Presiden: Manajemen Krisis Kesehatan dan Ekonomi Harus Seimbang
Presiden Joko Widodo berharap penanganan atau manajemen krisis kesehatan dan krisis ekonomi dalam masa wabah penyakit akibat virus SAR-CoV-2 berlangsung seimbang.
SURABAYA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo berharap penanganan atau manajemen krisis kesehatan dan krisis ekonomi dalam masa wabah Covid-19 akibat virus SAR-CoV-2 berlangsung seimbang.
”Mengelola manajemen krisis, (ibarat) rem dan gas harus betul-betul seimbang,” kata Presiden saat pidato pengarahan di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (25/6/2020). Menurut Presiden, perasaan bahwa situasi dan kondisi masih normal sangat berbahaya.
Krisis kesehatan akibat Covid-19 ini dirasakan oleh 215 negara lain. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan situasi pandemi Covid-19. Selain itu, krisis ekonomi juga nyata. ”Ada, benar, dan semua merasakan,” katanya.
Perasaan bahwa situasi dan kondisi masih normal sangat berbahaya.
Kunjungan dan pengarahan Presiden itu disiarkan secara langsung oleh sejumlah stasiun televisi dan akun Youtube Sekretariat Presiden. Kalangan bupati/wali kota, pengelola rumah sakit rujukan pasien Covid-19, dan pengusaha alat pelindung diri (APD) se-Jatim mengikuti pengarahan Presiden secara virtual atau dalam jaringan internet. Setelah dari Surabaya, Presiden juga dijadwalkan bertolak ke Banyuwangi.
Baca juga : Covid-19: Uji Kedisiplinan Suatu Bangsa
Mendapat informasi dari Dana Moneter Internasional (IMF), lanjut Presiden, krisis ekonomi berupa pertumbuhan yang minus diprediksi terjadi di negara-negara terkemuka. Prediksi pertumbuhan ekonomi di Jepang minus 5,8 persen, Jerman minus 7,5 persen, Amerika Serikat minus 8 persen, Inggris minus 10,2 persen, Perancis minus 12,5 persen, sementara Italia dan Spanyol masing-masing minus 12,8 persen.
”Artinya apa? Demand (permintaan), suplai, dan produksi terganggu,” kata Presiden.
Menurut Presiden, Indonesia terus berjuang mengendalikan wabah Covid-19. Namun, ada masalah lain yang juga muncul, yakni urusan ekonomi. Indonesia dan dunia internasional sedang menanggung beban lebih hebat daripada depresi besar 1930.
Indonesia dan dunia internasional sedang menanggung beban lebih hebat daripada depresi besar 1930.
Penanganan dua krisis, yakni kesehatan dan ekonomi, ibarat mengendalikan kendaraan dengan rem dan gas yang seimbang. Tidak bisa konsentrasi penuh menangani krisis kesehatan, tetapi melupakan masalah ekonomi. ”Tidak bisa ngegas di ekonomi, tetapi ngerem di kesehatan,” ujarnya.
Baca juga : Presiden Jokowi: Ancaman Covid-19 Belum Berakhir
Presiden mengatakan, manajemen krisis secara seimbang pasti sulit, tetapi tidak mustahil ditempuh. Kepiawaian itu ibarat seni yang harus dikuasai oleh gubernur dan bupati/wali kota di Nusantara.
Para pemimpin patut jeli memainkan ”gas dan rem” dengan prakondisi, menentukan waktu yang pas, kawasan atau daerah mana yang aman dan bisa bergerak aktivitasnya, serta mendahulukan pergerakan sektor prioritas kehidupan masyarakat.
Menurut Presiden, kebijakan yang dikeluarkan pemimpin atau otoritas dalam masa wabah Covid-19 ini diminta selalu mengacu pada data ilmiah dan saran pakar-pakar akademik. Pendapat dan anjuran, misalnya dari ahli epidemiologi, patut didengar dan diperhatikan.
Presiden juga mengingatkan agar jangan mengabaikan rambu-rambu karena secara global Covid-19 telah menjangkiti 9,2 juta jiwa dan mengakibatkan kematian pada hampir 474.000 jiwa. Di Indonesia, Covid-19 telah menjangkiti lebih dari 49.000 warga dengan kematian hampir 2.600 jiwa dan kesembuhan hampir 19.700 jiwa.
Baca juga : Jangan Lelah Terapkan Protokol
Tantangan
Untuk Jawa Timur, Presiden meminta pengendalian wabah Covid-19 lebih intensif selama dua pekan. Tantangan ini harus dijawab oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa serta semua bupati/wali kota se-provinsi berpenduduk 40 juta jiwa ini untuk bergotong royong menangani pagebluk.
