Tak Ada Niat Kami Menari di Atas Penderitaan Orang Lain
Penanganan pandemi Covid-19 di Sulawesi Selatan menghadapi batu sandungan. Tudingan ambil untung di tengah pandemi kini jadi taruhan kepercayaan pada pemerintah dan tenaga kesehatan. Edukasi dan transparansi jadi kunci.
Lebih dari sepekan terakhir, Makassar diramaikan gelombang protes dari warga yang menolak tes cepat. Protes mewujud dalam bentuk pengusiran tenaga kesehatan, spanduk berisi kalimat penolakan yang dipasang di gerbang permukiman, ujung jalan, dan gang. Sebagian menambah portal berupa bambu dan balok hingga pagar besi.
Hampir bersamaan dengan protes ini, aksi penjemputan paksa jenazah berstatus PDP dilakukan keluarga di sejumlah rumah sakit. Persoalan kemudian muncul saat hasil usap tenggorokan pasien meninggal tersebut dinyatakan positif. Kluster jenazah menjadi ancaman di depan mata.
Kluster jenazah adalah kemungkinan yang bisa jadi nyata mengingat pemeriksaan sejumlah tersangka penjemputan jenazah yang diamankan aparat kepolisian menunjukkan hasil reaktif.
Hingga Rabu ((10/6/2020) malam, upaya penjemputan jenazah masih coba dilakukan walau aparat keamanan bisa mencegah. Penjagaan ketat kini dilakukan di rumah sakit. Pengawalan ketat juga dilakukan aparat hingga ke Macanda, lokasi pemakaman khusus korban Covid-19,baik berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) maupun positif.
Terkait penolakan tes cepat, saat ini sebagian spanduk memang telah diturunkan. Portal pun sudah dibuka. Namun tak berarti warga sudah berdamai dan bersedia mengikuti tes cepat. Penolakan dan pengusiran tenaga kesehatan tetap saja ada.
Baca juga: Kasus Covid-19 Meningkat Saat Pelonggaran, Tes Cepat Massal Dilakukan di Balikpapan
”Ini adalah kemauan warga. Mereka menolak jika akan di-rapid test. Awalnya warga patuh dan tinggal di rumah, apalagi selama PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Banyak yang kehilangan mata pencarian. Tapi belakangan kami melihat banyak yang tidak beres. Terlebih saat penyaluran bantuan sosial kemarin, banyak yang seharusnya dapat tapi tidak diberi dan ada yang layak justru mendapatkan bantuan,” kata Dedi Sasmita (45), warga Jalan Sunu, Makassar.
Apa yang dikatakan Dedi tak sepenuhnya salah. Sebagian warga yang memasang spanduk penolakan dan portal sesungguhnya mereka pula yang saat PSBB dilaksanakan menjaga permukiman mereka. Saat itu spanduk dan portal juga dipasang, tetapi tulisannya ”Dilarang masuk, kami sedang melakukan PSBB”.
Ada banyak alasan hingga akhirnya warga kini membangkang. Kekhawatiran paling besar adalah jika hasil tes reaktif dan mereka harus menjalankan isolasi. Padahal sebagian adalah buruh harian atau karyawan yang sejak pandemi, dirumahkan, atau tak mendapatkan penghasilan. Bantuan sosial yang diharapkan tak kunjung tiba hingga PSBB berakhir.
”Kami butuh bekerja untuk menghidupi keluarga. Kalau misalnya saya dites lalu reaktif dan harus diisolasi, keluarga saya makan apa?” kata Syamsuddin, warga di Jalan Barukang.
Kami butuh bekerja untuk menghidupi keluarga. Kalau misalnya saya dites lalu reaktif dan harus diisolasi, keluarga saya makan apa.
Maka menolak tes cepat dan kembali bekerja menjadi pilihan Syamsuddin dan sebagian warga. Tak peduli Makassar sudah menjadi episentrum dengan kenaikan kasus cukup signifikan dari hari ke hari.
Sebagai gambaran, pada Rabu (10/6/2020), ada penambahan kasus positif 166 di Makassar dan keesokan harinya bertambah lagi 115. Pergerakan angka ini cukup mengkhawatirkan di tengah situasi Makassar yang sejak PSBB berakhir benar-benar kembali normal. Warga pun mulai abai dengan protokol kesehatan.
Akumulasi berbagai persoalan
Bantuan sosial sesungguhnya hanya satu alasan. Ada persoalan lain yang juga memicu penolakan warga. Sejumlah kasus pasien yang masuk rumah sakit dan langsung diberi status PDP dinilai sebagian keluarga seolah dipaksakan. Terlebih saat pasien akhirnya meninggal dan hasil uji usap tenggorokan belum keluar. Dengan status PDP, pemulasaraan jenazah mutlak dilakukan dengan mengikuti standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Padahal sejumlah kasus seperti ini berakhir dengan hasil usap negatif.
