Mereka Kehilangan Nyawa di Ujung Senjata Aparat Tanpa Kejelasan
Dalam dua bulan terakhir, aparat Kepolisian Daerah Sulteng diduga dua kali salah menembak warga di Kabupaten Poso. Kasus ini pun memunculkan sorotan atas profesionalisme kepolisian.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
Seperti hari-hari lain, sebulan terakhir di musim panen kakao, Syarifuddin (37) dan warga lain di Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, membersihkan rumput liar di sekitar pohon kakao dan memanen buah kakao yang masak. Tak dinyana, di kebun itu, Syafrudin dan Firman (16), warga lainnya, ditembak anggota Kepolisian Daerah Sulteng.
Peristiwa nahas itu terjadi di pondok di tengah rimbunan pohon kakao di perbukitan dekat Desa Maranda, tetangga Desa Kilo, Selasa (2/6/2020). Riuh rendah menyambut musim panen kakao berubah menjadi tragedi. Alih-alih karung kakao yang dibawa pulang rumah, justru tubuh kaku yang ditandu menghadap keluarga.
Keduanya telah dimakamkan pada Rabu (3/6) pagi. “Saya belum mendengar langkah selanjutnya yang diambil keluarga, mungkin karena terlalu sedih. Kami semua sedih. Mereka warga saya yang sehari-hari berkebun di sana (lokasi kejadian),” ujar Kepala Desa Kilo Widyanto (57), saat dihubungi dari Palu, Sulteng, Rabu (3/6).
Sejak kejadian itu, lanjut Widyanto, tak ada dari kepolisian atau pemerintahan yang menyampaikan penjelasan resmi soal duduk perkara peristiwa itu kepada tokoh masyarakat di Kilo. Bagaimana proses selanjutnya juga tak ada yang bisa menebak. “Meskipun demikian, situasi di Kilo aman. Semua tetap beraktivitas normal,” ujar Widyanto.
Atas kejadian itu, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah melalui Kepala Subbagian Penerangan Masyarakat Komisaris Sugeng Lestari meminta semua pihak untuk sabar menunggu hasil penyelidikan dan pendalaman tim di lapangan. “Kita harapkan bersabar dululah. Kita belum bisa mengambil kesimpulan, informasi hasil penyelidikan karena tim masih bekerja. Sabar dululah,” ujarnya, yang saat bicara sering melihat ke kedua tangannya yang digerak-gerakkan di ujung lengan kursi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tim Pembela Muslim (TPM) Indonesia Sulteng, kedua korban terkena cukup banyak tembakan di tubuhnya. Anggota TPM Sulteng Moh Akbar menyayangkan tindakan kepolisian. Penembakan terhadap Syafruddin dan Firman adalah bentuk tindakan tak beradab.
Kejadian itu harus diusut tuntas agar masalahnya terang-benderang dan keluarga korban mendapatkan keadilan.
“Semua elemen masyarakat mengutuk tindakan biadab ini. Kejadian itu harus diusut tuntas agar masalahnya terang-benderang dan keluarga korban mendapatkan keadilan,” ujarnya, yang mengaku sudah berkomunikasi dengan keluarga korban.
Akbar menilai, tak ada alasan secuil pun polisi menembak keduanya. Mereka warga biasa yang sehari-hari berkebun seperti warga lainnya. Nama keduanya juga tak masuk dalam 17 daftar pencarian orang (DPO) tindak pidana terorisme di Poso yang bergabung dalam kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Untuk diketahui, saat ini Polda Sulteng masih menggelar Operasi Tinombala untuk memburu ke-17 DPO terorisme Poso. Jumlah anggota Polri dan TNI yang terlibat sekitar 1.000 orang untuk menjelajahi pegunungan Kabupaten Poso dan Parigi Moutong mengejar anggota kelompok yang saat ini dipimpin oleh Ali Kalora sepeninggal tewasnya Santoso pada 2016.
Dua bulan sebelum tragedi menimpa Syafrudin dan Firman, kasus dugaan salah tembak juga merenggut nyawa Qidam Alfarizki Mofance (20), warga Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir utara, 9 April 2020. Ia diduga ditembak di sekitar kebun pada malam hari di dekat kantor Kepolisian Sektor Poso Pesisir Utara.
Waktu itu, korban hendak bepergian dengan menggendong tas ransel. Polisi, yang menduga korban bagian dari DPO, memberondong korban dengan tembakan. Hingga saat ini, kasus Qidam tidak pernah jelas. Sampai muncul lagi dugaan salah tembak kedua, Polda Sulteng belum pernah memberikan pernyataan resmi terkait kasus Qidam.
Sikap kepolisian itu berbeda ketika menyampaikan penembakan terhadap DPO terorisme Poso. Seminggu setelah kematian Qidam, polisi menembak dua anggota MIT yang sebelumnya sempat merebut senjata polisi di halaman salah satu bank di kota Poso.
Saat itu, polisi menjelaskan kejadian tersebut dengan gamblang. Bahkan, Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Syafril Nusral turun langsung ke lokasi kejadian.
Menurut Akbar, dengan dua kejadian dugaan salah tembak tersebut, sudah seharusnya Operasi Tinombala dievaluasi. “Dua kejadian ini membuat kita patut mempertanyakan, apakah kepolisian betul sebagai lembaga negara pelindung masyarakat,” ucapnya.
Dalam catatan Kompas,kasus salah tembak selama Operasi Tinombala di Poso dan Parigi Moutong hampir tak terdengar sebelum dua kejadian pada 2020 ini. Selama ini, penembakan atau penangkapan dilakukan terhadap DPO atau simpatisan yang hendak bergabung dengan anggota MIT di hutan. Jumlahnya tak kurang dari 30 orang sejak Operasi Tinombala digelar pada 2016. Pemimpin kelompok itu, Santoso, tewas di tangan aparat dalam baku tembak di pertengahan Juni 2016.
Dua kasus ini pun memunculkan pertanyaan, ada apa dengan kepolisian?