Keanekaragaman Hayati Indonesia Belum Terdayagunakan
Sebagai negara kaya keanekaragaman hayati, Indonesia justru belum optimal mendayagunakan potensi itu. Padahal, jika terpelihara dan dimanfaatkan dengan baik, semuanya bisa turut menopang pembangunan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Sebagai negara kaya keanekaragaman hayati, Indonesia justru belum optimal mendayagunakan potensi itu. Padahal, jika terpelihara dan dimanfaatkan dengan baik, semuanya bisa turut menopang pembangunan, seperti pada bidang kesehatan dan pertanian.
Hal itu mengemuka pada webinar "Mengelola Keanekaragaman Hayati untuk Ketahanan dan Kesejahteraan" yang digelar Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Jumat (5/6/2020). Webinar itu dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Dosen Manajemen Lingkungan Universitas Undip Sudharto P Hadi mengatakan, saat pandemi Covid-19, diketahui bahwa 90 persen bahan baku obat di Indonesia bergantung pada impor. Kenyataan itu ironis mengingat Indonesia kaya keanekaragaman hayati.
"Dari catatan yang saya punya, baru enam persen keanekaragaman hayati kita yang didayagunakan. Kita termasuk bangsa yang belum memelihara dan mendayagunakan keanekaragaman hayati dengan baik," kata Rektor Undip periode 2010-2014 itu.
Ia mencontohkan, hutan-hutan seperti di Kalimantan dan Sumatera, yang merupakan gudang keanekaragaman hayati banyak dikonversi untuk sejumlah peruntukan, seperti sawit, tambang, hutan tanaman industri, dan hak penguasaan hutan. Di Pulau Jawa, lahan pertanian menyusut berkisar 100.000-110.000 hektar per tahun.
Oleh karena itu, di masa pandemi Covid-19 ini, bukan hanya individu yang hijrah atau berubah dengan menerapkan kebiasaan baru seperti cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. "Namun, paradigma pembangunan kita juga harus berubah agar keanekaragaman hayati kita tak terpuruk. Tidak makin terperosok," ucapnya.
Kemerosotan keanekaragaman hayati, lanjut Sudharto, akan berujung pada tidak berdaulatnya Indonesia di bidang kesehatan dan pertanian. Selain itu, degradasi lingkungan juga berujung pada sejumlah bencana, seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Maka, pembangunan harus menyinergikan ekonomi, ekologi, dan keadilan. "Kita berharap ke depan akan lebih baik dengan pembangunan rendah karbon, ekonomi hijau, dan ekonomi yang berbasis pada ekonomi lokal. Potensi-potensi keanekaragaman hayati, ditambah inovasi, akan penting untuk kesehatan dan kesejahteraan kita," ujarnya.
Paradigma pembangunan kita juga harus berubah agar keanekaragaman hayati kita tak terpuruk. Tidak makin terperosok
Investasi mitigasi
Widyaiswara Ahli Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Medi Herlianto menuturkan, bencana alam kerap terjadi di Indonesia. Dampaknya, akan sangat dirasakan jika tak ada pengelolaan kawasan atau tata lingkungan yang baik. Salah satu hal krusial ialah peran kepemimpinan di semua tingkat.
"Setiap pemimpin harus mengakses teknologi dan sains. Dalam hal ini, peran perguruan tinggi sangat penting, agar setiap kebijakan yang dilahirkan berdasarkan masukan dari para pakar dan ilmuwan," ujarnya.
Medi menambahkan, saat ini, investasi mitigasi amat minim. Seringkali, saat kejadian bencana, penanganannya bingung, dan panik. Hal tersebut pun menjadi tantangan ke depan, termasuk bagaimana adanya sinergi data, informasi, dan komunikasi yang baik.
Dekan Fakultas Sains Kemanusiaan Universitas Pendidikan Sultan Idris, Malaysia Mohd Hairy Bin Ibrahim mengatakan, sejumlah wilayah di Semenanjung Malaysia pernah dihadapkan pada bencana banjir hebat, yakni pada 2012 dan 2014. Hal tersebut memberi dampak, termasuk pada lingkungan dan manusia.
"Hutan atau sumber hutan menjadi salah satu keanekaragaman hayati yang penting bagi Malaysia. Oleh karena itu, terjadinya bencana menjadi titik tolak agar kita, manusia, yang tinggal di manapun, harus bertanggungjawab. Siapapun, baik ahli lingkungan, pemimpin, hingga warga lokal," katanya.