Dua ”Kaki” Sulawesi yang Tertatih Menangani Pandemi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara sama-sama kepayahan menangani pandemi Covid-19. Selain kluster penularan bermunculan, kepatuhan masyarakat juga jauh dari maksimal.
Dua provinsi bertetangga di ”kaki” Pulau Sulawesi, yakni Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, sama-sama mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama kali pada 19 Maret 2020. Sejak saat itu, jumlah kasus terus merangkak naik dan menyebar ke berbagai penjuru kabupaten/kota. Tertatih, perjuangan melawan virus korona itu pun belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.
Penyebaran pertama di dua provinsi ini berasal dari kluster umrah. Saat Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengumumkan kasus pertama positif Covid-19, Kamis (19/3/2020) malam, satu dari dua orang yang dinyatakan positif itu sudah meninggal tiga hari sebelumnya.
Pasien yang meninggal itu adalah warga Makassar yang pulang umrah. Hasil pemeriksaan swab atau usap tenggorokan baru keluar pada Kamis siang. Karena itu, jenazahnya diurus keluarga secara normal, tanpa prosedur Covid-19.
Angka ini menempatkan Sulsel dalam posisi keempat nasional sekaligus provinsi dengan kasus Covid-19 tertinggi di luar Jawa.
Pada kasus itu, penelusuran segera dilakukan terhadap anggota keluarga dan kerabat yang melayat. Setelah itu, sejumlah kasus positif bermunculan, di antaranya datang dari kerabat yang hadir saat pemakaman serta rekan seperjalanan umrah.
Laporan kasus-kasus baru ini bermunculan dan terjadi lintas kecamatan di Makassar. Sepekan kemudian, kasus positif pun dengan cepat bertambah menjadi 26 kasus. Jumlah itu lalu membengkak tiga kali lipat saat mencapai 80 kasus dalam waktu dua pekan.
Hingga Jumat (29/5/2020), jumlah kasus positif Covid-19 kumulatif di Sulsel sudah mencapai angka 1.468 kasus. Dari jumlah itu, korban meninggal mencapai 73 orang pada kasus positif dan 147 orang dalam status pasien dalam pengawasan (PDP). Angka ini menempatkan Sulsel dalam posisi keempat nasional sekaligus provinsi dengan kasus Covid-19 tertinggi di luar Jawa.
Jika awalnya adalah kluster umrah, pada perkembangan berikutnya, penularan bertambah dengan kluster Bogor, Jakarta, Muna, Bandung, dan lainnya. Belakangan, muncul lagi kluster Temboro (Magetan), tenaga kerja Indonesia (TKI), hingga mahasiswa asal Arab Saudi yang pulang ke Sulsel.
Sama dengan Sulsel, tiga kasus Covid-19 pertama di Sultra pada 19 Maret juga berasal dari kluster umrah, yang saat ini jumlahnya mencapai puluhan orang. Sejak saat itu, kasus positif di wilayah ini terus bertambah hingga mencapai 240 orang pada 29 Mei.
Sejak awal, Sultra juga punya andil membentuk satu kluster di Makassar, yakni kluster Muna. Kluster ini berasal dari pertemuan GPIB di Kabupaten Muna pada Maret lalu, yang turut dihadiri peserta dari Makassar.
Belakangan, acara ini juga menjadi salah satu kluster penularan Covid-19 di sejumlah daerah lain di Nusantara.
Boleh dikata, awal pandemi di Sulsel membuat pemerintah daerah kelabakan. Baru saja melakukan penelusuran dan kontak-kontak pasien positif, tim Gugus Tugas Covid-19 dihadapkan pada acara pertemuan ijtima ulama di Kabupaten Gowa yang dihadiri ribuan orang, termasuk dari luar negeri.
Pertemuan ini akhirnya dibatalkan, tetapi butuh waktu dua pekan untuk memastikan semua peserta dari luar Sulsel kembali ke daerahnya masing-masing. Belakangan, acara ini juga menjadi salah satu kluster penularan Covid-19 di sejumlah daerah lain di Nusantara.
Seusai urusan ijtima, beragam persoalan lain dihadapi, mulai dari keterbatasan laboratorium pemeriksaan PCR dan penolakan warga di sejumlah pemakaman umum untuk jenazah pasien Covid-19. Belum lagi keterbatasan rumah sakit dan alat pelindung diri (APD).
