Andi Waruga, Jembatan Pedagang Burjo
Kisah para pedagang bubur kacang hijau atau burjo asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, telah melegenda. Andi Waruga jadi salah satu perantau yang menjaga tradisi itu tetap menghidupi.
Kisah para pedagang bubur kacang hijau (hejo) atau burjo asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, telah melegenda. Andi Waruga (42) jadi salah satu perantau yang menjaga warisan tradisi itu tetap menghidupi.
Setelah tiga bulan tutup akibat pandemi Covid-19, warung burjo milik Andi Waruga di DI Yogyakarta akhirnya buka kembali. Namun, Andi belum bisa membidaninya. Kakinya terkilir sehingga harus lebih lama tinggal di rumah. Untuk sementara, warung diurus empat karyawan yang kerap ia sebut sebagai keluarga.
”Alhamdulillah, saya sehat meski kondisi usaha belum stabil,” ungkap Ketua Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) Yogyakarta itu, Senin (22/6/2020), di rumahnya di Dukuhkawung, Desa Kaduagung, Kecamatan Sindangagung. PPWK adalah organisasi yang mewadahi para pengusaha perantau Kuningan. Sebagian besar merupakan pedagang burjo.
Umumnya, konsumen burjo adalah mahasiswa dan pelajar. Kegiatan perkuliahan yang belum berjalan berdampak pada lesunya usaha rakyat itu. Jumlah pengunjung juga dibatasi setengah dari kapasitas maksimal.
Akan tetapi, Andi mengatakan, semuanya lebih baik ketimbang tutup warung. Apalagi, sejak akhir Maret, banyak pedagang burjo tak lagi berjualan. Mereka mudik karena omzet anjlok hingga 70 persen dan khawatir terpapar virus korona baru penyebab Covid-19. Pulang kampung dianggap solusi meskipun mereka rentan membawa virus.
Andi tidak mampu menahan ribuan warga Kuningan yang mudik dari Yogyakarta. Namun, ia meminta para perantau menjalankan isolasi mandiri selama dua pekan saat tiba di kampung. Sebagai Ketua RW 006 Dukuhkawung, Andi melaksanakan ketentuan itu sekaligus mengawasi ratusan warganya.
Tidak berjualan bukan berarti Andi menganggur di desa. Dari juragan burjo, ia menjelma jadi petugas pemasaran sekaligus pengantar galon isi ulang, usaha kakak iparnya. ”Lumayan, dapat komisi Rp 2.000 per galon meski beli bensin saja belum cukup. Sehari bisa jual belasan galon,” ucap Andi yang mengantar galon dengan mobil Jeep miliknya.
Hasil berjualan air galon itu sangat jauh dibandingkan omzet warungnya di Yogyakarta yang mencapai Rp 40 juta per bulan. Namun, ia ingin memberi contoh untuk pedagang burjo lainnya agar tidak menyerah di tengah pandemi.
”Saya antar galon sekaligus lihat prospek usaha ini. Jadi, saya membuat pasar dulu, terus buka usaha, bukan sebaliknya,” kata bapak empat anak ini.
Sebenarnya, Andi punya sembilan kios di desa untuk menyambung hidup. Namun, hanya tiga kios yang terisi. Harga sewanya hanya Rp 300.000 per bulan untuk satu kios. ”Ada yang ngasih Rp 250.000 atau Rp 200.000, bahkan enggak bayar. Kondisi saat ini memang berat,” ujarnya diiringi senyum.
Di lingkungan RW, Andi sudah dikenal murah hati. Ia membuat program sedekah untuk santunan anak yatim, bantuan untuk orang sakit, dan penyediaan sarana kematian gratis di RW. Ada pula usaha sewa tenda dan mobil bak dengan harga murah. Tidak heran, ketika mengendarai mobil Jeep warna oranyenya di jalan desa yang sempit, tukang ojek, penjual sambal kangkung, hingga petugas satpol PP riang meyapanya.
Tidur di bangku
Sebagai pengusaha yang merangkak dari bawah, Andi mengerti kerasnya hidup. Ia bahkan memutuskan berhenti melanjutkan sekolah ke tingkat menengah pertama. Andi tidak ingin memberatkan orangtuanya yang hanya buruh tani. Ia pun memilih bekerja serabutan, mulai dari jadi kuli bongkar muat aspal, berdagang karbol dan peniti, hingga menjadi tukang bubur.
