”Malaikat Pelindung” yang Belum Terlindungi di Papua
Tenaga kesehatan di Papua rawan menjadi korban kekerasan ketika sedang menjalankan tugas kemanusiaan di daerah konflik. Jaminan perlindungan bagi para pekerja kemanusiaan itu pun perlu terus diupayakan.
Konvensi Geneva tahun 1949 menyerukan perlindungan tenaga kesehatan yang sedang bertugas dalam kondisi apa pun. Sayangnya, konvensi ini belum sepenuhnya dipatuhi. Ancaman terhadap keselamatan para ”Malaikat Pelindung” di sejumlah daerah konflik di Papua masih terjadi hingga kini.
Sekitar pukul 08.00 WIT pada Jumat (22/5/2020), Alemanek Bagau dan rekannya, Heniko Somau, tengah bersiap untuk meninggalkan rumah Alemanek di Kampung Jae, Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya.
Keduanya merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Intan Jaya. Mereka juga adalah tenaga paramedis yang tergabung dalam tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di Distrik Wandai, daerah setingkat kecamatan.
Keduanya dicurigai sebagai anggota intelijen TNI dan Polri karena membawa radio HT.
Menurut rencana, Alemanek dan Heniko akan memberikan sosialisasi pencegahan penularan virus korona dan membagikan obat kepada warga di distrik tersebut. Mereka juga membawa radio handy talky (HT) untuk berkoordinasi dengan tim gugus tugas di tingkat kabupaten. Maklum, belum ada jaringan telepon di distrik pedalaman tersebut.
Tiba-tiba, ketika hendak meninggalkan rumah, mereka diadang 15 orang bersenjata laras panjang yang wajahnya dicoret dengan arang. Mereka mengaku sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka pun menginterogasi kedua tenaga kesehatan tersebut. Keduanya dicurigai sebagai anggota intelijen TNI dan Polri karena membawa radio HT.
Alemanek dan Heniko pun menjelaskan kepada para pelaku bahwa radio tersebut diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Intan Jaya untuk memperlancar komunikasi terkait penanganan Covid-19 di Distrik Wandai. Namun, para pelaku tidak memercayai perkataan Alemanek dan Heniko.
Mereka pun menembak Alemanek sebanyak empat kali di bagian tumit kaki kiri, pergelangan kaki kiri, betis kiri, dan telapak tangan kanan. Heniko juga ditembak sebanyak tiga kali di betis kiri dan kanan serta paha kanan. Setelah menembak kedua paramedis ini, para pelaku membakar rumah tersebut dan langsung kabur ke hutan.
Masyarakat setempat dan kerabat korban terpukul dengan insiden tersebut. Keesokan harinya, mereka membawa kedua korban dengan sepeda motor ke Distrik Sugapa, ibu kota Intan Jaya. Perjalanan itu memakan waktu sekitar 5 jam karena kondisi medan yang berat. Heniko pun mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan tersebut.
Heniko dimakamkan kerabatnya di Sugapa. Sementara tim gabungan TNI dan Polri langsung mengevakuasi Alemanek ke Rumah Sakit Umum Daerah Nabire dengan pesawat untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih memadai.
Saya hanya bisa berdoa agar para pelaku kelak dapat mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Tuhan.
”Dalam hati saya bertanya, kami berdua ini salah apa sehingga ditembak mereka. Saya hanya bisa berdoa agar para pelaku kelak dapat mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Tuhan,” kata Alemanek di RSUD Nabire, beberapa hari pascainsiden tersebut.
Dalam catatan Kompas, penyerangan terhadap tenaga kesehatan, seperti Alemanek dan Heniko, bukanlah yang pertama di Papua. Sebelum insiden di Intan Jaya, sudah terjadi tiga kasus kekerasan terhadap tenaga kesehatan di sejumlah daerah di Papua sepanjang 2018 hingga 2019.
