Pemerintah Daerah Diminta Antisipasi Ancaman Krisis Pangan Akibat Pandemi
Sebagai salah satu sentra pertanian di Indonesia, pemerintah daerah di Lampung diminta untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Sebagai salah satu sentra pertanian di Indonesia, pemerintah daerah di Lampung diminta untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Selain pembenahan sistem logistik pangan, pemanfaatan teknologi dan penguatan kelembagaan petani perlu dioptimalkan.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar bertajuk “Membangun Kemandirian Pangan Daerah dalam Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan Pasca Covid-19”, Kamis (4/6/2020), yang berlangsung melalui video konferensi.
Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menuturkan, Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan ancaman krisis pangan pada 2020 yang dipicu ajloknya ekonomi dan persoalanan akses pangan. Ancaman krisis pangan bisa semakin parah jika ketersediaan pangan menurun.
Di Lampung, masifnya konversi sawah yang memicu turunnya produksi padi menjadi masalah serius yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, produksi padi Lampung hanya 2,16 juta ton pada 2019. Jumlah itu menurun sekitar 13,4 persen dibandingkan produksi tahun 2018 yang mencapai 2,49 juta ton. Adapun luasan panen padi turun 9,34 persen dari 512.000 hektar pada 2018 menjadi 464.000 hektar pada 2019.
“Produksi padi di Lampung turun di semua daerah, kecuali di Mesuji dan Tulang Bawang. Ini serius. Penurunan sawah ini harus dicegah,” kata Bustanul.
Apalagi, Lampung akan memasuki musim kemarau sekitar dua bulan ke depan. Kondisi ini memerlukan upaya mitigasi dari pemerintah, misalnya dengan memastikan ketersediaaan air. Hal ini penting agar sentra pertanian bisa terus berproduksi untuk mencegah berkurangnya ketersediaan pangan.
Produksi padi di Lampung turun di semua daerah, kecuali di Mesuji dan Tulang Bawang. Ini serius. Penurunan sawah ini harus dicegah. (Bustanul Arifin)
Sementara itu, Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia Abdul Hamid menuturkan, anjloknya harga cabai selama pandemi Covid-19 telah memukul perekonomian petani holtikultura. Sebagian besar petani cabai di Indonesia mendapat harga jual yang terlalu rendah, berkisar Rp 3.500 – Rp 6.000 per kilogram. Kondisi itu membuat petani tidak memiliki cukup modal untuk kembali menanam cabai.
Rantai pasok pangan yang terlalu panjang, menurut dia, membuat posisi petani semakin tertekan. Untuk itu, penguatan kelembagaan dan pemanfaatan teknologi di tingkat petani harus dioptimalkan.
Tantangan lain yang dihadapi petani adalah perubahan iklim dan teknologi budidaya yang tepat. Saat ini, sebagian besar petani di Indonesia masih menggunakan pola budidaya konvensional dan tidak berbasis pada kebutuhan pasar.
Ke depan, Abdul Hamid mengusulkan, pemerintah perlu membangun sistem terintegrasi berbasis data untuk mengukur kebutuhan dan ketersediaan pangan di tingkat petani. Dengan begitu, anjloknya harga saat panen raya atau kelangkaan bahan pangan bisa diantisipasi.
Selama ini, petani terlalu bergantung pada pengepul dalam mendistribusikan hasil pertanian. Tidak banyak petani yang memanfaatkan teknologi untuk pemasaran untuk memperluas pangsa pasar. Selain itu, tidak banyak petani yang memiliki kelembagaan untuk memperkuat daya saing.
Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus menuturkan, anjloknya harga komoditas pangan memukul masyarakat Lampung Barat yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Saat ini, pemerintah daerah juga sedang menyusun strategi pemasaran komoditas perkebunan, seperti kopi dan lada untuk mencegah anjloknya harga akibat turunnya permintaan komoditas tersebut.