Warga kemudian menuding penyematan status PDP adalah permainan untuk kepentingan klaim biaya perawatan. Tudingan ini kian menguat saat sejumlah media arus utama menulis berita hasil wawancara dengan Menteri BUMN Erick Tohir yang menyebut biaya perawatan pasien PDP dan positif Covid-19 mencapai ratusan juta rupiah per orang.
Warga kemudian menuding penyematan status PDP adalah permainan untuk kepentingan klaim biaya perawatan. Tudingan ini kian menguat saat sejumlah media arus utama menulis berita hasil wawancara dengan Menteri BUMN Erick Tohir yang menyebut biaya perawatan pasien PDP dan positif Covid-19 mencapai ratusan juta rupiah per orang.
Akumulasi berbagai persoalan ini menjadi titik balik perlawanan dan pembangkangan warga. Satu per satu keluarga korban akhirnya mengisahkan apa yang dialami melalui media sosial. Lebih dari sebulan, jagat media sosial di Makassar diramaikan dengan berbagai unggahan yang berisi pengalaman mendampingi keluarga yang berstatus PDP dan berakhir di Macanda.
Macanda menjadi kata menakutkan yang sekaligus mewakili lara keluarga. Sejumlah pihak kini bahkan meminta menggali kembali makam untuk memindahkan jenazah ke makam keluarga. Persoalan kian rumit. Setidaknya ada 174 pasien meninggal berstatus PDP yang dimakamkan di Macanda.
Salah satu yang cukup menyita perhatian adalah unggahan Andi Esa Abram, keluarga pasien PDP yang meninggal di RS Bhayangkara. Dia menulis, ibunya, Nurhayani Abram, masuk RS Bhayangkara pada Jumat (15/5/2029) akibat stroke dan pecah pembuluh darah. Namun, langsung diberi status PDP. Hanya beberapa jam di rumah sakit, ibunya meninggal.
Keluarga mendesak meminta hasil usap tenggorokan untuk memastikan status almarhum agar bisa dibawa pulang. Namun permintaan ini tak mendapat jawaban memuaskan dari petugas rumah sakit. Terjadi ketegangan saat keluarga berusaha mempertahankan jenazah dan meminta bisa melakukan shalat jenazah. Upaya yang berakhir sia-sia. Korban meninggal akhirnya dimakamkan di Macanda tanpa didampingi keluarga, tetapi hasil usap yang keluar sepekan kemudian menunjukkan negatif.
Setelah unggahan ini, unggahan serupa terus bermunculan. Puncaknya adalah upaya pengambilan paksa jenazah di sejumlah rumah sakit. Setidaknya sudah terjadi lebih dari lima kasus penjemputan paksa jenazah yang melibatkan ratusan keluarga dan beberapa upaya penjemputan yang akhirnya digagalkan petugas.
Baca juga: Kasus Positif Meningkat Tajam, Tenaga Kesehatan di Sumut Diminta Waspada
Batu sandungan
Berbagai persoalan ini jelas menjadi batu sandungan di tengah upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menangani pandemi. Padahal, salah satu upaya menekan laju kurva kasus Covid-19 adalah dengan melakukan tes cepat massal.
Pakar epidemiologi Unhas, Ridwan Amiruddin, mengatakan, tes cepat untuk menjaring orang-orang positif adalah langkah strategis menekan penyebaran Covid-19. Saat ini dengan angka reproduksi rata-rata 0,9-1,8, di Sulawesi Selatan dan 1,9 di Makassar, satu orang positif bisa menularkan kepada dua orang lainnya, bahkan lebih, dengan masa penggandaan hingga delapan hari.
”Makanya menangkap satu kasus, bisa mencegah penularan ke dua orang. Tes cepat efektif menekan kurva. Semakin banyak kasus baru ditemukan, makin besar upaya menekan penularan,” kata Ridwan yang juga Ketua Tim Konsultan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Sulawesi Selatan.
Ridwan mengatakan, penolakan tes cepat dan penjemputan paksa jenazah sebagai hal mengkhawatirkan di tengah penanganan pandemi di Sulawesi Selatan. Terlebih dengan perkembangan kasus positif yang terus meningkat di daerah ini.
Ridwan mengingatkan, prediksi dan hitungan yang sudah dilakukan ahli epidemiologi menunjukkan puncak pandemi terjadi di Sulawesi Selatan pada akhir Juni hingga awal Juli. Adapun di Makassar, puncak pandemi diprediksi mulai pekan ketiga. Tanda-tanda ini sebenarnya sudah tampak pada angka positif yang naik signifikan sejak seusai lebaran.
Sulawesi Selatan kini bertarung melawan Covid-19 di empat wilayah yang menjadi pusaran penyebaran. Empat daerah ini adalah Kota Makassar sebagai episentrum serta Maros dan Gowa sebagai daerah penyangga. Satu kabupaten lain di ujung Timur Sulawesi Selatan adalah Luwu Timur.
