Antisipasi Dini Karhutla di Sumsel, Modifikasi Cuaca Dilakukan di Daerah Rawan
Teknologi modifikasi cuaca sudah mulai diterapkan di Sumatera Selatan, terutama di kawasan yang rawan terbakar. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah kebarakan hutan dan lahan di Sumsel.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS —Teknologi modifikasi cuaca sudah mulai diterapkan di Sumatera Selatan, terutama di kawasan yang rawan terbakar. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mengingat Sumsel sudah memasuki musim kemarau dan puncaknya diprediksi terjadi pada September mendatang.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori, Rabu ( 17/6/2020), mengatakan, sejak pertengahan Mei 2020, teknologi modifikasi cuaca (TMC) sudah dilakukan di Sumsel. ”Sampai saat ini, penyemaian awan hujan sudah dilakukan sekitar 10 kali,” ujarnya.
Proses TMC ini dilakukan dengan cara menebar garam di kawasan yang memiliki potensi awan hujan. ”Tempat yang menjadi incaran adalah kawasan yang rawan kebakaran di kawasan Sumatera Selatan,” ucapnya.
Sampai saat ini, penyemaian awan hujan sudah dilakukan sekitar 10 kali.
Tidak hanya di kawasan Sumsel, pesawat yang membawa garam tersebut juga mencari awan hujan hingga ke perbatasan Sumsel dan Jambi. Ansori menuturkan, langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi potensi titik panas di kawasan yang rawan terbakar.
Di Sumsel sendiri sudah terpantau beberapa titik panas di beberapa daerah. Daerah yang paling banyak terpantau titik panasnya adalah Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Muara Enim. Sepanjang tahun 2020, titik panas terbanyak terjadi pada Maret 2020 dengan jumlah titik panas mencapai 457 titik.
Tidak hanya TMC, untuk memantau perkembangan titik panas, ungkap Ansori, dua helikopter bom air berkapasitas 5.000 air sudah berada di Palembang. Selain itu, satu helikopter dan satu pesawat karavan juga disiagakan untuk melakukan patroli udara.
Berdasarkan prediksi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ujar Ansori, musim kemarau akan mulai terjadi di Sumsel pada rentan waktu dasarian tiga di bulan Mei sampai dasarian dua bulan Mei, dan akan mencapai puncaknya pada September 2020. ”Kemarau tahun ini lebih pendek dibandingkan pada tahun lalu, tetapi kita harus tetap siap siaga,” katanya.
Untuk mempermudah koordinasi antarinstansi, ungkap Ansori, Gubernur Sumatera Selatan sudah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 298/KPTS/BPBD-SS/2020 tentang Penetapan Status Keadaan Siaga Darurat Bencana Asap akibat Kebakaran Hutan dan Lahan. ”Status Siaga Darurat ini mulai berlaku sejak 20 Mei-31 Oktober 2020.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengungkapkan, dengan status Siaga Darurat itu, setiap pihak dapat segera bergerak untuk mengantisipasi risiko kebakaran lahan di daerahnya masing-masing. Penetapan ini juga didasari atas kondisi karhutla di tahun-tahun sebelumnya serta kondisi siklus cuaca terutama saat pergantian antara musim hujan ke kemarau.
Di Sumsel sendiri sudah terpantau beberapa titik panas di beberapa daerah. Daerah yang paling banyak terpantau titik panasnya adalah Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Muara Enim. Sepanjang 2020, titik panas terbanyak terjadi pada Maret 2020 dengan jumlah titik panas mencapai 457 titik.
Herman mengatakan, ada sekitar 1,4 juta hektar lahan gambut di Sumsel yang tersebar di 10 kabupaten/kota. Karena itu, ke-10 daerah tersebut berpotensi mengalami karhutla.
Pemerintah Provinsi Sumsel sudah menyiapkan dana sebagai langkah pencegahan dan antisipasi karhutla yang besarnya sekitar Rp 37 miliar. ”Jumlah itu bisa bertambah sampai dengan angka Rp 50 miliar,” ucap Herman.