Petani Cengkeh Minahasa Tetap Panen meski Harganya Jatuh di Tengah Pagebluk
Petani cengkeh di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, mulai memanen cengkeh di tengah anjloknya harga hingga kisaran Rp 60.000. Para petani khawatir tidak bisa memperoleh keuntungan maksimal.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Petani cengkeh di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, mulai panen cengkeh di tengah anjloknya harga hingga kisaran Rp 60.000 per kilogram. Para petani khawatir tidak bisa memperoleh keuntungan maksimal lantaran modal besar tak sebanding dengan harga jual yang rendah.
Panen sudah berlangsung sekitar satu bulan di beberapa desa di Minahasa, seperti Rumengkor dan Kembes, Kecamatan Tombulu. Hendra (41), salah satu petani cengkeh di Desa Rumengkor, menggelar 45 terpal di halaman rumah keluarganya untuk menjemur cengkeh. Pada Rabu (24/6/2020), sebagian cengkeh mengering hingga berwarna coklat, sedangkan lainnya yang baru dipanen masih hijau.
Hendra memperkirakan, kebun seluas 4 hektar bisa menghasilkan 180 kilogram cengkeh kering. Meski panen masih bisa bertambah, ia menilai hasil panen tahun ini lebih sedikit ketimbang tahun lalu. Selain karena pohon cengkeh sudah tua, sekitar 15 tahun, ia juga ingin meminimalkan biaya produksi.
”Biaya cengkeh itu banyak sekali, termasuk merawat kebun tiga kali setahun. Tetapi, sekarang harga cengkeh cuma Rp 61.500 per kg, tidak menutup biaya. Apalagi, bayar buruh petik sudah setengah dari omzet (sekitar Rp 11 juta),” kata Hendra, yang dipulangkan dari situs tambang tembaga di Kongo.
Menurut Hendra, selama beberapa tahun terakhir tidak ada program peremajaan cengkeh dari pemerintah provinsi sehingga produksinya berkurang. Tidak ada pula program dari pemerintah untuk membukakan pintu pasar selain pabrik rokok. Akibatnya, harga cengkeh tidak bisa lebih tinggi dari kisaran Rp 60.000-Rp 70.000 per kg.
Meski demikian, Rio (46), petani lainnya, menyatakan, keluarganya tak punya pilihan lain selain memanen cengkeh. Pandemi Covid-19 membuatnya kehilangan pekerjaan dari perusahaan pelayaran di Bitung.
Petani cengkeh lain di Desa Rumengkor, Guido Merung (55), mempekerjakan tiga buruh petik untuk panen dari sekitar 150 pohon di kebun seluas 2 hektar miliknya. Selama masa panen lebih dari satu bulan, ketiga buruh itu digaji Rp 4.500 untuk setiap liter cengkeh basah yang dikumpulkan.
Jika satu pohon dapat menghasilkan setidaknya 30 liter cengkeh basah, ketiga buruh petik itu dapat mengumpulkan total 4.500 liter cengkeh basah. Ongkos untuk gaji buruh pun mencapai Rp 20,25 juta. Guido juga harus mempersiapkan kebutuhan lain, seperti tangga bambu, biaya pembersihan lahan, pupuk, serta terpal untuk menjemur sekitar Rp 2,9 juta.
Meski demikian, cengkeh kering yang dihasilkan hanya sekitar 750 kg. Dengan harga Rp 61.000 per kg, pendapatan bruto yang bisa mencapai Rp 45,75 juta dinilainya tak banyak. ”Biaya panen cengkeh cukup besar, tapi kami harus tetap jual dengan harga segini,” kata Guido.
Ia menambahkan, tidak mungkin memaksa pabrik rokok sebagai pembeli untuk menaikkan harga. Ia menyayangkan ketiadaan intervensi pemerintah provinsi ketika perekonomian disulitkan pandemi. Saat yang sama, Desa Rumengkor belum memiliki kelompok tani ataupun badan usaha milik desa yang mengurus cengkeh.
Meski demikian, Romi Lenak (47), salah satu buruh di kebun Guido, bersyukur karena panen cengkeh membuka kesempatan kerja. Tiga bulan terarkhir, pekerja serabutan itu kesulitan mendapat kerja. Ia bergantung hidup pada bantuan beras Program Keluarga Harapan (PKH).
”Tapi saya khawatir, habis masa panen selesai, tidak bisa kerja lagi. Pergerakan ke desa lain sudah dipersulit buat mencegah orang luar desa bawa Covid-19,” kata Romi.
Sementara itu, Maxi (53), warga di Desa Tounelet I, Kecamatan Sonder, menyatakan tak lagi antusias menanam cengkeh. Beberapa tahun belakangan, ia menanami kebunnya dengan jagung yang dapat dipanen setiap dua atau tiga bulan.
”Dulu, orang Sonder paling terkenal sebagai petani cengkeh, tetapi sekarang sudah hampir tidak ada yang tanam cengkeh di sini. Banyak petani kaya yang pindahkan kebunnya ke Boltim (Bolaang Mongondow Timur), sedangkan yang lain beralih ke tanaman lain,” katanya.
Menurut data Badan Pusat Statistik Minahasa, selama 2019 Kecamatan Tombulu memiliki 3.040 hektar lahan tanam cengkeh, sedangkan Sonder 2.250 hektar. Adapun total lahan cengkeh di Sulut mencapai 77.428 hektar dengan produktivitas 83,67 kg per hektar. Total panen cengkeh Sulut mencapai 3.819,64 ton pada 2019.
Dulu, orang Sonder paling terkenal sebagai petani cengkeh, tetapi sekarang sudah hampir tidak ada yang tanam cengkeh di sini. Banyak petani kaya yang pindahkan kebunnya ke Boltim (Bolaang Mongondow Timur), sedangkan yang lain beralih ke tanaman lain.
Kepala Dinas Petanian Sulut Refly Ngantung menilai, volume produksi cengkeh Sulut yang konstan di kisaran 3.000 ton tiga tahun terakhir itu tergolong rendah. Sebelumnya, Sulut bisa menghasilkan belasan ribu ton cengkeh.
Penurunan produksi ini disebabkan banyak pohon yang mulai tua dan rusak. Hal ini sesuai perkataan beberapa petani bahwa pohon cengkehnya telah berusia 6-10 tahun. ”Jadi ada pohon yang berbuah semua, ada yang sebagian saja, ada juga yang tidak sama sekali. Butuh peremajaan supaya produksi bisa maksimal lagi 3-4 tahun ke depan,” kata Refly.
Terkait harga yang rendah, Refly membantah anggapan pemerintah yang tidak memberi insentif. Untuk dapat meningkatkan harga dari Rp 61.000 per kg, Pemprov Sulut telah mengusulkan kepada DPR RI dan Kementerian Keuangan untuk menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen. Jadi, harga bisa sampai Rp 70.000 per kg,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Ronny Erungan mengakui, harga cengkeh jatuh karena lesunya kegiatan pabrik rokok akibat Covid-19. Di Surabaya, misalnya, telah terbentuk kluster penularan di pabrik rokok Sampoerna.
Meski demikian, pemprov tidak bisa memberikan fasilitas perlindungan harga seperti sistem resi gudang. Ronny juga menilai harga cengkeh di kisaran Rp 60.000-Rp 70.000 cenderung stabil.