Mekanisme Nomal Baru di Palangkaraya Belum Disiapkan
Pemerintah Kota Palangkaraya belum menyiapkan kebijakan juga mekanisme penerapan normal baru di tengah pandemi Covid-19. Namun, hingga kini belum ada kajian terkait normal baru tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Palangkaraya belum menyiapkan kebijakan dan mekanisme penerapan normal baru di tengah pandemi Covid-19. Meskipun demikian, pemerintah berencana menerapkan normal baru sejalan dengan pelaksanaan pembatasan sosial kota humanis dengan skala kelurahan.
Wali Kota Palangkaraya Fairid Naparin menjelaskan, Kota Palangkaraya masuk dalam daftar 25 kabupaten/kota di Indonesia yang bersiap menerapkan normal baru di Indonesia. Menurut Fairid, hal tersebut merupakan tanggung jawab baru dari pemerintah pusat yang harus dilaksanakan dengan baik.
”Itu adalah bentuk perhatian pemerintah pusat untuk masyarakat Palangkaraya di tengah pandemi. PSKH (pembatasan sosial kota humanis) menuju normal baru,” kata Fairid di Palangkaraya, Kamis (28/5/2020).
Meskipun demikian, hingga kini pembahasan penerapan normal baru belum selesai. Belum ada draf kebijakan untuk pelaksanaan ataupun rancangan mekanisme normal baru. ”(Mekanisme) seperti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat saja,” ujar Fairid.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Palangkaraya selesai melaksanakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama dua minggu sejak Senin, 11 Mei 2020, sampai Minggu, 24 Mei. Setelah dievaluasi, PSBB tidak dilanjutkan dan diganti dengan PSKH dengan skala kelurahan.
PSKH, kata Fairid, merupakan kebijakan pembatasan sosial langsung di kelurahan-kelurahan. Fairid berharap kebijakan itu bisa menjawab keraguan banyak pihak dengan keputusan tidak diperpanjangnya PSBB di Kota Palangkaraya.
Selama PSBB berlangsung, dari data yang Tim Gugus Tugas Covid-19 Kota Palangkaraya terus terjadi penambahan kasus terkonfirmasi positif. Hingga kini, jumlah kasus positif di Palangkaraya mencapai 99 orang, jumlah meninggal tiga orang, dan jumlah sembuh mencapai 52 orang.
Dengan begitu, Kota Palangkaraya menjadi wilayah dengan jumlah kasus paling banyak dari 14 kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kalimantan Tengah.
Wacana penerapan normal baru di Kota Palangkaraya sebelumnya sudah didengungkan oleh Ketua DPRD Kota Palangkaraya Sigit K Yunianto pada Senin, 18 Mei 2020. Ia yang baru melakukan pertemuan dengan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) mulai gencar mengajak pemerintah daerah untuk menerapkan normal baru.
Menurut Sigit, normal baru merupakan tatanan kehidupan baru untuk menghindari dampak buruk virus korona secara berkelanjutan. Normal baru menerapkan tiga hal, yakni tetap memprioritaskan penanganan Covid-19 dengan terus memperbaiki berbagai fasilitas dan kebijakan, seperti ketersediaan alat pelindung diri (APD), ketersediaan tempat tidur di rumah sakit rujukan, penelusuran jejaring, sampai memperluas uji usap menggunakan peralatan real time-PCR.
Normal baru itu bagaimana kita menekan angka penyebaran virus, tetapi di satu sisi ekonomi bisa tetap berjalan.
”Kedua, disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan. Bersama kita gelorakan kembali pola hidup bersih dan sehat seperti cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak,” kata Sigit.
Mekanisme terakhir, katat Sigit, yang merupakan Ketua Umum Adeksi, secara bertahap mengembalikan produktivitas ekonomi lokal. ”Karena seperti kata ahli, (pandemi) ini baru bisa berakhir saat vaksinnya benar-benar ditemukan,” ujarnya.
”Normal baru itu bagaimana kita menekan angka penyebaran virus, tetapi di satu sisi ekonomi bisa tetap berjalan,” kata Sigit.
Penerapan normal baru di Palangkaraya dipertanyakan karena selama ini pemerintah dinilai belum memberikan kebijakan yang efektif menekan angka penyebaran kasus. Hal itu juga terungkap dalam riset yang dilakukan Borneo Institute (BIT).
Riset tersebut menujukkan beberapa faktor peningkatan kasus positif di Kota Palangkaraya, antara lain minimnya sosialisasi terkait korona, aktivitas masyarakat di luar rumah masih tinggi, dan banyak lagi. Hasil riset BIT menunjukkan, 60,7 persen RT dan RW tidak berperan aktif lalu masih ada 22,3 persen warga yang tidak mengikuti protokol kesehatan atau hanya mengikuti sebagiannya.
”Perlu ada perhatian lebih soal ini karena kebijakan yang ada sampai saat ini belum mampu mengontrol masyarakat untuk membatasi aktivitasnya di luar rumah,” kata Direktur BIT Yanedi Jagau.