Terstigma, Keluarga IM Merasa Terusir dari Rumah
Mereka yang memiliki kontak erat dengan pasien Covid-19 tak hanya dibayangi rasa takut terinfeksi, tetapi juga stigma dari masyarakat. Seperti yang dialami IM dan anaknya yang terusir dari rumah.
Mereka yang memiliki kontak erat dengan pasien Covid-19 tak hanya dibayangi rasa takut terinfeksi, tetapi juga stigma negatif masyarakat. Seperti yang dialami IM (55), warga Kalimantan Tengah. Ia kehilangan anak dan suaminya karena korona. Kini ia merasa ditolak warga saat ingin isolasi mandiri di rumahnya.
IM sekeluarga masih bersedih kehilangan putranya, Berkatnu Indrawan Janguk, dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Mohamad Soewandhi, Surabaya, Jawa Timur, yang meninggal tiga bulan lalu tepatnya pada Senin, 27 April 2020. Anaknya mengurus pasien Covid-19 hingga akhirnya tertular.
Kesedihan itu berlarut sampai suaminya, Suriawan Prihandi, jatuh sakit. IM lalu mengantar suaminya yang dirujuk ke RSUD Doris Sylvanus, Kota Palangkaraya. Enam jam perjalanan dilaluinya dari Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, ke Kota Palangkaraya.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Suami IM yang bertugas di Barito Utara sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup ikut menyusul anaknya pada Sabtu (27/6/2020) lalu. Suriawan meninggal karena komplikasi penyakit dan dinyatakan positif korona.
IM dan anaknya mau tak mau diperiksa karena merupakan kontak terdekat. Hasilnya reaktif. IM dan anaknya direkomendasikan untuk isolasi mandiri ke rumah. IM berpikir tidak mungkin menempuh perjalanan darat selama 6 jam lagi kembali ke Muara Teweh.
Baca juga: Program ”Food Estate” Diharapkan Memprioritaskan Masyarakat Lokal
IM kemudian memilih tinggal di Palangkaraya karena dirinya dan suami juga memiliki rumah di kompleks Duta II, Jalan Jati, Kota Palangkaraya. ”Sampai di rumah, informasi itu, kan, menyebar cepat. Lalu pak RT menghubungi dan betapa kaget mereka tidak ingin kami keluarga tinggal di sini,” katanya.
Adik IM, BA (47), menjelaskan, dengan penyampaian itu, keluarga merasa IM dan anaknya tidak bisa menjalani isolasi mandiri di rumahnya sendiri. Padahal, saat itu, mereka masih menunggu hasil uji usap.
Mereka pun memilih pindah ke balai kesehatan atau Asrama Haji Almabrur Kota Palangkaraya atas inisiatif sendiri. Tempat itu memang disiapkan sebagai balai kesehatan khusus melayani orang tanpa gejala (OTG) maupun orang dalam pantauan.
”Kami sekeluarga bukan warga baru di sini (kompleks Duta II). Kami sudah lama tinggal di sini. Isolasi mandiri itu juga permintaan dokter, bukan kami. Kan, tidak mungkin virusnya tembus dari tembok ke tembok,” ungkap BA.
Kami sekeluarga bukan warga baru di sini (kompleks Duta II). Kami sudah lama tinggal di sini. Isolasi mandiri itu juga permintaan dokter, bukan kami. Kan, tidak mungkin virusnya tembus dari tembok ke tembok.
Pada Jumat (3/7/2020) pagi, baik lurah maupun aparat keamanan coba mendatangi kompleks Duta II dan bertemu beberapa warga. Penelusuran itu dilakukan lantaran cerita tentang IM ditolak dari rumahnya merebak di media sosial.
Ketua RT 001 RW 007 Misrani Inas, saat dihubungi Kompas, mengaku, dirinya tidak menolak, apalagi mengusir IM dan anaknya. Ia hanya meminta agar mereka dirawat di rumah sakit supaya mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ia menelepon IM pun atas desakan para warga.
”Ada warga yang melapor kalau ibu itu sering berjemur di luar, warga khawatir apalagi informasinya juga ibu itu positif,” kata Misrani.
Baca juga: Kalteng Gelontorkan Dana Besar, tetapi Penyebaran Covid-19 Belum Tertekan
Pada saat mengetahui IM dan anaknya pulang ke rumah tersebut, Misrani buru-buru membuat laporan ke Kelurahan Panarung. Sampai di sana ia diminta untuk menggali informasi dan meminta surat keterangan sehat dari IM sekeluarga.
”Saya tunggu-tunggu suratnya belum sampai ke saya, jadi warga makin khawatir dan mendesak saya juga supaya menyampaikan hal itu ke ibu,” kata Misrani.
Misrani yang rumahnya sekitar 200 meter dari rumah IM sebenarnya tidak pernah melihat IM sekeluarga keluar dari rumah sejak kedatangan mereka ke kompleks itu. Ia hanya menerima laporan bahwa IM sering berjemur di luar rumah.
”Ada yang bilang ke saya juga kalau sopirnya suka mondar-mandir keluar masuk kompleks, nah makanya saya menelepon untuk meminta agar ibu dan anaknya itu ke rumah sakit saja jadi ada yang melayani dan merawat,” kata Misrani.
