Petani Semakin Tak Berdaya, Bukti Ketidakberpihakan Pemerintah
Penurunan NTP dan indeks konsumsi rumah tangga petani menunjukkan daya independensi produsen pangan melemah. Artinya, petani bergantung pada jenis komoditas yang harganya lebih tinggi dari komoditas yang dihasilkannya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar petani merosot ke bawah titik impasnya di level 100. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan petani sebagai produsen pangan, baik dari sisi penghasilan maupun konsumsi.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, nilai tukar petani (NTP) pada Mei 2020 sebesar 99,47 atau lebih rendah 0,85 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Penurunan NTP ini disebabkan merosotnya indeks harga yang diterima petani sebesar 0,86 persen, sedangkan indeks harga yang dibayar petani menurun 0,01 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, NTP di bawah 100 menunjukkan indeks harga yang diterima petani lebih rendah dibandingkan dengan yang mesti dibayar. Ini juga mengindikasikan melemahnya daya tukar petani. Hal ini bersumber dari merosotnya pendapatan petani karena turunnya harga sejumlah komoditas.
”Artinya, kebijakan perlindungan sosial untuk petani mesti menjadi perhatian agar petani bergairah dalam berproduksi,” kata Suhariyanto dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Selasa (2/6/2020).
BPS juga mencatat, indeks konsumsi rumah tangga petani mengalami deflasi sebesar 0,07 persen. Dari segi pengeluaran, kelompok bahan makanan mengalami deflasi terbesar, yakni senilai 0,24 persen.
Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, menilai, penurunan NTP dan indeks konsumsi rumah tangga petani menunjukkan daya independensi produsen pangan melemah. Artinya, petani bergantung pada jenis komoditas yang harganya lebih tinggi dari komoditas yang dihasilkannya.
Ini kondisi yang tidak menguntungkan petani. Kondisi tersebut merupakan akar dari tak berdampaknya kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kesejahteraan petani.
Ini kondisi yang tidak menguntungkan petani. Kondisi tersebut merupakan akar dari tak berdampaknya kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kesejahteraan petani. Selain itu, tata distribusi yang tak terkelola selama pandemi Covid-19 juga menyebabkan pelemahan daya petani sebagai produsen pangan.
Solusinya, lanjut Lati, pemerintah perlu membenahi logistik, distribusi, dan tata niaga pangan agar petani mendapatkan penghasilan yang layak. Penghasilan ini juga dapat menguatkan lagi daya beli dan daya tahan petani, terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja menyayangkan pelemahan NTP yang mencerminkan terpukulnya produsen pangan. Padahal, petani berada di garda terdepan dalam menjaga sumber ketahanan pangan nasional.
”NTP yang berada di bawah titik impas menunjukkan hasil petani tak terserap secara optimal oleh pasar. Akibatnya, penjualan petani menurun dan pendapatan pun ikut merosot,” ujarnya.
Guntur menambahkan, Intani lebih memilih pemerintah memanfaatkan anggaran untuk menjamin penyerapan di tingkat petani dengan batas harga yang layak dibandingkan rencana program bantuan langsung yang hingga saat ini belum terealisasi. Jaminan penyerapan itu dapat memanfaatkan jaringan badan usaha milik negara dan tak terbatas hanya komoditas tanaman pangan, tetapi juga hortikultura.
Pelemahan NTP mencerminkan terpukulnya produsen pangan. Padahal, petani berada di garda terdepan dalam menjaga sumber ketahanan pangan nasional.
Dua fenomena
Sementara itu, BPS mendata, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Mei 2020 meningkat 0,5 persen dibanding April 2020 menjadi Rp 4.623 per kilogram (kg). Akan tetapi, harga gabah kering giling (GKG) di penggilingan turun 1,74 persen menjadi Rp 5.707 per kg.
Menurut Guntur, ada dua fenomena yang memengaruhi dinamika harga gabah tersebut. Di hulu, ada indikasi penurunan produksi sehingga harga GKP cenderung meningkat. Adapun di hilir, ada indikasi penurunan konsumsi beras sehingga berdampak pada merosotnya permintaan GKG.
”Penurunan konsumsi beras ini disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat,” kata Guntur.