Keterbatasan rumah sakit rujukan dan kekhawatiran ditetapkan menjadi PDP saat berobat di rumah sakit rujukan membuat sebagian warga memilih mendatangi rumah sakit non-rujukan. Sejumlah pasien bahkan tak jujur. Dalam waktu tak lama, hampir semua rumah sakit di Makassar akhirnya merawat pasien Covid-19.
Penyebaran kian tak terkendali dan tak jelas lagi asalnya, berganti menjadi transmisi lokal. Dalam waktu kurang dari sebulan, Makassar sudah menjadi episentrum Covid-19 di Sulsel. Saat ini, lebih dari separuh total kasus di Sulsel berada di Makassar.
Hal ini mendorong Pemerintah Kota Makassar mengusulkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang kemudian dijalankan pada 24 April-22 Mei 2020 (dua periode). Kabupaten Gowa, tetangga Makassar, menyusul menerapkan PSBB pada 4-17 Mei 2020 (satu periode). Gowa juga memiliki angka positif tinggi karena imbas dari Makassar. Harapannya tentu saja memutus mata rantai penularan virus.
Yang harus dipikirkan, bagaimana PSBB jalan, tetapi ekonomi juga jalan.
Sayangnya, pelaksanaan PSBB Makassar yang sejak awal terkesan longgar membuat upaya ini tidak berjalan sesuai ekspektasi. Belum lagi urusan bantuan sosial yang tak kunjung usai hingga PSBB selesai pada 22 Mei.
Dengan alasan tak ingin sektor ekonomi terpuruk berkepanjangan, Nurdin Abdullah seolah membuka pintu pelonggaran PSBB sejak 8 Mei. Dia mengizinkan toko-toko dibuka. Tentu saja, ini menimbulkan polemik dan seolah mementahkan proses PSBB yang berjalan terseok sejak pertama.
”Kami berharap ada peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan perpanjangan PSBB ini. Jangan lupakan juga faktor ekonomi. Yang harus dipikirkan, bagaimana PSBB jalan, tetapi ekonomi juga jalan. Tentu dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan,” kata Nurdin saat periode kedua PSBB Makassar dimulai 6 Mei.
Warga abai
Sayangnya, harapan agar warga patuh tak berbuah hasil maksimal. Upaya persuasif yang dilakukan aparat tak membuahkan hasil. Saat hari terakhir pelaksanaan PSBB, warga tumpah ke jalan-jalan, memenuhi toko, toko swalayan, hingga pasar tradisional. Bahkan, sebagian tanpa mematuhi protokol kesehatan dan tanpa pengawasan ketat dari petugas.
Warga seolah merayakan berakhirnya pandemi. Mudik juga tetap dilakukan tanpa pengawasan instansi terkait. Alhasil, angka positif Covid-19 menjelang dan pasca-Idul Fitri melonjak tajam. Jika pada 20 Mei jumlah kasus sebanyak 1.101 kasus, pada 29 Mei jumlahnya naik menjadi 1.427 kasus atau ada penambahan 326 kasus dalam rentang sembilan hari.
Baca juga : Bahaya Relaksasi Tanpa Kurva Epidemi
Gubernur Sulsel berkilah, kenaikan ini disebabkan gencarnya pemerintah melakukan tes cepat massal. Selain itu, disebutkan adanya kluster-kluster baru, seperti Temboro, mahasiswa asal Arab Saudi, dan TKI dari Malaysia.
Kesan pemerintah yang kelabakan dan gagap menghadapi pandemi juga terjadi di Sultra. Penanganan pasien, insentif tenaga kesehatan, sekaligus jaring pengaman di wilayah ini serupa berjalan tertatih, tanpa disertai kebijakan ekstra. Hal lain, seperti penyediaan APD, pembatasan kegiatan masyarakat, dan bantuan sosial kepada masyarakat, mengalami banyak masalah.
Akumulasi berbagai kondisi ini akhirnya berujung pada warga yang mulai abai. Dua pekan terakhir, sikap abai makin menjadi. Di Kendari, misalnya, banyak warga yang beraktivitas dengan tidak mengindahkan jarak fisik, bahkan banyak yang tidak memakai masker.
