Risiko Penularan Covid-19 di Jatim Masih Tinggi, Kondisi Normal Baru Belum Bisa Diterapkan
Risiko penularan antarmanusia dalam wabah penyakit akibat virus korona jenis baru atau Covid-19 di Jawa Timur masih tinggi. Wabah tak kunjung mereda dengan jumlah kematian dan kasus terus naik.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Risiko penularan antarmanusia dalam wabah penyakit akibat virus korona jenis baru atau coronavirus disease 2019 (Covid-19) di Jawa Timur masih tinggi. Jumlah kematian dan warga yang positif Covid-19 terus naik. Kondisi normal baru belum bisa diterapkan di wilayah ini.
Kasus warga Jatim terjangkit Covid-19 pertama kali diumumkan pada Selasa (17/3/2020). Saat itu enam warga Surabaya serta dua warga Kota Malang dan Kabupaten Malang dinyatakan positif Covid-19. Sampai Rabu (27/5/2020) atau 73 hari kemudian, jumlah kasus positif Covid-19 menjadi 3.939 jiwa. Rata-rata harian di Jatim terjadi penambahan 145 orang yang positif Covid-19.
Hingga Rabu ini, dari 3.939 warga positif, sejumlah 322 orang meninggal. Sebanyak 3.069 orang masih dirawat, sedangkan 522 orang dinyatakan sembuh. Rata-rata harian kematian adalah 4-5 warga meninggal karena Covid-19.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa di Surabaya mengakui wabah belum mereda. Jumlah kasus tak pernah turun alias selalu naik dan bertambah. Jumlah kematian, pasien dirawat, pasien sembuh, pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang dalam pengawasan (ODP) juga naik. Untuk PDP ada 5.923 jiwa dan ODP 23.933 jiwa.
”Belum bisa Jatim menerapkan newnormal karena tingkat penularan masih tinggi,” ujar Khofifah, mantan Menteri Sosial. New normal dimaksud ialah normal baru atau kelaziman baru, terutama menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dan protokol kesehatan. Perilaku baru ini dibutuhkan agar masyarakat mampu bertahan hidup dalam masa pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan mereda.
Khofifah mengatakan, tingkat penularan di Jatim 1,3 persen. Artinya, 10 warga positif Covid-19 kurang dalam sepekan menjadi 13 orang. Tingkat penularan tertinggi ada di Surabaya atau ibu kota Jatim yang mencapai 1,6 persen. Pelonggaran terhadap pembatasan sosial aktivitas masyarakat baru bisa dilakukan paling tidak jika tingkat penularan jauh di bawah 1 persen.
Tingkat penularan tinggi amat terkait erat dengan kepatuhan masyarakat untuk melaksanakan protokol kesehatan. Penularan Covid-19 selama ini bisa dicegah dengan menjaga jarak fisik, tidak kontak dengan yang terjangkit, menjalani perilaku hidup bersih dan sehat, kerap mencuci tangan dengan sabun dan air, menjaga pola asupan tetap bergizi dan bervitamin, menghindari kerumunan, hingga karantina.
Selain itu, penularan bisa ditekan dengan mematuhi anjuran pemerintah, antara lain tidak mudik, yang sakit jangan kontak atau menulari orang lain, jujur dengan kondisi kesehatan, dan mau bercerita tentang riwayat perjalanan atau kontak dengan kalangan potensial terpapar Covid-19. ”Keberhasilan meredam wabah amat bergantung pada masyarakat,” kata Khofifah.
Belum bisa Jatim menerapkan newnormal karena tingkat penularan masih tinggi.
Upaya pemerintah dengan menerapkan kebijakan khusus, antara lain pembatasan sosial berskala besar di Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik) serta Malang Raya (Kota dan Kabupaten Malang serta Batu), memproduksi dan menyalurkan alat pelindung diri, masker, obat-obatan, alat tes cepat, vitamin, dan cairan pembersih, akan efektif jika ada kesadaran publik dalam menerapkan protokol kesehatan.
Ketua Gugus Kuratif Satuan Tugas Covid-19 Jatim Joni Wahyuhadi menambahkan, sejak kasus ditemukan, tim terpadu di provinsi terus mencoba memperluas cakupan tes cepat dan PCR. Selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Surabaya Raya sejak 27 April, telah dilaksanakan tes cepat untuk 25.700 orang dengan hasil 2.000 orang reaktif. Jika separuh saja dari yang reaktif itu terkonfirmasi menjadi positif Covid-19, tentu berkolerasi dengan peningkatan kasus baru.
Untuk itu, peningkatan kasus warga positif Covid-19 masih akan terus terjadi sampai cakupan tes cepat atau PCR menjangkau seluruh populasi Jatim yang mencapai 40 juta jiwa. Di sisi lain, jika tes cepat meluas dan yang reaktif masih terus ditemukan, apalagi dalam jumlah banyak, bisa diartikan tingkat penularan penyakit ini masih tinggi.