Pelaksanaan tes massal Covid-19 di Surabaya yang berlangsung setiap hari sejak sebulan terakhir tidak pernah sepi peminat. Tes massal digelar gratis dan bisa diikuti semua warga, tidak hanya warga Surabaya.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA/IQBAL BASYARI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pelaksanaan tes massal Covid-19 di Surabaya yang berlangsung setiap hari sejak sebulan terakhir tidak pernah sepi peminat. Tes massal digelar gratis dan bisa diikuti oleh semua warga, tidak hanya warga Surabaya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Surabaya, Selasa (9/6/2020), mengatakan, tes massal di Surabaya berbasis perkampungan karena karakter penularan terjadi di keluarga. Oleh sebab itu, semua warga yang tinggal di perkampungan yang sudah terjadi kluster penularan harus mengikuti tes untuk memastikan kondisi kesehatannya.
Jika ada warga yang sudah terlacak, keluarga dan tetangganya serta orang yang pernah melakukan kontak langsung diupayakan secepatnya menjalani tes cepat. (Tri Rismaharini)
Tes massal berbasis permukiman atau RT/RW berdasarkan data kontak penelusuran dari pasien terkonfimasi positif. Tim dari dinas kesehatan kemudian memetakan lokasi warga yang masuk kategori orang dalam pemantauan, orang tanpa gejala, pasien dalam pengawasan, bahkan orang dalam risiko.
”Jika ada warga yang sudah terlacak, keluarga dan tetangganya serta orang yang pernah melakukan kontak langsung diupayakan secepatnya menjalani tes cepat,” katanya.
Tes massal dimulai dengan tes cepat. Jika hasil tes menunjukkan reaktif, warga harus melanjutkan tes usap tenggorokan. Selama menunggu hasil tes usap tenggorokan keluar, biasanya tiga hingga lima hari, warga akan diisolasi di hotel.
”Jika hasil tes usap tenggorokan positif, akan dipindahkan ke Asrama Haji Embarkasi Surabaya jika tidak bergejala atau di rumah sakit jika menunjukkan gejala agar segera mendapatkan perawatan dari tenaga kesehatan,” tutur Risma.
Hingga 6 Juni 2020, tes cepat sudah dilakukan kepada 43.409 orang dengan hasil 4.971 orang reaktif. Sementara tes usap tenggorokan sudah dilakukan kepada 5.257 orang dengan hasil rata-rata 17 persen positif. Tes massal semakin massif dalam dua pekan terakhir setelah mendapat bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Intelijen Negara.
Tingginya kesadaran warga Kota Surabaya untuk ikut tes cepat tecermin dari besarnya jumlah peserta hingga 2.000 orang per hari. Bahkan, setiap pagi, antrean warga yang ikut tes massal sudah menumpuk sebelum waktu tes dimulai. Pengumuman tes biasanya disebar melalui pengurus RT/RW setempat dan media sosial.
Bahkan, karena peminat sangat tinggi, terkadang ada pembatasan kuota setiap RT sebanyak 50 orang untuk ikut tes cepat. ”Warga yang ikut tes cepat oleh RT diutamakan kelompok lanjut usia dengan umur 60 ke atas. Berhubung lansia tidak banyak, saya dan suami masuk kuota tes yang digelar langsung di dekat rumah. Jadi, petugas yang datang ke perumahan,” kata Fransiska (43), warga Puri Mas.
Sejumlah warga mengungkapkan alasan mereka ikut tes cepat karena ada jaminan kelanjutan perawatan jika hasil tes cepat reaktif. Seperti diungkap Sahroni (39), penjual soto di Gunung Anyar, ia bersama seluruh keluarga, termasuk ayah dan ibunya, berjumlah lima orang sudah menjalani tes cepat di kantor Kecamatan Gunung Anyar, pekan lalu.
”Kami, kan, berjualan soto keliling, jadi penting ikut tes. Wong gratis, kok. Ketua RT selalu mengajak warga, terutama yang aktivitas masih tinggi seperti berjualan, agar segera ikut tes cepat,” katanya.
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai, antusiasme tinggi warga Surabaya untuk ikut tes cepat salah satunya karena pengaruh personal Risma yang dapat merangkul masyarakat. Risma mampu meyakinkan warga untuk ikut tes sehingga penolakan tes yang terjadi di beberapa daerah tidak terjadi di kota ini.
Selain itu, Pemerintah Kota Surabaya telah menyiapkan fasilitas kesehatan, termasuk isolasi yang cukup memadai, bagi warga yang terkonfirmasi positif. ”Pembatasan berbasis komunitas melalui Kampung Wani Jogo Suroboyo menjadi ujung tombak di masyarakat agar selalu mematuhi protokol kesehatan sekaligus mencegah terjadinya penularan,” tutur Pandu yang menjadi salah satu anggota komunitas Kawal Covid-19.
Namun, kondisi di Surabaya tidak sama dengan daerah lain. Tes massal yang digelar di Sidoarjo sepi peminat, terlihat dari tes kepada pedagang di Pasar Taman dengan kuota 200 orang hanya terisi 140 orang. Penolakan terhadap tes bahkan terjadi di Makassar dan Kediri.
Ada stigma
Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto menilai, munculnya penolakan tes cepat oleh warga di sejumlah daerah karena masih ada stigma buruk terhadap pasien Covid-19. Beberapa pemerintah daerah masih memperlakukan warga yang terpapar virus korona baru sebagai orang yang bersalah, bukan korban yang seharusnya dilindungi.
Akibatnya, terjadi stigma negatif terhadap orang yang positif Covid-19. Warga pun enggan memeriksakan diri karena khawatir didiagnosis Covid-19. Padahal, tes sangat penting untuk menghentikan penularan karena sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala.
”Informasi mengenai kepastian dan keberlanjutan warga positif Covid-19 juga masih simpang siur, bahkan sering muncul hoaks yang membuat warga tidak mau dites. Harus ada informasi yang jelas dan kepastian prosedur agar warga yakin ikut dites,” katanya.