Membuat bubur kacang hijau dan aneka bubur lain memang sudah menjadi tradisi di Kuningan. Keahlian ini jadi modal merantau. Tidak ada kelas khusus untuk mempelajarinya, cukup ikut merantau ke kota besar dan menghormati serta menghargai penduduk setempat.
Dalam buku Sejarah Kuningan karya Edi S Ekadjati, gelombang perantau Kuningan sudah dimulai sejak 1950 karena gangguan keamanan DI/TII. Pada generasi kedua, 1970-an, para perantau berhasil mengajak keluarga, kerabat, dan warga Kuningan lainnya.
Selama ikut dengan orang lain, Andi mencicipi pahit manisnya berdagang bubur. ”Saya harus tidur selonjoran di bangku karena warungnya kecil sekali. Dulu, belum ada air galon. Jadi, harus pompa dan angkat air sendiri,” ujarnya mengenang.
Pada 1995, ia memberanikan diri membuka warung sendiri. Andi lupa berapa modalnya. Seingatnya, usahanya hancur saat krisis ekonomi 1997. Ia kembali ikut orang, termasuk ke Yogyakarta pada 2005. Tiga tahun kemudian, ia membuka warung sendiri.
Duta Kuningan
Pada 2010, Andi bersama belasan perantau lain merintis perkumpulan pengusaha asal Kuningan. Ia bersikeras, wadah itu nonprofit, hanya fokus di bidang sosial. Apalagi, paguyuban sebelumnya yang bergerak untuk bisnis akhirnya mati. ”Kami tidak hanya cari duit di sana (Yogyakarta), tetapi juga peduli dengan masyarakat setempat,” ujarnya.
Letusan Gunung Merapi saat itu menjadi momentum bagi perantau Kuningan membantu warga terdampak. Pada 2012, PPWK Yogyakarta secara resmi terbentuk. Sarmadi menjadi ketua pertama selama setahun.
Selanjutnya, Andi memimpin organisasi itu hingga kini. Setiap bulan, PPWK Yogyakarta bertemu. Di acara itu, ia memotivasi pedagang burjo untuk tidak minder sebagai pengusaha kecil.
Dia menjadi jembatan bagi pedagang burjo dengan pemda Kuningan dan Yogyakarta. Perannya sangat terasa saat pandemi. Andi menjadi media agar ribuan pedagang burjo menjalankan isolasi mandiri saat pulang ke Kuningan. Sebaliknya, ketika balik ke Yogyakarta, Andi menyuarakan keluhan pedagang agar tidak dipersulit saat keluar dari Kuningan, seperti memastikan surat kesehatan tidak berbayar.
Di tanah rantau, Andi juga menjadi duta Kuningan yang menjalin persahabatan. Ia kerap menjadi narasumber bagi mahasiswa di Yogyakarta yang ingin melakukan penelitian tentang burjo. Mendengar ide bisnis Andi, tidak sedikit mahasiswa sampai menanyakan gelar sarjananya. Lulusan SD ini pun hanya tertawa.
Sejumlah pejabat, seperti mendiang Bupati Kuningan Utje Suganda serta Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, juga pernah datang ke warungnya. Beberapa foto kunjungan pejabat dipajang di ruang tamunya, termasuk piagam penghargaan saat mendukung Jumenengan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam X pada 2016.
Di Kuningan, Andi dan perantau lain menjadi penggerak perekonomian. Setiap bulan, kata Andi, satu warung mengirim Rp 3 juta ke Kuningan. Di Yogyakarta ada 1.000 warung. Artinya, sekitar Rp 3 miliar uang dari perantau berputar di kampung per bulan.
Uang Rp 3 miliar itu sekitar 12 persen dari pendapatan asli Kuningan per bulan yang rata-rata Rp 25 miliar. Tidak heran, Pemerintah Kabupaten Kuningan memberi Andi piagam penghargaan pada 2015 karena kontribusinya pada kemajuan desa.
Hasil jerih payah perantau dapat dilihat dari rumah dan tempat ibadah di daerah asal yang umumnya mewah, berkeramik, dan bertingkat. Namun, baginya, perantau seperti seseorang yang duduk di atas air.
”Suatu saat akan tenggelam, kecuali bikin pelampung di kampung,” ucapnya. Andi kini tengah melakukannya.
Andi Waruga
Lahir: Kuningan, 6 Juni 1978
Pendidikan: SDN Kaduagung (lulus 1991)
Istri: Sri Yustriana (42)
Anak: Fery Maulana (17), Izlal (15), Lisdiyana (14), Arya Widi Abdi Negara (10)