Atas asumsi itu, Misrani memberanikan diri menelepon IM dan menyarankan agar mereka pindah ke rumah sakit sehingga pelayanan lebih maksimal. Semua itu, lanjut Misrani, dilakukannya atas dasar permintaan warga sekitarnya.
IM pun pindah mengikuti keinginan Misrani dan warga sekitar. Ia tidak ingin masalah itu jadi besar dan menambah pikirannya.
Lurah Panarung Evi Kahayanti menjelaskan, persoalan tersebut merupakan kesalahpahaman antarwarga. Ketua RT mencoba memberikan pengertian dari keresahan warga.
”Tak ada juga informasi dari rumah sakit bahwa ibu itu (saat kejadian) positif atau negatif. Warga yang rumahnya sangat berdempetan apalagi jalan buntu dan banyak anak kecil jadi ketakutan,” kata Evi.
Evi mengungkapkan, kejadian serupa juga pernah dialaminya. Suaminya menunggu hasil uji usap dengan karantina mandiri selama 21 hari di luar rumah karena tetangga mendapatkan informasi simpang-siur.
”Saya merasakan apa yang dirasakan ibu itu. Saya dan keluarga pernah dikucilkan sampai tempat sampah kami diberikan pembatas sama oknum untuk jadi penanda,” kata Evi.
Evi menjelaskan, karena pengucilan itu, ia meminta suaminya untuk karantina mandiri di tempat lain selain di kompleks rumah mereka. Namun, setelah hasil uji usap keluar dan dinyatakan negatif, baru tetangga sekitarnya mau menegur sapa dengan keluarganya.
”Saya sedang mencari kontak ibu IM agar meminta maaf langsung atas apa yang terjadi. Ibu itu memang bukan terdaftar di warga sini, hanya memang punya rumah di sini. Jadi dalam daftar tim gugus, ibu itu tidak ada namanya, makanya kami khawatir tidak ada yang merawat,” ucap Evi.
Baca juga: Jadi Kluster Penularan, Pemkot Palangkaraya Bersihkan Pasar Besar
Menurut Evi, Kota Palangkaraya yang menjadi zona merah pandemi ini memang memiliki beragam cerita stigma masyarakat terhadap pasien Covid-19. Meskipun demikian, pihaknya terus-menerus berupaya agar sosialisasi dan edukasi berjalan maksimal.
Dari data Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Kalteng, hingga kini terdapat 991 kasus positif di tingkat penularan (Rt) di atas 1 yang artinya satu orang bisa menularkan satu hingga dua orang lainnya.
Kota Palangkaraya menjadi zona merah karena merupakan wilayah yang paling banyak memiliki kasus korona di Kalteng hingga 381 kasus. Setidaknya terdapat 81 ODP dan 18 PDP. Jumlah yang sembuh pun meningkat dari 170 menjadi 181 orang.
Wakil Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Kalteng Suyuti Syamsul sebelumnya mengatakan, isolasi bisa dilakukan untuk orang tanpa gejala atau bahkan pasien positif dengan gejala ringan.
”Selama yang bersangkutan komitmen untuk tidak melakukan kontak erat dengan orang lain bahkan keluarga, tidak ada masalah melakukan isolasi mandiri,” kata Suyuti.
Selama yang bersangkutan komitmen untuk tidak melakukan kontak erat dengan orang lain, bahkan keluarga, tidak ada masalah melakukan isolasi mandiri.
Isolasi mandiri, lanjut Suyuti, merupakan salah satu upaya efektif juga agar rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya tidak kelebihan pasien karena banyaknya pasien korona. Selama bisa menjaga imunitas, wabah itu bisa ditangani.
Disfungsi sosial
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Palangka Raya Yuliana menjelaskan, apa yang dilakukan ketua RT dan warga di kompleks Duta II merupakan bentuk respons warga terhadap wabah Covid-19. Sikap tersebut muncul karena adanya rasa cemas, ketakutan, dan kecurigaan warga di situasi pandemi.
”Ditolak karena ada stigma negatif yang melekat pada warga yang dinyatakan orang dalam pantauan (ODP) maupun orang tanpa gejala (OTG). Kalau ini dibiarkan berlarut-larut, bisa ke tahap pengucilan terhadap warga yang mau isolasi mandiri,” kata Yuliana.
Yuliana menambahkan, situasi tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk dari disfungsi sosial. Kelompok masyarakat tertentu tidak menjalankan fungsi sosialnya.
”Ada persoalan moral di sana. Ini terjadi karena bertentangan dengan nilai empati terhadap sesama,” ungkap Yuliana.
Ada persoalan moral di sana. Ini terjadi karena bertentangan dengan nilai empati terhadap sesama.
Yuliana menilai, perlu ada intervensi banyak pihak untuk mengurai masalah sosial tersebut. Selain pemerintah dan aparat, kesadaran masyarakat juga perlu terus dibina. ”Sebab, jika hal itu terus-menerus terjadi, bisa berujung pada konflik sosial. Ini dipicu oleh rendahnya solidaritas sesama,” tambahnya.
IM dan anaknya saat ini berada di balai kesehatan. Mereka merasa jauh lebih aman di rumah, tapi apa mau dikata, mereka juga merasa terusir dari rumah sendiri.