Diculik Lu Qing Yuan Yu, Diselamatkan Tengku Melayu
Kami sudah janji hidup atau mati sama-sama. Lebih baik mati di laut daripada mati karena tekanan batin di kapal itu.
Kapal ikan berbendera China, Lu Qing Yuan Yu 901, tengah dalam perjalanan pulang dari Laut Arabia, Selasa (2/6/2020). Di dalam kapal, dua warga negara Indonesia bergantian mengintip alat navigasi di ruang kemudi. Mereka ingin memastikan apakah posisi kapal sudah memasuki Selat Malaka.
Reynalfi Sianturi (22) dan Andri Juniansyah (30) berencana melarikan diri dari Lu Qing Yuan Yu. Namun, hal itu tak akan mudah karena selama tujuh bulan berlayar kapal itu tak pernah sekali pun merapat ke pelabuhan. Satu-satunya cara untuk kabur adalah terjun ke laut.
Mereka mengajak 10 WNI yang lain di kapal itu ikut melarikan diri. Namun, semua menolak karena risikonya terlalu besar. Cuaca sedang tak menentu, hujan lebat dan ombak tinggi bisa datang kapan saja. Lagi pula Lu Qing Yuan Yu 901 berlayar dengan diapit dua kapal lain. Setelah loncat ke laut, besar kemungkinan mereka akan ditabrak kapal di belakang dan hancur digilas baling-baling.
Meskipun ditentang kawan-kawannya, niat Reynalfi dan Andri sudah telanjur bulat. Tiga hari kemudian, Jumat (5/6/2020), mereka mengendap-endap lagi ke ruang kemudi untuk mengintip alat navigasi. Pulau Singapura kini terlihat sangat jelas. Kapal itu jelas sudah berada di perairan perbatasan Indonesia.
”Pulau Singapura kelihatan jelas di komputer besar, jadi, kan, jelas sampingnya (wilayah) Indonesia. Kami mau lompat di pulau kecil yang ada mercusuarnya,” kata Andri saat ditemui di Kantor Badan PerIindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Pulau Karimun Besar, Kepulauan Riau, Senin (8/6/2020).
Tanpa buang waktu lagi, Reynalfi dan Andri segera mencuri ban dan jaket pelampung. Mereka juga membungkus nasi sisa makan malam dan beberapa lembar baju dengan plastik hitam. WNI yang lain membantu mengawasi pergerakan mandor kapal.
Sekitar pukul 20.00, empat WNI mengantar Reynalfi dan Andri ke buritan kiri. Tak ada kata perpisahan, tak ada lambaian tangan, hanya pandangan empat pasang mata yang mengantar kepergian mereka. Byurrr... dua tubuh manusia menghunjam ke laut.
Beruntung, satu kapal China yang di belakang tidak menabrak dan menggilas mereka. Deru mesin kapal-kapal itu semakin jauh. Reynalfi dan Andri terombang-ambing sendirian di tengah laut. Mereka berpelukan menahan dinginnya gerimis dan ganasnya ombak pada malam itu.
Baca juga: Pengembara Laut yang Dipaksa ke Darat
Sekitar tengah malam, sebuah kapal kecil melintas di dekat mereka. Reynalfi berteriak minta tolong, tetapi kapal itu malah mematikan lampu dan menjauh. Hal itu membuat mereka putus asa, ombak semakin kuat dan mereka tak kunjung berhasil menepi ke pulau terdekat.
Tak jauh dari lokasi itu, di atas kapal pompong, Tengku Azhar (35) sedang tidur menunggu tangkapan ikan di jaring yang telah ia pasang sejak sore. Sekitar pukul 03.00, Sabtu (6/6/2020), tiba-tiba ia mendengar orang minta tolong. Terbangun karena kaget, nyaris seperti kapal yang pertama, ia langsung mematikan lampu kapal dan buru-buru mengangkat jaring untuk kemudian menjauh pindah tempat.
”Saya tak tahu yang panggil itu entah hantu entah apa. Takut juga saya, kan, makanya buru-buru angkat jaring. Tapi pas lagi angkat delapan bola (pelampung jaring), saya lihat ada orang pakai life jacket angkat tangan minta tolong,” tutur Azhar dengan logat melayu yang kental, Minggu (7/6/2020).
Bukan Tengku namanya jika ia pergi begitu saja. Nama Tengku melekat kepada Azhar bukan tanpa alasan. Dari garis ayahnya mengalir darah keturunan bangsawan Siak dari Riau daratan. Meskipun hidupnya sebagai nelayan kecil tak memancarkan kemewahan bangsawan, keutamaan dalam hatinya untuk menolong sesama tak akan pernah luntur.
Penasaran, ia menghidupkan mesin dan mendekati asal suara. ”Saya tak langsung kasih naik, tanya dulu dari mana. Dia bilang dari Indonesia, baru terjun dari kapal cumi punya China. Ya sudah terus saya naikkan dulu,” ujarnya.
Saat itu, kondisi Andri setengah tak sadar kehabisan tenaga. Reynalfi mengikat pinggang Andri ke tubuhnya agar kawannya itu tak tenggelam. ”Kami sudah janji hidup atau mati sama-sama. Lebih baik mati di laut daripada mati karena tekanan batin di kapal itu,” kata Reynalfi kepada Azhar.
Mendengar hal itu, Azhar menangis kasihan. Reynalfi dan Andri juga menangis berterima kasih karena telah diselamatkan dari maut. Di atas kapal pompong itu, Azhar yang Melayu, Reynalfi yang Batak, dan Andri yang berasal dari Sumbawa merasa senasib sebagai nelayan Indonesia yang sengsara.
