Penyintas Likuefaksi Petobo Diminta Memilih Dua Skema Relokasi
Sebanyak 700 keluarga penyintas bencana di Petobo, Kota Palu, kukuh memperjuangkan hunian tetap satelit di dekat tempat tinggal lama. Namun, pemerintah meminta mereka memilih skema lain karena lahan itu bermasalah.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah, meminta 700 keluarga penyintas gempa dan likuefaksi di Kelurahan Petobo untuk memilih skema relokasi mandiri atau relokasi komunal. Rencana relokasi satelit di Petobo hingga kini tak kunjung jelas karena status lahan yang sulit diselesaikan pemerintah akibat tak adanya anggaran ganti rugi.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara unsur Pemerintah Provinsi Sulteng, Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Panitia Khusus (Pansus) Pengawasan Program Pascabencana DPRD Sulteng, di Palu, Rabu (1/7/2020). Rapat dipimpin ketua pansus, Budi Luhur Larengi, didampingi empat anggota dari total 15 anggota pansus.
Data yang dikompilasi dari berbagai instansi dan para pihak pada rapat itu menyebutkan, sedikitnya 700 keluarga penyintas gempa dan likuefaksi Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, belum memilih skema yang disiapkan pemerintah.
Skema yang ditawarkan, pertama, relokasi komunal di tiga lokasi, yakni Kelurahan Tondo, Kelurahan Talise, dan Kelurahan Duyu. Skema kedua, relokasi mandiri yang mensyaratkan penyintas menyediakan lahan sendiri untuk pembangunan rumah. Biaya pembangunan rumah ditanggung pemerintah. Sekitar 700 keluarga penyintas likuefaksi Petobo telah memilih dua skema tersebut.
”Namun, banyak yang belum menentukan sikap (memilih relokasi komunal atau mandiri). Kami khawatir mereka tidak mendapatkan haknya hingga target batas waktu pembangunan perumahan akhir 2020. Kami meminta untuk menentukan sikap atau pilihan,” kata Kepala Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kota Palu M Rizal.
Sebanyak 700 keluarga penyintas likuefaksi Petobo tersebut memilih relokasi di hunian tetap satelit (dekat dengan Petobo) di lahan seluas 115 hektar yang mereka ajukan kepada pemerintah. Ternyata, lahan itu dimiliki perorangan berdasarkan sertifikat hak milik. Lahan tersebut berada di perbatasan antara Kabupaten Sigi dan Kota Palu.
Sebagian lahan untuk pembangunan hunian tetap (huntap) satelit Petobo itu saat ini dijadikan lokasi pembangunan hunian sementara penyintas likuefaksi. Lahan ditumbuhi rumput-rumput liar pendek dan belukar. Secara umum, lahan itu cukup rata.
Gempa, tsunami, dan likuefaksi (peluluhan tanah) melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Tak kurang dari 4.000 orang meninggal dalam bencana itu. Sebanyak 110.000 rumah hilang, rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan.
Sekitar 11.000 keluarga direlokasi karena lokasi rumah lama mereka ditetapkan menjadi zona merah atau daerah terlarang untuk pembangunan hunian baru karena rawan bencana. Daerah tersebut merupakan titik-titik likuefaksi, di antaranya di Kelurahan Petobo dan Balaroa (Palu) serta Sibalaya Utara (Sigi). Ada pula yang jadi titik-titik landaan tsunami yang tersebar di Palu dan Donggala. Pembangunan huntap ditargetkan rampung akhir 2020.
Rizal menyampaikan, pemerintah sudah berdialog dengan pemegang sertifikat agar merelakan sebagian lahan mereka untuk pembangunan huntap penyintas. Namun, hal itu tak diterima pemilik lahan yang meminta adanya ganti rugi atau pembebasan lahan.
Dengan situasi itu, pemerintah tak lanjut (mengurus lahan).
Sementara pemerintah tak menyediakan anggaran khusus untuk pembebasan lahan pembangunan huntap karena dari awal diputuskan huntap dibangun di lahan bekas hak guna bangunan perusahaan. ”Dengan situasi itu, pemerintah tak lanjut (mengurus lahan),” katanya.
Ia mengingatkan, pemerintah tak akan membangun huntap di lahan yang bermasalah. Risiko hukumnya terlalu besar di kemudian hari, seperti pembongkaran paksa huntap atau rumah.
Mukodas (55), penyintas sekaligus penasihat Forum Penataan Kawasan Pemukiman Petobo, menyatakan, dirinya tetap kukuh untuk memperjuangkan huntap satelit di Petobo. ”Kami tak mau Petobo hilang dari ingatan. Ini tanah lahir dan besar kami. Kami meminta pemerintah mencarikan solusi terbaik,” ujarnya.
Ia meyakini, lahan yang diperjuangkan itu bukan milik perorangan, tetapi milik negara yang hendak dibagikan kepada warga (status quo). Karena itu, dia menilai, sertifikat-sertifikat yang diterbitkan harus dibatalkan.
Terkait itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kota Palu Hosea Lintin menyatakan, di lahan 115 hektar tersebut ada 120 sertifikat. Berdasarkan penelusuran, alas hak tersebut terbit atas dasar jual-beli lahan. Hak alas itu berkekuatan hukum.
Ketua Pansus DPRD Sulteng Budi Luhur Larengi menyatakan, fakta yang terungkap di rapat tersebut menjadi bahan penting bagi pansus untuk menuntaskannya bersama para pihak. Dalam waktu dekat, pansus akan ke lapangan untuk mendalami masalah tersebut.