Penambangan Ilegal di Blok Matarape Sultra Tak Terbendung
Aktivitas penambangan ilegal di wilayah Blok Matarape, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, tidak terbendung. Sekitar 100 hektar kawasan hutan ditambang bijih nikelnya dan diduga telah berhasil diperjualbelikan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Aktivitas penambangan ilegal di wilayah Blok Matarape, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, tidak terbendung meski sebelumnya ditindak oleh Bareskrim Polri. Sekitar 100 hektar kawasan hutan ditambang bijih nikelnya dan diduga telah berhasil diperjualbelikan.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra Saharuddin, di Kendari, Kamis (2/7/2020). Dia menjabarkan, pihaknya bersama beberapa instansi terkait melakukan penelusuran adanya laporan penambangan ilegal di Blok Matarape, tepatnya di Kecamatan Langgikima, Konawe Utara.
Saat didatangi, aktivitas penambangan dengan ratusan alat berat terus berlangsung meski sebelumnya ditindak Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada Februari lalu.
”Di sana ada tiga kelompok yang melakukan penambangan, tetapi saat ditanya satu per satu, menunjuk satu perusahaan. Padahal, kawasan tersebut adalah kawasan hutan produksi yang statusnya masih status quo,” kata Saharuddin.
Kawasan hutan di wilayah tersebut terbuka luas. Ribuan pohon telah hilang dengan dataran yang terbuka. Bukit-bukit pun tergerus dengan sejumlah lubang bekas galian terlihat jelas. Alat berat bebas berlalu-lalang.
Blok Matarape seluas 1.681 hektar ini merupakan lokasi bekas wilayah konsesi PT Vale Indonesia (dulu Inco) yang diciutkan. Pada 2018, PT Antam memenangi lelang blok ini di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Akan tetapi, Ombudsman RI menilai ada kesalahan administrasi dalam proses lelang. Kesalahan administrasi tersebut mulai dari status wilayah yang merupakan bekas lokasi kontrak karya hingga penentuan pemenang. Hingga pertengahan 2019, Kementerian ESDM belum mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) di lokasi ini.
Meski belum memiliki izin, tambah Saharuddin, penambangan terus terjadi, khususnya selama tiga bulan terakhir. Para petambang bahkan diketahui telah melakukan pengapalan bijih (ore) nikel lima kali.
Pelaku diduga menggunakan jual-beli dokumen untuk meloloskan nikel keluar dari pelabuhan. ”Dari penelusuran kami, mereka melakukan jual-beli dokumen agar bisa keluar dari wilayah dengan iming-iming sebesar 3 dollar AS per ton,” tutur Saharuddin.
Saharuddin menduga, keterlibatan sejumlah pihak sangat kuat dari kejadian ini karena sebelumnya Bareskrim Polri telah turun dan bahkan memasang tanda larangan menambang. ”Aparat dan Dinas ESDM Sultra seperti apa pengawasannya? Dinas Lingkungan Hidup? Tidak ada alasan mereka tidak tahu karena penambangan dilakukan secara terang-terangan,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Saharuddin melanjutkan, pihaknya berharap kepolisian bisa segera melakukan tindakan dan menangkap para petambang ilegal ini. Tidak hanya itu, tetapi juga mengungkap aktor-aktor yang berada di belakang kegiatan penambangan di wilayah hutan ini.
Sebab, selain kerugian negara yang sangat besar, dampak lingkungan juga begitu masif. Daya dukung lingkungan di Konawe Utara juga terus turun, terbukti dengan banjir lumpur yang rutin terjadi setiap tahun.
Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara Dinas ESDM Sultra Yusmin, saat dikonfirmasi, tidak mau berkomentar banyak. ”Kami sudah awasi itu. Sekarang saya sedang di Ombudsman RI di Jakarta,” katanya singkat lewat telepon.
Sementara itu, Kepala Polda Sulawesi Tenggara Inspektur Jenderal Merdisyam, selepas menemui tim Satgas Saber Pungli Pusat pada Kamis sore, juga tidak bersedia memberikan keterangan. Kepala Polres Konawe Utara Ajun Komisaris Besar Achmad Fathul Ulum juga tidak membalas pesan dan mengatakan terkendala jaringan telekomunikasi saat dihubungi.
Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra Aminoto Kamaluddin menjabarkan, pemegang izin Blok Matarape hingga saat ini memang belum jelas. Setelah dilelang dua tahun lalu dan memiliki pemenang, yaitu PT Antam, statusnya masih menggantung dan belum ada keterangan lanjutan.
Sampai sekarang, belum ada yang memegang izin-izin tersebut. Jadi, kalau ada yang menambang, sudah pasti ilegal.
Meski memegang izin, menurut Aminoto, semua pihak harus melalui persyaratan berjenjang sebelum memulai aktivitas penambangan. Mulai dari memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), analisis dampak lingkungan, izin eksplorasi dan produksi, serta berbagai persyaratan administrasi lainnya.
”Sampai sekarang belum ada yang memegang izin-izin tersebut. Jadi, kalau ada yang menambang, sudah pasti ilegal. Hanya saja, sampai sekarang belum ada laporan dari Dinas Lingkungan Hidup Konawe Utara terkait adanya aktivitas ilegal di lokasi tersebut,” ucap Aminoto.
Pengawasan lapangan oleh DLH Sultra, tambah Aminoto, belum bisa dilakukan jika tanpa laporan dari daerah. ”Selain sumber daya terbatas, juga harus ada laporannya dulu dari wilayah karena kewenangan pengawasan itu ada pada mereka. Sampai sekarang belum ada laporan terkait lokasi tersebut,” ujarnya.