Kasus Masih Tinggi, Gubernur Sulsel Optimistis Dapat Kendalikan Pandemi
Gubernur Sulsel optimistis dapat mengendalikan penyebaran Covid-19 dan siap melakukan relaksasi walau angka positif terus naik.
Oleh
Reny Sri Ayu
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah menyatakan optimismenya bisa mengendalikan laju penyebaran Covid-19 dan siap melakukan relaksasi pembatasan sosial walau kecenderungan angka positif terus naik beberapa hari terakhir. Untuk relaksasi, pemerintah hanya perlu meyakinkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.
”Saya meyakini Covid-19 di Sulsel sudah dalam kendali kita. Tinggal bagaimana kita terus mendorong masyarakat untuk lebih disiplin dan patuh ikuti anjuran pemerintah, khususnya protokol kesehatan,” kata Nurdin di Makassar, Kamis (28/5/2020).
Dua daerah di Sulsel sebelumnya melaksanakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yakni Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Makassar melaksanakan dua periode PSBB selama 24 April-22 Mei 2020, sementara Gowa hanya satu periode PSBB, yakni pada 4-17 Mei 2020.
Berdasarkan data Sulsel Tanggap Covid-19, jumlah kasus positif, Kamis (28/5/2020) hingga pukul 20.47 Wita, bertambah 46 kasus dari sehari sebelumnya menjadi 1.427 kasus. Dari jumlah itu, 823 orang dirawat, 532 orang sembuh, dan 72 orang meninggal.
Pelaksanaan PSBB, terutama untuk Kota Makassar yang menjadi episentrum Covid-19 di Sulsel, dimaksudkan memutus mata rantai penyebaran virus korona. Begitupun di Gowa, yang saat menerapkan PSBB itu jumlah kasusnya kedua tertinggi di Sulsel. Namun, seusai PSBB, angka positif tak kunjung turun.
Pelaksanaan PSBB di Makassar, misalnya, diwarnai longgarnya aturan di sana-sini. Bahkan, saat periode perpanjangan PSBB, hampir semua toko sudah kembali beroperasi dan warga memenuhi jalan-jalan seolah tak ada PSBB. Seusai Idul Fitri, mal dan pusat perbelanjaan mulai beroperasi dan ramai dikunjungi warga.
Namun, Nurdin mengatakan, meningkatnya angka positif Covid-19 di Sulsel disebabkan gencarnya pemerintah melakukan tes cepat massal. ”Ada kaitan dengan penelusuran masif yang kami lakukan dan tes cepat serta pemeriksaan PCR,” ujarnya.
Selain itu, Nurdin menambahkan, kapasitas laboratorium untuk pemeriksaan sampel juga meningkat sehingga hasil pemeriksaan dengan cepat dapat diperoleh. ”Selain itu, adanya kluster baru, seperti Temboro, mahasiswa asal Arab Saudi, dan TKI dari Malaysia,” kata Nurdin.
Beberapa hari terakhir, sebaran Covid-19 di Sulsel kian meluas. Bahkan, wilayah kabupaten paling jauh dari ibu kota provinsi, yakni Luwu Timur, mengalami lonjakan kasus yang cukup tinggi. Lonjakan kasus di Luwu Timur itu di antaranya berasal dari PT Vale dan santri asal Temboro, Jawa Timur.
Untuk menekan laju penyebaran virus, Pemerintah Provinsi Sulsel menyiapkan sejumlah hotel untuk mengisolasi semua warga yang terkonfirmasi reaktif atau positif. Program yang dinamakan ”wisata Covid-19” itu tak sekadar mengisolasi warga, tetapi mengedukasi dan selanjutnya mereka diharapkan turun ke masyarakat untuk ikut melakukan sosialisasi.
”Gugus tugas, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sudah melakukan upaya maksimal, termasuk sosialisasi secara masif agar warga patuh pada protokol kesehatan. Upaya sinergi juga dilakukan dengan menghadirkan ’wisata Covid-19’ yang mana semua orang yang terkonfirmasi positif ditarik ke Makassar sehingga lebih mudah dikendalikan,” kata Nurdin.
Sementara itu, sosiolog Universitas Hasanuddin, Makassar, Sawedi Muhammad, mengatakan, PSBB yang terkesan gagal dilakukan tak semata karena warga yang abai. Namun, menurut dia, pemerintah juga tak tegas menegakkan aturan yang mereka sosialisasikan terkait PSBB.
”Kalau bicara relaksasi dan memasuki tatanan kehidupan baru, masyarakat sebenarnya siap. Masyarakat ini bisa diatur sepanjang pemerintah tegas menegakkan disiplin. Jika pemerintah memberikan arahan yang jelas dan mau menegakkan disiplin, ada pemberian sanksi, saya kira tak ada masalah dan warga siap memasuki tatanan kehidupan baru,” kata Sawedi.
Sawedi juga mengatakan, masyarakat bukan tak sadar soal pandemi ini. Namun, pembangkangan terjadi saat melihat pemerintah tak tegas dengan apa yang disosialisasikan.
Selain itu, Sawedi menjelaskan, ada kesan tidak padu antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota hingga pusat hingga urusan bantuan sosial yang tak tuntas. Padahal, masyarakat melihat ada hak mereka di situ dan ada dana besar untuk penanganan Covid-19.