Letusan Samalas di Panggung Festival Geowisata Asia Pasifik
Pertunjukan ”Menapak Jejak Samalas” menjadi cara lain untuk menceritakan dahsyatnya letusan Gunung Samalas pada abad ke-13 di Lombok, NTB. Selain menarik, semua kalangan juga bisa belajar banyak dari pertunjukan itu.
Alam punya cara misterius dalam menjaga keseimbangan.
Tuhan murka, memerintahkan alam bergerak, menunjukkan kekuatan-Nya.
Samalas bergejolak. Memuntahkan amarah. Meleburkan segala.
(Sinopis Menapak Jejak Samalas)
Suara suling yang dimaikan oleh M Nur Kholis terdengar mendayu-dayu. Beberapa saat kemudian, tembang macapat dalam bahasa Sanskerta bernada sendu yang dibawakan Sukardi mengalun pelan.
Kolaborasi master Etno-Musikologi dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta asal Lombok dengan budayawan Lombok serta dalang wayang tradisional Sasak itu mengawali pertunjukan ”Menapak Jejak Samalas”, Rabu (16/7/2020) pagi.
Sembilan penari dalam balutan pakaian serba merah tiba-tiba muncul di panggung. Satu orang berdiri di tengah dan delapan lain mengelilinginya dengan posisi bersujud dan telentang.
Tak lama kemudian, delapan penari menghilang dari panggung. Tinggal satu orang lagi yang masih menari. Ia bergerak lincah seorang diri. Mengikuti iringan suling dan menggambarkan pesan dalam lontar Babad Lombok yang dibaca Sukardi. Samalas mulai bergejolak.
Suara suling masih terdengar. Sementara tembang macapat berganti dengan suara merdu Doni yang membawakan lagu Earth Song yang dipopulerkan mendiang Michael Jackson.
Lagu itu dibawakan dengan iringin musik jazz yang diaransemen oleh Kepin Leon (12), seorang musisi muda asal Kota Mataram. Earth Song, oleh Kepin, diaransemen ulang dengan memasukkan unsur seni budaya lokal. Maka, suara suling dari Nur Kholis masih terdengar.
Earth Song adalah lagu yang menggambarkan kerusakan bumi akibat ulah tangan manusia lewat peperangan dan konflik berdarah. Pilihan lagu itu tepat dengan apa yang coba digambarkan pada kisah tenang Samalas yang meletus pada abad ke-13.
Seiring kolaborasi musik dan vokal apik masih berjalan, panggung pertunjukan kembali menampilkan para penari. Saat musik kian mengentak, gerakan para penari juga senada.
Salah seorang penari bergerak, mengibas-ngibaskan seledang merahnya. Lalu, penari-penari lain datang membawa gunungan (figur dalam pewayangan berbentuk gunung). Mereka tengah menggambarkan Samalas yang sedang meletus. Wayang berbentuk gunung mewakili Samalas, sementara selendang merah adalah lahar dari gunung itu.
Benar saja, setelah itu, gerakan para penari berubah. Ekspresi panik terlihat saat mereka berlari dari satu sisi ke sisi panggung lainnya. Lalu semua penari jatuh dan terbaring di atas panggung, seperti gambaran saat letusan Salamas meluluhlantakkan wilayah di sekitarnya.
Iringin musik jazz berhenti. Kemudian berganti suling. Sukardi kembali melanjutkan tembang. Di atas panggung, para penari yang semula terbaring kemudian menggeliat pelan.
Seorang penari lalu muncul membawa dua gunungan. Penari lain yang semula terbaring bergerak mendekat, lalu berkumpul menjadi satu. Seiring musik jazz, suling, dan tembang yang terus terdengar, para penari membentuk formasi gunung dan pohon besar. Dalam formasi itu, beberapa anak membawa gunungan.
”Bagian terkahir itu menggambarkan bahwa setelah letusan besar Samalas, ada kehidupan baru yang harus kita jaga bersama,” kata Wahyu Kurnia, koreografer pertunjukan yang juga ikut menari.
Bagian terkahir itu menggambarkan bahwa setelah letusan besar Samalas, ada kehidupan baru yang harus kita jaga bersama.
Festival Geowisata
Menapak Jejak Samalas adalah salah satu bagian dari kolaborasi penampilan budaya pada acara pembukaan Festival Geowisata 2020. Festival yang berlangsung secara virtual itu diadakan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) bekerja sama dengan Rinjani Lombok Unesco Global Park, Geopark Rinjani Lombok, Pemerintah Provinsi NTB, dan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani.
Festival yang berlangsung selama dua hari, 15-16 Juli 2020, itu bertujuan mendukung pengembangan taman dunia atau geowisata. Termasuk komunitas lokal di Indonesia lewat kegiatan virtual, terutama dalam kondisi pandemi saat ini.
