Dalam Setahun, 1 Juta Lebih Burung Liar Sumatera Lenyap
Perburuan dan perdagangan berbagai jenis burung secara ilegal mengancam populasi burung di Sumatera. Dua tahun terakhir, petugas menggagalkan pengiriman 67.000 burung yang hendak diperdagangkan secara ilegal.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Perburuan dan perdagangan berbagai jenis burung secara ilegal mengancam populasi burung di Sumatera. Dua tahun terakhir, petugas menggagalkan pengiriman 67.000 burung yang hendak diperdagangkan secara ilegal. Dalam setahun, 1 juta lebih burung liar lenyap.
”Dari 80 kasus, sebagian besar digagalkan di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan,” kata Direktur Eksekutif FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds Marison Guciano, Minggu (31/5/2020).
Marison yang aktif terlibat dalam operasi pengungkapan perdagangan burung ilegal mengatakan, sebagian besar burung liar itu diburu dari hutan di wilayah Jambi, Riau, Bengkulu, dan Sumatera Barat. Puluhan ribu burung itu terus diburu untuk memenuhi permintaan di pasar-pasar burung di Jawa.
Dia menduga ada ratusan pedagang di Sumatera yang menjadi bagian dalam jaringan perdagangan burung ilegal tersebut. Selama ini, mereka bekerja secara sistematis dan senyap sehingga sulit dilacak.
Selama pandemi Covid-19, pengiriman burung ilegal melalui jalur darat menurun karena pelaku menghindari razia rutin di tiap perbatasan. Namun, pengiriman diduga beralih menggunakan jalur udara.
Dia berharap pemerintah lebih ketat mengawasi perdagangan satwa di pasar burung. Semestinya, burung yang diperdagangkan merupakan hasil budidaya, bukan satwa liar yang ditangkap di alam.
Sedikitnya 3.250 burung liar diburu setiap hari. Dalam setahun, lebih dari 1 juta ekor populasi burung liar hilang.
Populasi menurun
Marison mengungkapkan, saat ini populasi burung liar di Sumatera dalam kondisi kritis. Dari hasil kajian, sedikitnya 3.250 burung liar diburu setiap hari. Dalam setahun, lebih dari 1 juta ekor populasi burung liar hilang.
Kondisi itu membuat beberapa jenis burung liar kini sulit dijumpai di habitat alaminya. Hal ini mengkhawatirkan karena bisa berdampak pada rusaknya ekosistem. Dalam rantai ekosistem, burung memiliki peran penting karena berfungsi membantu regenerasi tanaman dan menyeimbangkan mata rantai makanan.
Selama ini, berbagai jenis burung yang marak diburu, antara lain burung prenjak (Orthotomus ruficeps), pleci (Zosterops simplex), cucak ranting (Blue-winged leafbird), poksay hitam (Garrulax chinensis), poksay Sumatera (Garrulax bicolor), burung madu (Leptocoma brasiliana), dan cucak ijo (Greater green leafbird). Burung-burung itu banyak diburu untuk diperdagangkan karena memiliki warna dan suara indah.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Lampung Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Hifzon Zawahiri beberapa waktu lalu menuturkan, meski tidak masuk kategori satwa dilindungi, peredaran satwa liar tidak bisa dilakukan sembarangan orang. Pihak yang hendak melakukan jual beli satwa harus memiliki surat angkut yang dikeluarkan departemen kehutanan wilayah setempat.
Selama ini, sebagian burung liar yang disita petugas dalam kondisi mati. Burung liar yang masih bertahan hidup juga harus dirawat di lembaga konservasi sebelum dilepasliarkan ke alam karena kondisinya sakit.
Menurut Hifzon, modus pengiriman burung ilegal yang paling banyak dilakukan adalah menyembunyikan burung dalam bagasi bus antarkota antarprovinsi. Pengirim burung liar itu biasanya tidak ikut dalam bus sehingga aparat kerap tak bisa menangkap pelaku.
Dia menduga ada pemodal besar yang mengendalikan bisnis perdagangan burung. Pasalnya, sejak petugas banyak menggagalkan upaya pengiriman burung ilegal melalui bus AKAP, modus pengiriman burung ilegal beralih menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini mengindikasikan bisnis perdagangan burung ilegal ini cukup besar.