Banjir di Kotawaringin Barat dan Lamandau, Warga Enggan Dievakuasi
Banjir di Kabupaten Lamandau dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, tak kunjung surut. Namun, masyarakat enggan diungsikan ke posko darurat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat yang terdampak banjir di Kabupaten Lamandau dan Kotawaringin Barat enggan dievakuasi ke posko darurat pemerintah. Mereka lebih memilih tinggal di rumah atau mengungsi ke rumah keluarga.
Banjir di Kabupaten Lamandau dan Kotawaringin Barat sudah dua minggu lebih tak kunjung surut. Dua kabupaten itu pun sudah menetapkan status siaga darurat banjir.
Di Kotawaringin Barat, tiga kecamatan terendam dengan tinggi muka air maksimal mencapai 3 meter. Tiga kecamatan itu adalah Arut Selatan, Arut Utara, dan Kotawaringin Lama.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotawaringin Barat Reneli memantau lapangan untuk mengevakuasi warga terdampak. Namun, masyarakat menolak tinggal di posko pengungsian di kantor kecamatan.
”Mereka lebih senang tinggal di rumahnya sendiri biar terendam banjir. Mereka bikin tempat khusus untuk tidur di dalam rumahnya dengan ketinggian tertentu,” kata Reneli saat dihubungi dari Palangkaraya, Kamis (16/7/2020).
Mereka lebih senang tinggal di rumahnya sendiri biar terendam banjir. Mereka bikin tempat khusus untuk tidur di dalam rumahnya dengan ketinggian tertentu.
Sebagian besar warga memilih bertahan di rumahnya masing-masing untuk menjaga rumah dan barang berharga. Sebagian warga lainnya memilih mengungsi ke rumah keluarga di wilayah yang relatif lebih aman.
Menurut Reneli, pihaknya menyiapkan tiga posko pengungsian di tiga kecamatan. ”Posko itu dilengkapi dapur umum dan fasilitas lainnya, kami juga bagikan bantuan logisitik ke sana, tetapi karena warga tidak mau, akhirnya logistik kami bagikan dari rumah ke rumah,” ungkap Reneli.
Berdasarkan data BPBD Kotawaringin Barat, setidaknya 1.564 keluarga terdampak banjir dan 1.523 rumah terendam. Pihaknya masih terus melakukan pendataan di pelosok yang akses masuknya tertutup lantaran banjir.
Reneli menjelaskan, banjir tersebut terjadi akibat luapan Sungai Arut. Curah hujan yang tinggi menyebabkan sungai meluap hingga merendam permukiman warga.
”Ini banjir tahunan, tetapi tahun ini yang paling parah dari tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya karena tinggi muka air, tetapi durasi banjirnya jauh lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Reneli.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Lamandau yang berjarak 530 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng. Banjir yang tak kunjung surut justru meluas. Banjir memasuki Kota Nanga Bulik, ibu kota Lamandau.
”Belum pernah masuk banjir kota (Nanga Bulik) ini sebelumnya, tidak separah ini. Ada 21 ruas jalan yang tertutup aksesnya sehingga jalan putus,” kata Kepala Pelaksana BPBD Lamandau Edison Dewel.
Edison Dewel menjelaskan, hingga kini terdapat 32 desa terendam banjir. Akses jalan tertutup, petugas pun kesulitan mendata dan mengevakuasi warga.
”Kalau pengungsi, sudah ada yang datang ke posko karena memang rumahnya sudah terendam habis,” kata Edison.
Edison mengaku, pihaknya belum selesai mendata jumlah pengungsi di posko yang disediakan pemerintah. Data sementara baru 48 keluarga yang ada di Posko Nanga Bulik.
”Masih banyak warga yang memilih bertahan dengan alasan beragam. Seperti menjaga ternak dan harta benda lainnya,” ujar Edison.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran Provinsi Kalteng Darliansjah mengatakan, pihaknya diminta untuk membuat kajian singkat terkait bencan alam yang terjadi di setiap daerah. Ia pun saat ini terus berkoordinasi dengan instansi di kabupaten/kota untuk membuat kajian singkat tersebut.
”Jadi kami tidak bisa mengira-ngira penyebab banjir tahunan itu apa, nanti dibuat kajiannya dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan lain sebagainya,” ungkap Darliansjah.