Kami sudah janji hidup atau mati sama-sama. Lebih baik mati di laut daripada mati karena tekanan batin di kapal itu.
Ditipu dan dipaksa kerja
Reynalfi berasal dari Pematang Siantar, Sumatera utara. Pada 11 November 2019, ia datang ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan kerja. Kata seorang agen penyalur bernama Udin, ia akan dipekerjakan di Korea Selatan dan mendapat upah hingga Rp 50 juta per bulan.
Keanehan mulai muncul sejak Reynalfi tiba di Jakarta, agen itu meminta uang Rp 45 juta untuk mengurus izin kerja. Lalu, ia dibawa ke Cirebon, Jawa Barat, untuk mengikuti pelatihan dasar keselamatan dan mendapatkan buku pelaut.
”Pelatihannya sekitar seminggu saja, saya cuma disuruh berenang. Saya berpikir kenapa, kok, latihannya begitu, padahal seharusnya kerja saya di darat,” ujarnya.
Delapan hari kemudian, agen itu memberangkatkan Reynalfi ke Singapura melalui Bandara Soekarno-Hatta. Setelah sampai di ”Negeri Singa” itu, lima WNI diangkut kapal kecil menuju Lu Qing Yuan Yu 901.
”Katanya kapal itu menuju Korea Selatan, tetapi ternyata malah ke Laut Arabia. Hari ke-12 kami diberi pakaian kerja,” ujarnya.
Hal serupa dialami juga oleh Andri yang berasal dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ia diberangkatkan oleh seorang agen dari PT Duta Putra Grup yang bernama Syafrudin. Setelah membayar Rp 50 juta, ia dijanjikan akan bekerja untuk pabrik manufaktur di Korea Selatan.
Baca juga: KM Dharma Rucitra III Belum Dievakuasi
Kisah selanjutnya berjalan sama dengan yang dialami Reynalfi. Setelah sampai di Singapura pada Januari 2020, ia dipaksa bekerja di Lu Qing Yuan Yu 213. Empat bulan kemudian, Andri dan enam WNI lain dipindahkan ke Lu Qing Yuan Yu 901. Di kapal itulah ia bertemu Reynalfi dan lima WNI yang lain.
Sejak dipaksa naik ke Lu Qing Yuan Yu, semua WNI itu tidak pernah lagi melihat daratan dan tidak pernah menerima upah kerja. Waktu di Singapura, ponsel mereka juga disita sehingga mereka tidak bisa menghubungi keluarga di kampung halaman.
”Kapten bilang kami harus ikut aturan kerja kalau enggak masalah bisa panjang. Makanya mau enggak mau dengan berat hati kami kerjakan. Kami sering dikata-katain yang enggak layak untuk didengar, juga disepakin, pokoknya diperlakukan tidak pantas,” ujar Reynalfi.
Di Lu Qing Yuan Yu 901 ada 21 pelaut China, 12 WNI, dan 4 warga Myanmar. Warga Indonesia dan Myanmar diperlakukan buruk. Mereka harus makan secara bergerombol di satu nampan besar. Mereka juga tidak boleh minum air mineral yang tersedia, hanya boleh minum air payau hasil sulingan air laut.
Puncak gunung es
Dalam seminar daring yang diselenggarakan Destructive Fishing Watch (DFW), Rabu (10/6/2020), Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia di Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, kasus yang mengusik rasa kemanusiaan itu merupakan puncak gunung es. Dalam catatan Kemenlu, pada 2019 ada 1.095 kasus terkait dengan pelaut Indonesia di luar negeri.
Misalnya pada 23 November 2019, Taufik Ubaidilah, anak buah Kapal FV Fu Yuan Yu 1218, meninggal karena kecelakaan kerja dan jenazahnya dilarung ke laut. Sementara enam WNI yang lain melompat dari kapal. Empat orang diselamatkan kapal Filipina, sedangkan dua yang lain belum ditemukan.
Selanjutnya pada 16 Januari 2020, publik dihebohkan sebuah video yang memperlihatkan jenazah Herdianto, anak buah kapal Lu Qing Yuan Yu 623, dilarung ke Laut Somalia. Terakhir, pada 26 April lalu, Efendi Pasaribu, anak buah Kapal Long Xin 629, meninggal tanpa sebab jelas di Korea Selatan.
Baca juga: Jaga Sumber Daya Kelautan dari Perusakan dan Ketidakkonsistenan Regulasi
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) Sulawesi Utara Anwar Abdul Dalewa mengatakan, hanya sedikit perusahaan perekrut yang dihukum dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang korbannya adalah awak kapal perikanan tangkap. ”Kami ingin tahu mandeknya ini kenapa, (padahal) laporan kami sudah masuk,” ujarnya.
Di luar sana, masih ada ribuan atau bahkan puluhan ribu WNI yang bekerja dalam kondisi buruk sebagai awak kapal ikan milik asing. Kru kapal asing yang mempekerjakan mereka tentu patut dikutuk. Namun, yang sebenarnya lebih kejam adalah agen penyalur di Indonesia yang tega menjual bangsa sendiri untuk diperbudak orang asing.
Sementara itu, di ruang tamu Kantor BP2MI yang remang di Pulau Karimun Besar, Reynalfi dan Andri teringat 10 kawannya yang masih berada di Lu Qing Yuan Yu 901. ”Bantu kami, kami ingin pulang,” ujar Andri menirukan kata-kata perpisahan dari para WNI di Lu Qing Yuan Yu 901 pada malam terakhir mereka bersama.
Bantu kami, kami ingin pulang.