Kepercayaan diuji
Apa yang terjadi di Makassar lebih dari sepekan ini sesungguhnya adalah wujud terkikisnya kepercayaan warga. Di tengah upaya pemerintah berjibaku melawan pandemi, kepercayaan sedang dipertaruhkan. Tenaga kesehatan yang sejak awal pandemi berjuang melawan Covid-19 kini terpukul dengan tudingan menari di atas pandemi.
”Jujur, tudingan ini membuat saya dan teman-teman merasa sangat terpukul dan sedih. Tak ada sedikit pun niat kami menari di atas penderitaan orang lain atau memanfaatkan pandemi untuk mencari untung. Kami hanya menjalankan profesi yang sejak awal kami sadari penuh risiko. Kalau bisa memilih, kami tak ingin berada dalam situasi seperti ini,” kata Dr Ahmad Asy Ari, Kepala Puskesmas Makkasau, Makassar, yang kini diisolasi akibat positif Covid-19.
Jujur, tudingan ini membuat saya dan teman-teman merasa sangat terpukul dan sedih. Tak ada sedikit pun niat kami menari di atas penderitaan orang lain atau memanfaatkan pandemi untuk mencari untung. Kami hanya menjalankan profesi yang sejak awal kami sadari penuh risiko.
Wahyudi Muchsin dari Humas IDI Kota Makassar juga menyebut tudingan ini keji dan tak berdasar.
”Yang harus dipahami warga adalah di tengah kondisi pandemi seperti ini, seluruh pasien memang akan ditangani dan diduga sebagai PDP. Ini adalah bentuk kehati-hatian dan menjaga keselamatan petugas kesehatan. Persoalannya memang hasil pemeriksaan swab yang dilakukan, banyak yang keluar setelah pasien keburu meninggal,” kata Wahyudi.
Terkait soal ini, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengatakan sudah meminta untuk memprioritaskan pemeriksaan usap bagi pasien PDP.
”Soal pemeriksaan swab bagi pasien PDP, saya sudah meminta agar bisa diprioritaskan dan dipercepat. Nantinya setelah ada hasil dan misalnya positif, akan kami panggil keluarga dan beri penjelasan. Saya juga berharap ke depan tak ada lagi pasien PDP yang hasil swab-nya negatif, dimakamkan dengan protokol Covid,” katanya.
Sulawesi Selatan sebenarnya saat ini sudah memiliki tujuh laboratorium. Ketujuh laboratorium ini adalah Balai Besar Laboratorium Kesehatan, dua laboratorium milik Unhas, yaitu di RS Wahidin dan RS Unhas. Selain itu laboratorium BPOM, Balai Besar Veteriner Maros, Laboratorium Kesehatan Lingkungan, serta Laboratorium Kesehatan Daerah di Kabupaten Soppeng.
Dalam pemaparan saat kunjungan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Kepala BNPB Doni Monardo di Makassar, Minggu (7/6/2020), Tim Ahli Data dan Epidemologi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sulsel mengatakan, kemampuan laboratorium kesehatan di Sulsel dalam melakukan tes PCR dua kali lipat nasional.
Kemampuan laboratorium di Sulawesi Selatan untuk tes harian dan total tes PCR mencapai 60 sampel per 1.000.000 penduduk, sedangkan Indonesia 30 sampel per 1.000.000 penduduk. Jumlah tes maksimal harian 786 tes sepanjang 5 Juni 2020.
Terkait sengkarut penanganan pandemi dan kontroversi di masyarakat, sosiolog Universitas Hasanuddin, Sawedi Muhammad, mengatakan, edukasi, komunikasi, dan transparansi menjadi kunci.
”Sejak awal pemerintah tidak tegas. Melaksanakan PSBB tapi dilonggarkan. Mestinya jangan ada toleransi. Hal lain, semua mekanisme yang sudah dijanjikan pemerintah dalam social safety net, seperti bantuan sosial, tidak konsisten dilaksanakan. Lalu ditambah kasus-kasus pasien PDP yang hasil swab-nya harus menunggu lama. Akumulisi berbagai persoalan ini akhirnya mengikis kepercayaan masyarakat dan menguatkan dugaan mereka soal adanya permainan di tengah pandemi,” kata Sawedi.
Dia berharap edukasi bersifat sains terkait pandemi lebih ditingkatkan dan juga pemerintah lebih transparan soal anggaran ataupun bantuan sosial. Hanya dengan cara ini kepercayaan bisa dipulihkan. Jangan sampai warga terus menuding pemerintah termasuk tenaga kesehatan bermain di tengah pandemi.
Berharap edukasi bersifat sains terkait pandemi lebih ditingkatkan dan juga pemerintah lebih transparan soal anggaran ataupun bantuan sosial. Hanya dengan cara ini kepercayaan bisa dipulihkan.