Jatim menjadi sorotan karena berkali-kali penambahan kasus hariannya tertinggi se-Indonesia. Saat ini, di Jatim tercatat 10.263 warga terjangkit Covid-19 dengan rincian 767 orang meninggal, 6.043 orang masih dirawat, 3.236 orang sembuh, dan 217 orang dalam konfirmasi domisili. Kondisi itu patut menjadi perhatian karena penularannya amat agresif dan dampaknya fatal.
Kasus pertama Covid-19 di Jatim diumumkan pada Selasa (17/3/2020). Kasus menimpa enam warga Surabaya—sebagian tenaga kesehatan RSUD dr Soetomo-—serta dua warga dari kota dan kabupaten Malang.
Khofifah mengatakan, penambahan kasus tertinggi di Jatim tergambar dari penambahan sebanyak 183 pasien pada Rabu (24/6/2020). Namun, kemarin, 241 pasien Covid-19 dinyatakan sembuh. Angka kesembuhan itu juga merupakan angka tertinggi.
Penularan Covid-19 juga amat cepat, berdasarkan deret ukur. Penambahan kasus di dunia dari 4 juta ke 8 juta kasus terjadi dalam waktu 17 hari. Di Indonesia, peningkatan kasus dari 20.000 ke 40.000 kasus terjadi dalam 28 hari. Adapun di Jatim, penambahan dari 4.000 menjadi 8.000 kasus terjadi dalam waktu 14 hari. ”Kami terus waspada dan berupaya,” ujarnya.
Baca juga : Pengabaian Protokol Kesehatan Masih Terjadi di Pasar
Kedaruratan situasi di Jatim juga tergambar dalam rasio serangan (attack rate) Jatim yang mencapai 25 per 100.000 jiwa, Angka itu berada di atas angka nasional, yakni 17 per 100.000 jiwa. Di Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, Gresik), rasio serangan mencapai 108 per 100.000 jiwa.
Adapun rasio penularan (rate of transmission) di Jatim sempat mencapai 0,8 dalam pekan kedua Juni, tetapi kemarin kembali menembus 1. Padahal, rasio penularan dan rasio serangan merupakan indikator penting suatu kawasan untuk memulai tatanan normal baru (new normal).
Rasio penularan di bawah 1 untuk Surabaya sempat terjadi selama enam hari. Kondisi serupa di Sidoarjo berlangsung selama delapan hari, sedangkan di Gresik enam hari.
Namun, rasio penularan di Surabaya Raya kembali menembus 1. ”Kami sempat merasa dan menunggu, jika delapan hari seterusnya di bawah 1, bisa siap new normal, tetapi ternyata belum,” kata Khofifah.
Covid-19 yang sedikit mereda, tetapi kembali mengganas lewat kenaikan rasio serangan dan rasio penularan memperlihatkan rendahnya kepatuhan publik terhadap protokol kesehatan. Mengutip penelitian tim Universitas Airlangga, lanjutnya, di tempat ibadah, warga yang tidak mengenakan masker mencapai 70 persen, sedangkan yang tidak jaga jarak fisik 64 persen.
Di pasar-pasar, yang tidak pakai masker dan atau pelindung wajah mencapai 84 persen, sedangkan yang tidak jaga jarak fisik mencapai 89 persen. Adapun di tempat cangkrukan (nongkrong), yang tidak bermasker 88 persen, sedangkan yang tidak menjaga jarak fisik 89 persen. ”Posisi inilah yang memunculkan kluster-kluster baru penularan,” ujar Khofifah, mantan Menteri Sosial itu.
Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim Joni Wahyuhadi menambahkan, ada 99 rumah sakit rujukan dan satu rumah sakit lapangan yang telah beroperasi dengan kapasitas 13.957 tempat tidur di Jatim. Adapun jumlah tenaga kesehatan mencapai 23.327 orang. Sebanyak 191 orang di antaranya adalah dokter spesialis paru-paru sebagai penanggung jawab utama dan 397 dokter spesialis penyakit dalam.
Joni, yang juga Direktur RSUD dr Soetomo, Surabaya, satu dari tiga RS rujukan utama pasien Covid-19 yang dikelola Pemerintah Provinsi Jatim, mengatakan, rasio angka kematian yang mencapai 7,4 persen terus menjadi perhatian. Keyakinan bahwa wabah bisa diatasi terpelihara karena rasio kesembuhan pasien di Jatim juga tinggi, yakni 31,5 persen. ”Kami tetap berupaya optimistis,” katanya.