Pariwisata Tomohon Lesu, UMKM dan Petani Terdampak
Kelesuan pariwisata di Tomohon, Sulawesi Utara, akibat pagebluk Covid-19, turut memberikan dampak pada sektor bisnis lain, mulai dari usaha kecil hingga hortikultura.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
TOMOHON, KOMPAS — Kelesuan pariwisata di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, akibat pagebluk Covid-19 memberikan dampak turunan pada sektor bisnis lain, mulai dari usaha kecil hingga hortikultura. Pemerintah berencana merealokasi anggaran lagi untuk memberi bantuan serta pelatihan demi mengatasi dampak ekonomi pada sektor-sektor tersebut.
Kegiatan ekonomi warga Tomohon berjalan seperti biasa, Senin (29/6/2020). Kendati begitu, kegiatan pariwisata yang ditandai dengan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dari China, negara-negara Eropa, dan sebagainya masih belum tampak sejak kasus pertama Covid-19 di Sulut diumumkan, pertengahan Maret lalu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, tidak ada penerbangan internasional ke Bandara Sam Ratulangi Manado sejak April 2020. Karena itu, kunjungan wisman turun selama 2020 dari 12.516 pada Januari menjadi 929 pada Februari, dan nol pada April. Tingkat hunian 6.000-an kamar hotel di Sulut pun turun dari 33,13 persen pada Maret menjadi 13,98 persen per April.
Sekarang hanya warga sekitar yang beli, tetapi jarang.
Unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) turut terdampak, sebagaimana dirasakan Happy Salea (48), perajin anyaman bambu, di Kelurahan Kinilow, Tomohon Utara. Penghasilan kotor dalam sehari turun dari kisaran Rp 1,5 juta-Rp 2 juta menjadi Rp 500.000 sejak penerbangan internasional ke Manado terhenti.
”Pembeli paling banyak dari Jerman, Amerika Serikat, dan China. Untuk oleh-oleh, hiasan lampu, misalnya, Rp 50.000-Rp 60.000 per buah. Sekarang hanya warga sekitar yang beli, tetapi jarang. Cukuplah untuk makan,” ujarnya.
Pengusaha penginapan, hotel, dan rumah makan di Tomohon, Manado, hingga Bali juga kerap membeli produk kerajinannya. Namun, pembelian juga semakin jarang karena minimnya jumlah wisatawan.
Menurut Happy, pemerintah belum memberikan bantuan berarti semasa tanggap darurat Covid-19 selain bantuan pangan. Pelatihan yang ia butuhkan untuk memperluas jangkauan penjualan, seperti penggunaan aplikasi e-dagang, belum pernah diberikan. ”Setidaknya pemerintah bisa memfasilitasi pengiriman barang,” ucapnya.
Niko Pondaag (26), pedagang produk anyaman bambu di Kinilow, juga berharap pemerintah kota ataupun provinsi memberikan pembinaan kapasitas, seperti penggunaan aplikasi e-dagang. Padahal, pembeli kerajinan bambu dagangannya berasal dari Gorontalo, Bali, dan Jawa Timur, tetapi Niko belum mengerti cara memanfaatkan aplikasi serupa.
Untuk sementara, ia mengandalkan dagangan perabotan rumah tangga, seperti talenan dan spatula kayu, serta kursi kayu. ”Ada yang beli topi caping bambu juga, petani sekitar,” kata Niko, yang penghasilannya menurun dari Rp 1,5 juta per hari jadi Rp 500.000.
Sekarang, harga Rp 35.000 per kg karena pasokan sedikit, tetapi saya susah dapat pembeli.
Di sisi lain, petani sayur yang menggarap lahan seluas 2.633 hektar di Tomohon juga turut merasakan dampak pandemi. Andri Worang (69), petani brokoli di Kakaskasen Tiga, Tomohon Utara, menyebut penyerapan hasil kebunnya melambat dibandingkan dengan sebelum pandemi. Pedagang pengumpul yang biasanya menyalurkan sayur ke pasar tak lagi datang.
”Sebelum Covid-19, harga cuma Rp 15.000-Rp 20.000 per kg, tetapi cepat terjual. Sekarang, harga Rp 35.000 per kg karena pasokan sedikit, tetapi saya susah dapat pembeli. Padahal, minggu depan sudah panen,” kata Andri.
Menurut dia, modal Rp 5 juta cukup besar baginya untuk menanam 2.000-an tanaman brokoli akibat harga pupuk urea yang mahal, yakni mencapai Rp 9.000 per kilogram. Ia tidak mendapat harga pupuk subsidi karena tak bergabung dalam kelompok tani. ”Puluhan tahun saya bertani, tidak pernah sekali pun dapat bantuan pemerintah, termasuk saat pandemi,” katanya.
Rudy Pioh (60), petani wortel dan bawang di daerah Paslaten, Tomohon Timur, juga mengatakan, Covid-19 menyebabkan penyerapan hasil kebunnya melambat akibat lesunya pariwisata. Pengiriman hasil bumi ke luar pulau, seperti Maluku Utara dan Papua Barat, juga masih sulit.
Padahal, harga wortel Rp 150.000 per karung isi 30 kg dan bawang Rp 10.000 per ikat sudah bagus. Selagi pariwisata dan pelayaran lesu, Rudy berharap pemerintah dapat menyerap hasil bumi petani atau memfasilitasi pembuatan koperasi. ”Supaya harga stabil dan kami tidak terus jadi petani spekulan,” kata Rudy.
Menanggapi keadaan ini, Wali Kota Tomohon Jimmy Eman mengatakan, pandemi Covid-19 memengaruhi semua sektor. Pemerintah telah menggelontorkan Rp 19,5 miliar untuk mengatasi Covid-19 dari realokasi anggaran.
Di saat yang sama, target pendapatan asli daerah Rp 68,8 miliar dikurangi menjadi Rp 38,9 juta saja. Angka ini jauh lebih rendah dari realisasi 2019, yaitu Rp 41,7 miliar.
Pemerintah masih akan merealokasi lagi anggaran demi membiayai penanganan Covid-19 yang kini telah menyerang 60 orang di Tomohon. Anggaran akan digunakan untuk mengadakan alat-alat kesehatan, seperti alat pelindung diri dan alat tes cepat, serta bantuan sosial.
”Kami juga akan memberikan bibit dan pupuk bagi petani, termasuk petani sayur. Untuk sementara, pariwisata belum bisa kembali aktif. Perlu kesepakatan dengan pemprov, apakah penerbangan siap dibuka kembali,” kata Jimmy.
Jimmy juga mendorong para pegiat UMKM untuk memanfaatkan aplikasi e-dagang. ”Semua harus bergerak dan berinovasi, tidak bisa mengandalkan pemerintah saja. Pemerintah kota juga akan memfasilitasi dengan membuat aplikasi serta memanfaatkan Whatsapp untuk membantu pedagang,” tuturnya.