Wajah Perekonomian Pantura Jabar yang Terdampak Pandemi Covid-19
Tingkat keterisian hotel di Cirebon mulai meningkat seiring dengan pemberlakuan adaptasi kebiasaan baru.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI/MELATI MEWANGI
·5 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pelaku usaha di pantai utara Jawa Barat terpuruk akibat pandemi Covid-19. Omzet mereka menurun drastis. Kini, menuju tatanan kehidupan normal baru, jalur nadi perekonomian nasional itu diharapkan bergeliat kembali.
Di sepanjang jalur pantai utara Susukan-Palimanan, Kabupaten Cirebon, Minggu (5/7/2020), misalnya, tidak sedikit rumah makan dan warung yang tutup. Beberapa ruko di daerah Arjawinangun juga belum beroperasi.
Arus lalu lintas pun masih lengang, kecepatan kendaraan terpantau di atas 60 kilometer per jam. Kendaraan didominasi truk dan sepeda motor bernomor polisi wilayah Cirebon dan sekitarnya. Hanya beberapa mobil pribadi bernomor polisi Jakarta yang melintas.
Awal Juli ini, pengunjung mulai meningkat. Ya, paling tidak bisa menutup biaya operasional, seperti gaji pegawai dan listrik. Kalau untung, sih, belum ada. (Daud)
Masri (47), pemilik warung makan, di Desa Pegagan, Palimanan, mengatakan, pandemi Covid-19 tiga bulan terakhir memaksa pelaku usaha menutup dagangannya. Bahkan, saat masa mudik Lebaran, pelaku usaha kehilangan penghasilan. Nyaris tidak ada pemudik karena pemerintah melarang warga mudik.
Masri mengaku, hanya satu hingga tiga orang yang datang ke warungnya saat itu. Penghasilannya paling tinggi Rp 300.000 per hari. ”Padahal, mudik sebelumnya, saya bisa dapat Rp 1,5 juta per hari,” kata Masri yang berdagang di jalur pantura empat tahun terakhir.
Kini, seiring penerapan tatanan kehidupan normal baru atau adaptasi kebiasaan baru, usahanya mulai pulih meski belum signifikan. ”Sehari bisa dapat Rp 200.000-Rp 350.000. Belum kembali modal, sih. Tetapi, sudah lebih baik dibandingkan dengan mudik kemarin,” kata Masri yang bisa mendapatkan sekitar Rp 500.000 per hari saat kondisi normal.
Pandemi juga memukul toko oleh-oleh di pantura Cirebon. Toko Daud di daerah Tengah Tani, misalnya, sore itu tampak sepi. Hanya ada dua mobil yang terparkir. Padahal, saat akhir pekan, biasanya lebih dari lima bus bisa berkunjung ke sana. Kemacetan pun acap kali terjadi.
”Awal Juli ini, pengunjung mulai meningkat. Ya, paling tidak bisa menutup biaya operasional, seperti gaji pegawai dan listrik. Kalau untung, sih, belum ada,” kata Daud, pemilik salah satu toko oleh-oleh terbesar di Cirebon itu. Dari tiga tokonya, Daud mempekerjakan 45 karyawan.
Saat pandemi tiga bulan lalu, Daud terpaksa mengurangi masa kerja karyawannya hanya dua pekan selama sebulan untuk menekan biaya operasional. Karyawan pun hanya menerima setengah dari gaji biasanya.
”Saya rugi lebih dari Rp 400 juta karena enggak ada pembeli. Barang-barang rusak karena terlalu lama di gudang,” katanya.
Konsumen utama toko oleh-oleh adalah wisatawan dan instansi. Namun, akibat pandemi, acara rapat atau pelatihan instansi masih minim. Nur L(54), pengusaha toko oleh-oleh di Simpang Jomin, Karawang, merasakan dampak yang sama. Omzetnya menurun sekitar 80 persen daripada sebelumnya. Produk oleh-oleh yang dijual di toko rentan rusak jika tak laku terjual cepat, antara lain tape peyeum bendul, kerupuk pasir, wajit, dan dodol.
Tape bendul, misalnya, tidak bisa bertahan lebih dari dua minggu karena lebih dari itu akan berair dan membusuk. Dalam seminggu, biasanya terjual 3 keranjang besar dengan total berat sekitar 375 kilogram (kg) tape. Lebaran kemarin, dia memilih untuk menutup toko karena sepi pembeli dan tak banyak yang mudik.
”Selama pandemi, satu keranjang pun belum tentu habis terjual. Rata-rata sehari hanya laku 5 kilogram tape. Seminggu ini, alhamdulillah, banyak pembeli yang datang membeli tape dan kerupuk. Saat akhir pekan (Sabtu dan Minggu) omzet bisa di atas Rp 1 juta,” kata Nur.
Hotel kelas melati juga tak luput dari dampak Covid-19. Kepala Hotel Grand Mutiara Karawang, Agus Solihin (28), mengatakan, selama pandemi tingkat keterisian hotelnya paling banter hanya 10 unit dari total 50 kamar per hari. Mereka adalah sopir-sopir angkutan dan keluarga yang transit sebentar untuk istirahat.
Harga sewa berkisar Rp 100.000- Rp 200.000 per malam. Penginapan ini masih tampak sepi dari orang-orang. ”Setahun yang lalu, semua kamar setiap malam pasti terisi. Kalau sekarang 10 kamar saja rasanya berat,” ucap Agus.
Untuk menghemat biaya operasional, pihaknya terpaksa merumahkan 50 persen karyawannya atau 6 orang. Beragam hal untuk memenuhi standar protokol kesehatan pun diupayakan, antara lain penyemprotan disinfektan secara berkala di kamar dan pengecekan suhu tubuh tamu.
Kunjungan wisatawan juga menurun drastis. Hal itu dapat dilihat dari tingkat hunian hotel di Kota Cirebon yang anjlok hingga menyentuh 10 persen. Bahkan, beberapa di antaranya tutup. Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kepemudaan Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon Wandi Sofyan mengatakan, tingkat keterisian hotel di Cirebon mulai meningkat seiring pemberlakuan adaptasi kebiasaan baru. ”Tingkat hunian hotel juga naik dari sebelumnya 10 persen menjadi 15 bahkan 20 persen,” ucapnya.
Pada hari normal, okupansi hotel di Kota Cirebon paling minim 50 persen. Bahkan, saat akhir pekan atau masa liburan, bisa mencapai 100 persen. Hotel diizinkan beroperasi dengan syarat menerapkan protokol kesehatan.
Meskipun pelaku usaha mulai menikmati adaptasi kebiasaan baru, jumlah kasus positif Covid-19 di Cirebon terus meningkat. Dalam tiga hari terakhir, 11 kasus baru positif Covid-19 dilaporkan di Kota Cirebon. Di Kabupaten Cirebon, Jabar, tercatat 6 kasus positif baru dalam tiga hari terakhir. Sebagian besar kasus positif merupakan pelaku perjalanan atau pendatang dari daerah episentrum Covid-19, seperti Jakarta.
Sementara itu, seluruh destinasi wisata di Karawang belum diizinkan untuk beroperasi. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Karawang Yudi Yudiawan mengatakan, pihaknya tengah mengajukan draf dan kajian terkait protokol adaptasi kebiasaan baru di tempat wisata kepada bupati. Adapun semua kegiatan festival yang mengundang massa belum diperbolehkan, misalnya festival tahunan goyang Karawang terpaksa ditunda.