Satwa lindung itu mati karena diracun menggunakan insektisida racun yang biasa digunakan untuk membunuh serangga. Namun, belum ada tersangka dalam kasus itu.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
TAPAKTUAN, KOMPAS — Penyebab kematian harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, terkuak. Satwa lindung itu mati karena diracun menggunakan insektisida racun yang biasa digunakan untuk membunuh serangga. Namun, belum ada tersangka dalam kasus tersebut.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Kamis (2/7/2020), mengatakan, dari hasil pemeriksaan tim dokter, pada organ bagian dalam harimau ditemukan zat insektisida yang biasa dipakai petani untuk memusnahkan hama serangga. Zat racun itu juga ditemukan dalam daging kambing sisa makanan harimau yang berserakan beberapa meter dari lokasi penemuan bangkai harimau.
”Ditemukan zat yang diduga racun insektisida, warnanya keunguan yang diduga bahan racun pertanian. Zat itu juga ada pada kulit mangsa (kambing) yang dimakan harimau,” kata Agus.
Dinding saluran pencernaan dan lambung harimau mengalami pendarahan, jaringan bawah kulit memar, hidung pendarahan, lidah mengalami sianosis, dan ada luka gores karena benda tajam di bagian perut.
Bangkai harimau sumatera itu ditemukan pada Minggu (28/6/2020) di perkebunan warga. Di dekat bangkai harimau ditemukan enam ekor kambing yang tidak utuh lagi. Diduga harimau tersebut mati seusai memangsa kambing. Harimau tersebut berjenis kelamin betina dan berusia dua tahun.
Ditemukan zat yang diduga racun insektisida, warnanya keunguan yang diduga bahan racun pertanian. Zat itu juga ada pada kulit mangsa (kambing) yang dimakan harimau. (Agus Arianto)
Meski demikian, menurut Agus, hasil pemeriksaan oleh tim dokter BKSDA Aceh itu perlu diperiksa kembali di laboratorium Pusat Studi Satwa Primata Bogor, laboratorium patologi Universitas Syiah Kuala, dan Pusat Laboratorium Forensik Polri.
”Kami terus berkoordinasi dengan Polres Aceh Selatan untuk mempercepat penanganan kasus ini,” ujar Agus.
Alat bukti belum mencukupi
Dihubungi secara terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Aceh Selatan Inspektur Satu Zeska Taruna mengatakan, pihaknya belum bisa menyimpulkan penyebab kematian harimau jika belum ada hasil resmi dari tiga laboratorium tersebut.
”Kami ada laboratorium forensik sendiri dan nanti dibuatkan berita acara, baru pro justitia (kekuatan hukum),” kata Zeska.
Beberapa saksi sudah diperiksa, tetapi belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka karena alat bukti belum mencukupi.
Keberlangsungan hidup satwa lindung di Aceh semakin terancam. Perburuan untuk perdagangan, alih fungsi habitat, dan konflik dengan warga membuat satwa lindung satu per satu punah. Selain harimau, satwa lindung seperti gajah dan orangutan juga paling banyak diburu.
Data dari BKSDA Aceh, sejak 2007 hingga 2019 konflik harimau dengan manusia terjadi sebanyak 98 kali. Kawasan paling sering terjadi konflik harimau adalah Kabupaten Aceh Selatan. Sembilan warga tewas dan puluhan ternak mati diterkam harimau. Sementara enam harimau mati karena terkena jerat.