Pelaku Wisata di Malang Raya Tak Ingin Gegabah Beroperasi Saat Normal Baru
Di saat daerah lain mulai membuka sektor wisata pada masa normal baru, pelaku wisata di Malang Raya memilih menunggu. Mereka harus mempersiapkan diri lebih detail agar pembukaan wisata tak menjadi bumerang.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Meski menyambut baik hadirnya masa transisi dari pembatasan sosial berskala besar menuju normal baru, pelaku wisata di Malang Raya, Jawa Timur, tidak ingin terburu-buru beroperasi sebelum perangkat protokol kesehatan benar-benar siap.
Langkah yang terburu-buru berpotensi menimbulkan ledakan baru angka kasus Covid-19 dan akan membawa dampak makin berat bagi pelaku industri pariwisata untuk bangkit kembali nantinya. Selama pandemi ini mereka telah terpuruk.
Hal ini mengemuka dalam seminar daring Pariwisata Malang Raya Menuju New Normal yang diinisiasi oleh Perwakilan Bank Indonesia (BI) Malang, Jawa Timur, Rabu (3/6/2020).
Hadir sebagai narasumber Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Malang Dwi Cahyono, Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Kota Malang Ida Ayu Made Wahyuni, serta Direktur Jatim Park 3 Suryo Widodo.
Narasumber lainnya Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Kota Malang Gagoek S Prawito, Asosiasi Perjalanan Wisata Malang Raya M Ansori, akademisi dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Aang Affandi, serta Kepala Perwakilan BI Malang Azka Subhan A, dan Dewi Yuhana sebagai moderator.
Menurut Dwi Cahyono, fase pemulihan tidak bisa terjadi secara serta-merta. Ada proses dan tahapan yang harus dilalui. Salah satunya terkait bagaimana masyarakat beradaptasi dengan perilaku baru yang sehat.
Sejauh ini, saat memasuki masa normal baru, kata Dwi, sebanyak 60 persen masyarakat masih belum sadar. Mereka menganggap normal baru sebagai situasi yang telah normal sehingga mereka ramai-ramai mengunjungi pantai dan mal. Kondisi ini tentu berbahaya.
”Kita lebih baik tutup dulu sampai betul-betul prosedur normal baru tertangani dengan baik ketimbang agak keburu terus ada yang terinfeksi dan kembali ke masa PSBB. Itu sangat merugikan pebisnis dan untuk memulai lagi akan lebih sulit,” katanya.
Kita lebih baik tutup dulu sampai betul-betul prosedur normal baru tertangani dengan baik ketimbang agak keburu terus ada yang terinfeksi dan kembali ke masa PSBB.
Covid-19 menjadi pukulan telak bagi PHRI. Sejak Maret hingga Mei 2020, di Jatim terdapat 182 hotel yang tutup, 84 hotel di antaranya berada di Malang Raya. Ada sekitar 30.000 karyawan di Jatim yang dirumahkan. Dari jumlah itu, 3.000 orang di antaranya berada di Malang Raya.
Menurut Dwi, kekuatan PHRI untuk merumahkan karyawan hanya bertahan sampai awal Juli. Jika kondisi belum juga membaik, PHRI akan meminta izin kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja massal.
”Kenapa begitu? Karena sejak awal bisnis hotel dan restoran dibangun berdasarkan kalkulasi ketat. Itulah kenapa dibutuhkan adaptasi kebiasaan baru. Karena akan ada kalkulasi ulang, misal terkait kuota 50 persen kapasitas ruang yang dipakai tamu dan transportasi. Ini ada penghitungan sendiri,” ujarnya.
Pendapat senada disampaikan Suryo. Menurut dia, butuh dana besar untuk memulai kembali operasi di masa sulit seperti sekarang karena pelaku wisata harus menyiapkan banyak hal, mulai dari hand sanitizer, ruang isolasi, hingga mengubah tiket menjadi online.
”Masalahnya cost (biaya) sehingga Jatim Park belum berani buka. Khawatir buka, kami belum terlalu siap, terus kena (kasus Covid-19 meledak lagi). Jadi beban berat malahan. Karena protokol standar operasional dikembalikan ke setiap tempat wisata. Padahal, setiap tempat wisata sistemnya beda,” katanya.
Suryo pun menyinggung perlu ada campur tangan dari pemerintah dan perbankan untuk membantu pelaku pariwisata yang kolaps, misalnya membebaskan pajak bagi hotel dan restoran untuk sementara waktu, hingga pemberian pinjaman oleh pihak perbankan.
Adapun M Ansori menilai suka tidak suka semua harus siap di masa normal baru. Untuk menuju normal baru harus ada aktivitas meski masih terbatas. Memang, tidak harus semua tempat wisata yang beroperasi tetapi obyek yang sudah mendapatkan rekomendasi dari dinas kesehatan setempat.
Gagoek S Prawito berpendapat penekanan yang dilakukan saat ini adalah bagaimana masyarakat bisa beradaptasi dengan pola hidup bersih dan sehat. Pola seperti itu bukan barang baru sebenarnya di dunia pariwisata. Hal itu sudah ada sejak lama dalam Sapta Pesona.
”Di dunia pariwisata kalau Sapta Pesona diterapkan benar-benar sebenarnya tidak kaget. Namun, saya lihat Sapta Pesona belum diterapkan dengan betul, terutama di daerah tujuan wisata,” katanya. Dalam satu tahun ke depan, menurut Gagoek, pelaku wisata di Malang Raya hanya bisa berharap pada wisatawan Nusantara. Untuk wisatawan asing belum bisa diharapkan.
Pemerintah Kota Malang telah mengeluarkan Peraturan Wali Kota Nomor 19 Tahun 2020 tentang Pedoman Penerapan Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19. Pembukaan sektor ekonomi, pendidikan, dan lainnya akan dilakukan secara bertahap dengan protokol kesehatan ketat. Jika ada pelanggaran, akan dievaluasi.
”Sejak Maret sampai sekarang, banyak sektor tidak bisa beraktivitas. Agar sektor-sektor bisa kembali melakukan kegiatan ekonomi, maka pemerintah membuka lagi kegiatan ekonomi secara terbatas. Kuncinya tiga, yakni jaga jarak, pakai masker, dan hidup bersih,” kata Ida Ayu Made Wahyuni.
Sementara itu, Azka Subhan mengatakan, hasil diskusi ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemangku kepentingan di Malang Raya, khususnya terkait pariwisata dalam menghadapi kondisi normal baru. BI juga berusaha mengarahkan agar masyarakat menggunakan trasaksi nontunai sebagai salah satu cara menghindari interaksi langsung antarorang, termasuk dalam kegiatan wisata.