Revitalisasi Danau Tondano Berlanjut, Warga Dilibatkan Angkat Eceng Gondok
Revitalisasi Danau Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara, terus berlangsung dengan pengangkatan eceng gondok. Pemerintah Kabupaten Minahasa menyatakan, masyarakat turut dilibatkan dalam tim pembersihan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Revitalisasi Danau Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara, terus berlangsung dengan pengangkatan eceng gondok. Pemerintah Kabupaten Minahasa menyatakan, masyarakat turut dilibatkan dalam tim pembersihan. Kebijakan ini juga diambil untuk menyediakan sumber pemasukan alternatif bagi warga yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19.
Menurut data Pemkab Minahasa yang diakses pada Sabtu (6/6/2020), hamparan eceng gondok seluas 116,50 hektar (ha) dari total 315,255 ha yang tumbuh di perairan Danau Tondano telah dibersihkan. Data luasan hamparan tersebut berasal dari foto udara yang diambil dengan pesawat nirawak pada 19 Mei 2020.
Hamparan eceng gondok itu menutupi sekitar 8 persen dari 3.925 ha luas Danau Tondano yang tercatat pada 2015. Luas danau itu telah menyusut dari sekitar 5.600 hektar pada 1939 akibat sedimentasi dan pembangunan di sempadan danau.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Minahasa Vicky Kaloh mengatakan, hamparan eceng gondok 198,76 ha yang tersisa kini terpusat di wilayah danau yang masuk Kelurahan Tolour, Kecamatan Tondano Timur, hingga Desa Toliang, Kecamatan Eris. ”Selebihnya tersebar di sekitar Kecamatan Tondano Selatan, Remboken, dan Kakas. Sebarannya mengikuti tiupan angin barat dan angin selatan, tetapi sekarang mulai padat di lokasi-lokasi itu,” kata Vicky.
Pembersihan eceng gondok saat ini dilakukan dalam kerja sama antara pemerintah kabupaten, provinsi, TNI AD, hingga badan usaha milik negara (BUMN) seperti PT PLN. Aliran keluar ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano adalah penggerak turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Tanggari I dan II serta Tonsea Lama.
Vicky mengatakan, saat ini ada empat ekskavator dari pemerintah kabupaten dan provinsi yang digunakan untuk mengeruk eceng gondok. ”Awal Agustus nanti kami akan menghitung lagi hasil intervensi program ini untuk melihat efektivitasnya pada pelestarian Danau Tondano,” katanya.
Vicky juga menyatakan masyarakat sekitar danau sepenuhnya terlibat dalam upaya revitalisasi ini. Sebagian warga di lingkar Danau Tondano termasuk dalam 20.000 warga Minahasa yang jatuh miskin akibat terdampak pandemi sehingga membutuhkan bantuan bahan pangan.
Sebagian warga di lingkar Danau Tondano termasuk dalam 20.000 warga Minahasa yang jatuh miskin akibat terdampak pandemi sehingga membutuhkan bantuan bahan pangan.
”Banyak sopir ojek, pedagang, dan tukang bangunan yang kehilangan penghasilan. Pekerjaan yang kami tawarkan ini bisa menjadi sejenis jaring pengaman sosial. Dalam pelaksanaannya, kami terus mengawasi kepatuhan mereka terhadap protokol kesehatan dan jaga jarak,” kata Vicky tanpa menyebut jumlah dana untuk revitalisasi danau.
Di sisi lain, anggota DPRD Minahasa, Ansye Taniowas, mengatakan, keterlibatan dan dukungan masyarakat sangat penting dalam upaya revitalisasi Danau Tondano. Pemerintah kabupaten pun perlu menjamin keberhasilan revitalisasi. Sebab, anggaran yang dikucurkan, menurut dia, tidak sedikit, yaitu Rp 20 miliar. Namun, angka itu belakangan dibantah oleh Vicky.
”Manfaat Danau Tondano dirasakan bukan hanya oleh warga Minahasa, melainkan juga warga Sulut. Ada sektor perikanan air tawar, pariwisata, dan energi yang terpusat di sana. Danau Tondano adalah sumber pendapatan asli daerah bagi Minahasa sehingga pelestariannya sangat penting,” katanya.
Ansye juga mengatakan, Danau Tondano adalah satu dari 15 danau prioritas nasional untuk diselamatkan. Ia berharap, pemerintah dapat menggandeng lebih banyak pihak, seperti lembaga swadaya masyarakat dan pihak swasta, dalam upaya revitalisasi. Ia menambahkan, tata kelola Danau Tondano nantinya lebih baik diserahkan kepada pihak swasta.
Sementara itu, pegiat masyarakat adat Minahasa, Rivo Gosal, justru mengkritik kebijakan pemerintah daerah yang cenderung melanggengkan pembangunan demi keuntungan ekonomi, tetapi membiarkan lingkungan rusak. Hal ini direfleksikan oleh penyempitan Danau Tondano. Sedimentasi juga menyebabkan kedalaman danau menyusut dari 43 meter pada 1939 menjadi 14 meter pada 2015.
Di samping itu, menurut Rivo, pemerintah juga kerap mengabaikan kearifan lokal warga sekitar Danau Tondano. ”Seharusnya, saat ada masalah lingkungan, pemerintah menengok tradisi masyarakat yang selalu merawat dan melestarikan Danau Tondano. Sejak zaman dahulu, inisiatif masyarakat sebenarnya sangat tinggi,” katnya.
Pemberian pakan ikan dalam praktik budidaya keramba di danau oleh nelayan lokal justru menjadi pemicu tumbuhnya eceng gondok.
Namun, nyatanya kearifan lokal tersebut sudah tak tampak di sekitar danau itu. Pemberian pakan ikan dalam praktik budidaya keramba di danau oleh nelayan lokal justru menjadi pemicu tumbuhnya eceng gondok.
Rivo pun menyadari budaya konservasi masyarakat telah terkikis dan ia menuntut pemerintah tidak hanya merevitalisasi danau, tetapi juga budaya masyarakat sekitar Danau Tondano. Ia juga meminta Pemkab Minahasa menyediakan zonasi khusus pemanfaatan oleh warga.
Terkait hal ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Minahasa Vicky Kaloh mengatakan, pemkab sedang menyusun peraturan daerah tentang zonasi Danau Tondano. Acuan yang digunakan dalam penyusunan adalah peta zonasi tahun sebelumnya, rencana tata ruang dan wilayah, serta rencana induk pariwisata.
”Sementara ini, kami kesulitan menertibkan jaring apung milik masyarakat. Ada yang sudah tidak digunakan, tetapi dibiarkan menancap. Keterlibatan masyarakat sangat penting,” kata Vicky.