Pembacaan Ikrar Setia pada NKRI di DPRD Kota Cirebon Berbuntut Panjang
Badan Kehormatan DPRD Kota Cirebon segera memproses pimpinan DPRD terkait penghapusan kata khilafah dari paham yang dilarang di Indonesia. Pimpinan DPRD bahkan dilaporkan ke polisi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pembacaan ikrar kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh pimpinan DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, berbuntut panjang. Ikrar itu menghilangkan kata khilafah sebagai paham yang dilawan di Indonesia. Badan Kehormatan DPRD pun segera memproses kasus itu, sedangkan pimpinan DPRD dilaporkan ke polisi.
”Badan kehormatan segera mengklarifikasi kasus ini. Kronologisnya seperti apa? Apakah melanggar kode etik atau tidak? Kami rapat internal dulu. Meskipun yang bersangkutan pimpinan DPRD, kami tetap proses,” ujar Ketua Badan kehormatan DPRD Kota Cirebon Yuliarso, Selasa (14/7/2020), di Cirebon.
Kasus itu bermula saat pimpinan DPRD Kota Cirebon menerima perwakilan Forum Cirebon Bersatu yang berunjuk rasa terkait penolakan Haluan Ideologi Pancasila, Senin (6/7/2020). Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon Fitria Pamungkaswati lalu menawarkan pembacaan naskah ikrar kesetiaan terhadap NKRI.
Saat membaca teks berisi kami bersumpah akan menjaga NKRI dari pengaruh paham komunisme dan khilafah, Affiati terhenti.
Ketua DPRD Kota Cirebon Affiati pun memimpin pembacaan ikrar itu. Turut hadir Kepala Kepolisian Resor Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Syamsul Huda, Komandan Distrik Militer 0614/Kota Cirebon Letnan Kolonel (Inf) Herry Indriyanto, serta Wakil Ketua DPRD Handarujati.
Akan tetapi, saat membaca teks berisi kami bersumpah akan menjaga NKRI dari pengaruh paham komunisme dan khilafah, Affiati terhenti. Sejumlah audiens lalu berteriak, ”Batal-batal dan tidak sah”. Setelah 19 detik, Affiati mengulangi pembacaan ikrar tanpa menyebutkan kata khilafah. Isinya, bersumpah menjaga NKRI dari komunisme, liberalisme, leninisme, sekulerisme.
Video pembacaan ikrar pun heboh di jagat media sosial. Sejumlah pihak memprotes pimpinan DPRD karena dianggap tidak melindungi NKRI dari khilafah yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Sembilan fraksi pun meminta Badan Kehormatan DPRD Kota Cirebon mendalami kasus itu. ”Jangan sampai (ada anggapan) di dewan ini ada teroris. Itu tidak ada,” kata Yuliarso.
Bingung
Menurut dia, jika terbukti melanggar kode etik, ketiga pimpinan DPRD akan menerima surat teguran, surat peringatan, dan surat kepada pimpinan partai. ”Ini kasus pertama terkait ideologi. Sebelumnya, yang kami tangani seperti masalah anggota Dewan yang selingkuh sampai menggadaikan mobil dinas,” ungkapnya.
Dalam keterangan tertulisnya, Affiati yang berasal dari Partai Gerindra mengaku bingung saat membaca naskah ikrar. Apalagi, ikrar yang diajukan Fitria, politisi PDI Perjuangan itu, diserahkan secara mendadak, dan sebelumnya tidak masuk dalam agenda unjuk rasa.
”Saya atas nama pimpinan dan lembaga DPRD menyampaikan permohonan maaf atas kekhilafan. Kami tetap setia kepada Pancasila dan UUD 1945 serta menolak paham komunisme, khilafah, liberalisme, leninisme, dan sekulerisme,” ungkapnya.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Cirebon Ide Bagus Arief Setiawan menilai, penghapusan kata khilafah dalam kasus tersebut bukanlah sebuah insiden. Sebab, ikrar serupa dibacakan lagi di depan massa aksi.
Penghapusan kata khilafah, lanjutnya, mengindikasikan pimpinan DPRD Kota Cirebon tidak melindungi NKRI dari paham tersebut. ”Padahal, khilafah bertentangan dengan ideologi Pancasila. Ini sesuai Keputusan Mahkamah Agung No 27k/TUN/2019. Ini dasar hukum kami untuk melaporkan pimpinan DPRD Kota Cirebon ke polisi,” ujarnya.
Pihaknya akan mengawal kasus tersebut hingga ke pengadilan. ”Kalau kasus ini enggak diproses hukum, nanti akan ada stigma Cirebon dekat dengan kelompok ekstremis. Apalagi, beberapa kasus terorisme di Indonesia pelakunya dari Cirebon. Padahal, orang Cirebon itu toleran,” katanya.