Pasca-OTT Bupati Kutai Timur, Pemerintahan Tetap Berjalan
Setelah penangkapan Bupati Kutai Timur Ismunandar oleh KPK, pemerintahan di sana tetap berjalan. Saat ini, pemerintah kabupaten menunggu hasil pemeriksaan untuk menyiasati kosongnya kepemimpinan di daerah itu.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pemerintahan di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, tetap berjalan setelah penangkapan Bupati Kutai Timur Ismunandar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat ini, pemerintah kabupaten menunggu hasil pemeriksaan KPK untuk menyiasati kosongnya kepemimpinan.
Ismunandar ditangkap KPK beserta istrinya yang menjabat Ketua DPRD Kutai Timur Encek UR Firgasih. Operasi tangkap tangan (OTT) itu berlangsung sejak Kamis (2/7/2020) malam. Diduga penangkapan ini terkait dengan pemberian hadiah dan janji dari rekanan di Kutai Timur.
Wakil Bupati Kutai Timur Kasmidi Bulang menyayangkan ada peristiwa ini. Namun, ia belum bisa berkomentar banyak terkait penangkapan yang dilakukan oleh KPK tersebut. Ia memastikan, pemerintahan tetap berjalan sambil menunggu hasil pemeriksaan KPK.
”Kita sedang menenangkan dulu semuanya. Kita tunggu perkembangan dan hasil pemeriksaan KPK, ya,” kata Kasmidi dihubungi dari Balikpapan, Jumat (3/7/2020).
Sementara itu, kegiatan di DPRD Kutai Timur juga tetap berjalan seperti biasa. Wakil Ketua II DPRD Kutai Timur Arfan mengatakan, semua anggota DPRD Kutai Timur masih menunggu proses pemeriksaan oleh KPK. Sementara Encek menjalani pemeriksaan, rapat DPRD Kutai Timur dipimpin oleh Wakil Ketua I Asti Mazar Bulang dan Arfan.
”Secara kelembagaan, DPRD Kutai Timur ada tiga pemimpin. Artinya, walaupun tidak ada pimpinan, rapat-rapat biasa masih bisa berjalan,” kata Arfan.
Namun, agenda penting di DPRD Kutai Timur akan terkendala jika Encek ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sebab, pada bulan pertengahan Juli dan Agustus akan ada pembahasan terkait APBD Perubahan 2020 yang melibatkan ketua DPRD dan bupati.
”Mungkin, nanti kalau ada keputusan yang sifatnya sangat penting, akan koordinasi ke lembaga yang ada dan menunggu arahan Kementerian Dalam Negeri terkait kepemimpinan di Kutai Timur yang kosong,” ujar Arfan.
Selain Ismunandar dan Encek, terdapat 13 orang lain yang ditangkap KPK, termasuk seorang pejabat di sektor perencanaan dan beberapa orang lainnya. Penyerahan uang diduga telah terjadi berulang-ulang sebelum para pelaku ditangkap KPK (Kompas.id, 3/7/2020).
Berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas, Kantor Bupati Kutai Timur disegel KPK sejak Kamis malam. Selain itu, penyegelan terlihat di Rumah Jabatan Bupati Kutai Timur di Jalan Rujab I Bukit Pelangi, Kelurahan Teluk Lingga. Terdapat stiker putih bertuliskan ”Dalam Pengawasan KPK” di pintu masuk rumah jabatan.
Selain dua ruangan itu, terdapat tiga ruangan lain yang disegel, antara lain ruang Kepala Kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kutai Timur, ruang Kepala Bidang Perbendaharaan BPKAD Kutai Timur, dan ruang Kepala Badan Pendapatan Daerah Kutai Timur.
Dinasti politik
Ismunandar menjabat Bupati Kutai Timur periode 2016-2021. Adapun Encek dilantik sebagai Ketua DPRD Kutai Timur 2019-2024 pada November 2019. Ismunandar merupakan penasihat Partai Nasdem, sedangkan Encek adalah kader Partai Persatuan Pembangunan.
Meski tidak dilarang secara hukum, jabatan publik yang dikuasai oleh sekelompok orang, keluarga, atau kerabat membuat celah persekongkolan terbuka lebar. Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan, peraturan di Indonesia tidak melarang jabatan publik tertentu ditempati oleh kerabat dari pejabat publik selama dicapai sesuai dengan peraturan.
Upaya membatasi lahirnya kekerabatan atau dinasti politik ini pernah dilakukan melalui sebuah revisi Undang Undang. Aturan itu tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Pasal itu melarang calon kepala daerah memiliki hubungan kerabat dengan petahana. Namun, setelah melalui proses peradilan, Mahkamah Konstitusi pada akhirnya membatalkan pasal tersebut pada 8 Juli 2015 (Kompas, 26/2/2020).
Dalam kasus di Kutai Timur, jika benar Encek dan Ismunandar terlibat korupsi, Herdiansyah mengatakan, ada yang tidak beres dengan pengaderan partai. Hal itu terlihat dari aktor-aktor politik yang hanya dikuasai oleh segilintir orang.
”Implikasinya, jika Ketua DPRD dan bupati berkerabat, pengawasan tidak bisa dilakukan secara memadai. Bagaimana mungkin DPRD bisa mengawasinya kalau bupati dijabat oleh suami sendiri?” kata Herdiansyah.
Menurut dia, dengan komposisi seperti itu, proses korupsi jadi lebih cepat. Sebab, DPRD yang melakukan pengawasan jalannya pemerintahan daerah diketuai oleh istri kepala pemerintahan. Selain itu, persekongkolan juga jadi lebih mudah dilakukan karena bupati dan ketua DPRD merupakan keluarga.
Bagaimana mungkin DPRD bisa mengawasinya kalau bupati dijabat oleh suami sendiri?
Untuk itu, yang perlu didorong, menurut Herdiansyah, adalah pembenahan di tubuh partai politik. Partai politik perlu dikuatkan untuk mencetak kader yang memiliki kemampuan dan kompetensi mumpuni. Hal itu didorong agar partai politik tidak dikuasai oleh segelintir orang yang berkerabat meskipun beda partai.
Selain itu, politik dinasti juga perlu dilawan dengan adanya pengawasan yang berlapis untuk mencegah ada praktik korupsi. Menurut dia, keuangan pemerintah tidak cukup dengan adanya pengawasan dari internal pemerintah.
”Penting juga adanya pengawasan eksternal, misal selain pelibatan Badan Pengawas Keuangan, ada juga pelibatan masyarakat sipil,” katanya.