Warung kopi kembali ramai, pusat perbelanjaan dijejali pengunjung, dan jalanan kembali padat. Aktivitas masyarakat mulai normal meski pemerintah belum memberlakukan protokol normal baru.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sultra Mastri Susilo menilai, berbagai persoalan di awal penanganan pandemi menunjukkan banyaknya permasalahan kesehatan di wilayah ini. Fasilitas yang kurang, sumber daya yang minim, dan manajemen yang tidak sigap membuat penanganan pandemi tidak maksimal.
Seharusnya ada kebijakan ekstra yang lebih komprehensif dan tidak hanya sekadar mengikuti instruksi pemerintah pusat.
Sejumlah program dan kebijakan, lanjut Mastri, memang dibenahi seiring berjalannya waktu penanganan virus. Penyediaan alat pelindung diri, alat, dan laboratorium pengujian mandiri adalah beberapa upaya membuat penanganan lebih maksimal.
”Tetapi, tidak cukup sampai di situ. Seharusnya ada kebijakan ekstra yang lebih komprehensif dan tidak hanya sekadar mengikuti instruksi pemerintah pusat. Bisa ada diskresi, yang penting tidak menyalahi aturan,” tutur Mastri, Jumat (29/5/2020). Tidak hanya itu, lanjutnya, persoalan penggunaan anggaran juga harus diperjelas.
Sejak April lalu, Pemerintah Provinsi Sultra telah menetapkan alokasi anggaran penanganan Covid-19 senilai Rp 400 miliar. Anggaran tersebut disediakan untuk tiga sektor utama, yaitu fasilitas kesehatan, insentif tenaga medis dan tenaga kesehatan, serta jaring pengaman sosial.
Pemprov Sultra telah melakukan pembelian alat uji spesimen, baik berupa TCM maupun PCR. Keduanya mulai difungsikan di RS Bahteramas, Kendari. ”Anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 400 miliar itu terbagi di dinas-dinas dan OPD. Termasuk juga untuk insentif dan jaring pengaman sosial,” kata Gubernur Sultra Ali Mazi.
Di Sulsel, pemanfaatan anggaran Rp 500 miliar, yang dialokasikan untuk penanganan pandemi, juga belum jelas. Semula, anggaran ini disiapkan di antaranya untuk pembenahan RS Sayang Rakyat dan RSKD Dadi serta pengadaan APD.
Baca juga : Pelajaran Penting Penanganan Pandemi di Mata Ilmuwan
RS Sayang Rakyat direncanakan digunakan untuk pasien yang tak harus menjalani perawatan berat dan sebagian untuk isolasi. Sayangnya, belakangan, rumah sakit ini tak terlalu difungsikan. Pemprov justru menyewa sejumlah hotel berbintang untuk menjadi pusat isolasi pasien tanpa gejala dalam program yang disebut Gubernur Sulsel ”Wisata Covid-19”.
Menanggapi sengkarut penanganan pandemi Covid-19 ini, sosiolog Universitas Hasanuddin, Makassar, Sawedi Muhammad, mengatakan, ketidaktegasan pemerintah sejak awal membuat masyarakat bingung dan sebagian melakukan pembangkangan.
”Petunjuk dan sosialisasi terkait pandemi tak tuntas dilakukan. Di satu sisi, pemerintah menerapkan berbagai aturan, tetapi di sisi lain tak menegakkan aturan,” kata Sawedi.
Menurut dia, warga bukan tak sadar bahaya virus ini. Namun, berbagai persoalan, termasuk penyaluran bansos yang bermasalah, membuat warga tak punya pilihan lain selain tetap keluar rumah. Celakanya, sebagian tak menaati protokol kesehatan.
Baca juga : ”Normal Baru”, Jejak dan Pesannya
Sawedi mengatakan, jika ingin masuk dalam tatanan kehidupan baru atau yang disebut normal baru, pemerintah harus memastikan sosialisasi kepada warga tuntas dilakukan. Penegakan aturan atau pemberian sanksi juga harus dilakukan tanpa mesti melibatkan aparat keamanan.
Tentu saja, pelibatan semua pihak mutlak dilakukan agar pandemi ini bisa benar-benar menjadi persoalan bersama sehingga menumbuhkan solidaritas dan keinginan bersama untuk keluar dari pandemi, lalu memasuki kehidupan normal baru. Jika itu tak terwujud, normal baru hanya akan menjadi semacam jebakan, membuka risiko lebih besar bagi keselamatan masyarakat.