisi penularan Covid-19 di setiap daerah itu berbeda-beda.
”Ada daerah yang baru mulai naik, ada daerah yang kemudian sudah bisa mulai mengendalikan penularan,” katanya.
Ketika transmisi masih sangat tinggi dan kita belum berhasil menurunkannya, maka new normal itu akan meningkatkan transmisi lagi.
Riris juga mengingatkan, setelah kebijakan normal baru diberlakukan, pemerintah juga harus tetap siap menghadapi lonjakan kasus Covid-19. Dia menambahkan, apabila terjadi lonjakan kasus, pemerintah juga harus siap untuk mengetatkan kembali pembatasan sosial untuk menekan penularan yang terjadi.
”Misalnya setelah new normal tapi kemudian tiba-toba ada outbreak (lonjakan kasus), ya harus ada pengetatan social distancing lagi,” ungkap Riris.
Persiapan di DIY
Salah satu daerah yang sudah menyiapkan diri untuk menerapkan kebijakan normal baru adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Saat ini, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY sedang menyiapkan protokol atau aturan mengenai penerapan kebijakan normal baru.
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji menyatakan, kebijakan normal baru diambil agar aktivitas masyarakat bisa berjalan, tetapi aman dari penularan Covid-19. Oleh karena itu, pada masa normal baru, ada protokol pencegahan penularan Covid-19 yang wajib ditaati seluruh warga.
Protokol itu antara lain berupa kewajiban memakai masker, menjaga jarak dengan orang lain, dan mencuci tangan sesering mungkin. Menurut rencana, protokol tersebut akan diterapkan di banyak lokasi, misalnya perkantoran, sekolah, pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan obyek wisata.
”Kita, kan, belum tahu penularan Covid-19 ini sampai kapan, sementara masyarakat juga butuh aktivitas harian. Oleh karena itu, kita perlu menyusun protokol bagaimana aktivitas masyarakat bisa berjalan, tetapi tetap waspada terhadap penularan Covid-19,” ujar Kadarmanta.
Kadarmanta menuturkan, dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat, penularan Covid-19 bisa ditekan meskipun masyarakat diizinkan untuk kembali beraktivitas. Dia juga meyakini, jika seluruh warga menaati protokol kesehatan yang sudah ditetapkan, penerapan kebijakan normal baru tidak akan membuat jumlah kasus Covid-19 di DIY melonjak.
Akan tetapi, Kadarmanta belum bisa memastikan pelaksanaan normal baru. Dia menyebut, penerapan kebijakan itu masih harus dibicarakan dengan sejumlah pihak, termasuk pemerintah kabupaten/kota di DIY. ”Tentang waktunya, masih harus kita kaji bersama. Tapi itu harus kita persiapkan sejak sekarang,” tutur Kadarmanta.