Desa Wisata di Sleman Didorong Ubah Pola Kunjungan Wisatawan
Desa wisata di Kabupaten Sleman, DIY, didorong untuk mengubah pola dari kunjungan massal menjadi kunjungan kelompok-kelompok kecil setingkat keluarga.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Desa wisata di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, didorong untuk mengubah pola kunjungan wisatawan, dari kunjungan massal menjadi kunjungan kelompok-kelompok kecil setingkat keluarga. Hal ini untuk menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi Covid-19, yang menekankan pembatasan kerumunan dan mengutamakan jaga jarak.
”Melihat dari pandemi (Covid-19) ini, akan ada perubahan besar. Bahwa wisata massal bukan lagi utama. Yang dijual adalah kualitasnya. Dan, desa wisata akan menerima tamu dalam grup-grup kecil,” kata Doto Yugantoro, Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata Sleman, saat dihubungi, Selasa (9/6/2020).
Doto menjelaskan, wisatawan dalam grup kecil itu biasanya kelompok keluarga. Dorongan untuk menerima tamu dalam grup kecil ini mengingat posisi desa wisata bersinggungan langsung dengan warga desa. Penerimaan tamu dalam grup kecil juga memungkinkan dilakukannya pembatasan fisik atau jaga jarak sesuai protokol kesehatan.
”Desa wisata ini, kan, ada interaksi dengan masyarakat. Lingkungan kerjanya di tengah masyarakat. Jadi, harus hati-hati betul,” kata Doto.
Untuk itu, lanjut Doto, wisata yang menyuguhkan outbound tidak akan lagi banyak ditawarkan. Desa wisata didorong untuk menonjolkan keunikan dari tiap-tiap tempat. Nantinya, keunikan dari satu desa wisata akan saling melengkapi dengan desa wisata yang lain.
Keunikan yang dimaksud itu beragam, mulai dari atraksi budaya, kuliner, hingga pengalaman hidup bersama warga desa. Itu semua dilakukan dengan mengedepankan protokol kesehatan berupa jaga jarak dengan pembatasan jumlah pengunjung.
Doto, yang juga Ketua Desa Wisata Pentingsari, mencontohkan, keunikan yang ditawarkan kepada wisatawan dari desa wisatanya adalah interaksi dengan lingkungan. Ia memadukan wisata alam dan budaya.
Wisatawan dapat menikmati pemandangan dengan berkeliling desa dan menyusuri sungai. Aktivitas warga seperti bercocok tanam hingga berkesenian dengan gamelan dan wayang suket pun dapat diikuti.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Sleman Sudarningsih menyampaikan, desa wisata tidak beroperasi selama pandemi sejak pertengahan Maret 2020. Pihaknya menyatakan protokol kesehatan ketat harus disiapkan apabila desa wisata akan beroperasi kembali. Oleh karena itu, desa wisata akan menjadi destinasi yang dibuka paling akhir.
”Mereka memang akan dibuka yang paling akhir. Desa wisata itu, kan, bersinggungan langsung dengan masyarakat. Jangan sampai sekadar dibuka (destinasinya) lalu terjadi benturan di masyarakat. Jadi, masyarakat juga harus benar-benar siap sebelum kembali menerima tamu,” kata Sudarningsih.
Terkait hal itu, Doto mengatakan, para pengelola desa wisata harus bisa mengajak segenap masyarakat memahami pentingnya pemberlakuan protokol kesehatan. Ini termasuk juga mempersiapkan fasilitas pendukung dalam menerapkan protokol kesehatan, seperti tempat cuci tangan.
”Lebih kurang dua bulan kami harus simulasi. Tidak mudah membudayakan cuci tangan, pakai masker, dan apa yang menjadi tuntutan new normal. Kami ingin teman-teman benar-benar siap sebelum kembali beroperasi,” kata Doto.
Secara terpisah, Ketua Desa Wisata Pulesari Didik Irwanto menuturkan, pihaknya tidak ingin terburu-buru membuka kembali aktivitas desa wisata. Ia ingin memastikan agar fasilitas pendukung protokol kesehatan sudah siap. Kesiapan tidak hanya dari segi fasilitas pendukung, tetapi juga masyarakatnya yang akan menjadi pelaku utama dalam beroperasinya desa wisata.