Pertama, insiden penganiayaan hingga tewas terhadap Berni Fellery Kunu, tenaga kesehatan dari lembaga penerbangan misi, Adventis Aviation, pada 29 April 2018. Diduga, penganiayaan yang terjadi di Kampung Yabosorom, Distrik Pamek, Kabupaten Pegunungan Bintang, itu juga dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Kemudian, pada Oktober 2018, sebanyak 15 guru dan satu tenaga kesehatan disandera KKB pimpinan Egianus Kogoya di Distrik Mapenduma, Kabupaten Nduga. Penyanderaan yang berlangsung selama dua minggu itu menyebabkan dua orang luka-luka.
Adapun kasus ketiga yakni penganiayaan terhadap dokter Soeko Marsetiyo hingga meninggal dalam kerusuhan sosial di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, pada 29 September 2019. Dokter yang bertugas di pedalaman Kabupaten Tolikara ini mengalami luka parah di bagian kepala dan punggung.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Papua dokter Donald Aronggear menyesalkan insiden kekerasan terhadap tenaga kesehatan di Papua yang masih terjadi hingga saat ini. Ia pun memohon kepada masyarakat agar memahami pentingnya peran tenaga kesehatan di daerah seperti Papua yang masih minim fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.
Aksi kekerasan akan menyebabkan tenaga kesehatan tak berani bertugas di daerah pedalaman Papua.
Diketahui, jumlah penduduk Papua berdasarkan data Dinas Sosial, Kependudukan, dan Catatan Sipil Provinsi Papua pada akhir 2019 mencapai 4.349.343 jiwa. Sementara jumlah anggota IDI Papua hingga April 2020 sebanyak 1.163 orang. Artinya, rasio dokter dan penduduk masih sangat timpang.
”Aksi kekerasan akan menyebabkan tenaga kesehatan tak berani bertugas di daerah pedalaman Papua. Hal ini akan merugikan masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan,” kata Donald.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Wilayah Papua Frits Ramandey menyatakan, penyerangan terhadap tenaga kesehatan merupakan kejahatan luar biasa. Sebab, perbuatan ini dapat berdampak besar bagi masyarakat setempat.
Ia mengatakan, dalam kasus Intan Jaya, kecurigaan kelompok sipil bersenjata terhadap tenaga kesehatan yang membawa radio HT sebagai anggota intelijen adalah terlalu berlebihan. ”Kami telah berkomunikasi dengan juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka. Mereka menyampaikan permintaan maaf dan tidak menyangka terjadinya penembakan di Intan Jaya,” kata Frits.
Lebih jauh, Frits menambahkan, Komnas HAM telah berupaya menyosialisasikan pentingnya perlindungan pekerja kemanusiaan, seperti guru dan tenaga kesehatan, kepada pimpinan OPM sebanyak tiga kali. Sebab, kedua profesi ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat, khususnya di daerah yang terisolasi di Papua.
Baca juga : Lindungi Pekerja Kemanusiaan
”Kami terus berupaya memberi sosialisasi kepada OPM, baik melalui tatap muka maupun via telepon. Harapannya, dengan upaya ini, tak terjadi lagi aksi penyerangan terhadap pekerja kemanusiaan di Papua,” ucap Frits.
Ia juga berharap pemerintah daerah setempat bersama tokoh agama dan tokoh adat terus memberikan sosialisasi keapda warga untuk melindungi pekerja kemanusiaan yang bertugas di wilayahnya.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw menegaskan, penyerangan terhadap tenaga kesehatan merupakan tindakan yang tidak dapat ditoleransi dan membuka mata publik internasional tentang perilaku sebenarnya kelompok kriminal bersenjata.
”Saya telah menginstrusikan kepada semua jajaran untuk meningkatkan perlindungan bagi para pekerja kemanusiaan di daerah rawan konflik yang terdapat kelompok tersebut,” ujar Paulus.
Baca juga : Setumpuk Persoalan Picu Konflik Berulang di Papua
Namun, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional OPM, Sebby Sambom, menyatakan, pihaknya tidak sembarangan menyerang warga sipil, tenaga guru, dan tenaga kesehatan saat terlibat konflik dengan TNI dan Polri.
”Kami hanya menembak warga yang diyakini memiliki peranan sebagai anggota intelijen pihak keamanan. Tidak mungkin kami menembak tenaga kesehatan di tengah pandemi korona,” kata Sebby.