Terkait dengan penampilan budaya, khususnya ”Menapak Jejak Samalas”, Wahyu mengatakan, lewat pertunjukan itu, ia ingin mengingatkan semua orang bahwa bencana, apa pun bentuknya, adalah peringatan Tuhan kepada manusia.
Oleh karena itu, kata Wahyu, agar terhindar dari bencana, manusia harus mengambil bagian dalam menjaga alam, menjaga bumi yang mereka tempati.
Anak-anak
Menapak Jejak Samalas sebagian besar dimainkan oleh anak-anak usia sekolah dasar hingga menengah pertama. Menurut Wahyu, pelibatan anak-anak dalam pertunjukan itu diharapkan bisa memperkenalkan kepada mereka tentang letusan Samalas lewat cara yang tepat dan menarik.
”Karena selama ini, cerita tentang Samalas lebih banyak pada kajian ilmiah yang juga dinikmati kalangan tertentu,” kata Wahyu.
Berdasarkan penelitian lintas bidang tentang Samalas yang dipimpin Franck Lavigne, peneliti dari Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Perancis, letusan Samalas terjadi pada 1257.
Berdasarkan penelitian Franck dan tim, letusan Samalas diperkirakan memuntahkan sedikitnya 40 kilometer kubik material vulkanik. Tinggi kolom letusannya diperkirakan 43 km, yang terbesar dalam 7.000 tahun terakhir.
Baca juga: Penelitian entang Letusan Samalas Masih Terus Berjalan
Letusan itu menyebabkan kawah raksasa, berukuran 6 km x 8,5 km dan kedalaman 800 meter. Kawah itu dikenal sebagai Segara Anak yang berada di ketinggian 2.010 meter di lereng Gunung Rinjani (3.726 meter di atas permukaan laut). Sebelum meletus, Gunung Salamas diperkirakan setinggi 4.200 meter. Ini berarti ada sekitar separuh volume gunung hilang saat letusan.
Besarnya material vulkanik yang dilepas ke udara ini dipastikan membawa dampak global sebagaimana yang ditimbulkan dari letusan Gunung Tambora. Letusan Samalas diduga menjadi sumber kematian massal di Eropa pada 1258 setahun setelah letusan itu.
Sebagaimana letusan Tambora yang berdampak pada kegagalan panen di Eropa sehingga memicu kelaparan dan kematian massal pada 1816 atau setahun setelah letusan, letusan Samalas diduga memicu permasalahan serupa, bahkan mungkin lebih dahsyat (Kompas, 8 Oktober 2013).
”Sejak dua tahun terakhir, penelitian dilanjutkan ke dampak dan rekonstruksi bentuk Lombok sebelum letusan (Samalas) pada abad ke-13,” kata Franck, Desember 2019 lalu.
Menurut Wahyu, selain memperkenalkan cerita tentang Samalas, pelibatan anak-anak yang berasal dari Sanggar Anak Semesta (SAS), yakni Juang Alif Rachman, Sunan Satriaji Sultan, Robi Ardiansyah, Rian Rahmadi, Imam Triana Syah Putra, Muhammad Rifqi Akbar, Lalu M Panca Kurniawan, dan Rif’at Husyani itu penting.
”Mereka adalah generasi penerus yang akan mendapat tugas menjaga alam ini,” kata Wahyu.
Hal serupa disampaikan Pikong dari Tim Riset dan Artistik SAS. Menurut Pikong, keikutsertaan anak-anak dalam ”Menapak Jejak Samalas” sangat penting.
”Mereka belajar menapak sejarah peradaban dunia. Bagaimana Samalas memberi kehidupan bagi semua makhluk dan kedahsyatan letusannya berdampak luas hingga Eropa,” kata Pikong.
Mereka belajar menapak sejarah peradaban dunia. Bagaimana Samalas memberi kehidupan bagi semua makhluk dan kedahsyatan letusannya berdampak luas hingga Eropa.
Menurut Pikong, anak-anak yang terlibat juga bisa mendapatkan gambaran dan pelajaran terkait letusan itu lewat seni tradisi yang dikemas modern. ”Mereka ternyata baru tau ada Samalas yang letusannya lebih dahsyat dari Tambora dan Rinjani. Jadi, mereka benar-benar semangat,” kata Pikong.
Kehadiran gunungan dalam pentas, kata Pikong, sekaligus simbol alam raya. Jadi, anak-anak sekaligus diajarkan tentang pentingnya menjaga alam dan kehidupan di dalamnya. ”Dalam karya ini, anak-anak yang ditampilkan juga untuk mengingatkan semua pihak bahwa anak-anak itu adalah generasi berikutnya yang harus siap. Mereka yang bertugas mewujudkan harapan para leluhurnya,” kata Pikong.
Memang banyak cara untuk belajar tentang Samalas. Jika tak cukup dengan membaca kajian-kajian ilmiah tentang letusannya, bisa juga melihatnya lewat pertunjukan ”Menapak Jejak Samalas”.