Amfoang, Ironi Daerah Terisolasi di NTT
Lima kecamatan di wilayah Amfoang, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, memiliki sumber daya pertanian, madu, dan cendana yang potensial. Ironisnya, daerah ini terisolasi, terutama saat musim hujan.
Lima kecamatan di wilayah Amfoang, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, memiliki sumber daya pertanian, madu, dan cendana yang potensial. Ironisnya, daerah ini terisolasi, terutama saat musim hujan. Padahal, jaraknya hanya sekitar 192 kilometer dari Kota Kupang, ibu kota NTT. Pelayanan pemerintah menjadi tidak efektif, harga bahan pokok pun cukup tinggi.
Nimrot Kamlasi (48), warga Desa Kifu, Kecamatan Amfoang Timur, baru saja tiba di Pasar Oeba Kota Kupang, Selasa (15/7/2020). Butuh waktu dua hari baginya untuk sampai di pasar itu menggunakan bus. Waktu tempuhnya cukup lama karena sebagian ruas jalan yang dilalui, yakni sekitar 125 kilometer, rusak berat.
Kondisi jalan rusak membuat lima kecamatan di Amfoang, yakni Amfoang Timur dengan ibu kota Oepoli, Amfoang Utara (Naikliu), Amfoang Barat Daya (Manu Belon), Amfoang Selatan (Lelogama), dan Amfoang Barat Laut (Soliu), seperti terisolasi. Total luas wilayah lima kecamatan ini 1.285 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 260.128 jiwa. Jumlah ini lebih dari separuh penduduk Kabupaten Kupang yang mencapai 402.320 jiwa (2017).
Masuk-keluar desa-desa di lima kecamatan di Amfoang sangat sulit karena akses jalan yang buruk.
Kecamatan terjauh, yakni Amfoang Timur dan Amfoang Utara (Naikliu), berbatasan dengan Oecussi, wilayah enklave Timor-Leste. Di perbatasan Naikliu dengan Timor-Leste ada lokasi yang disebut ”Citrana” seluas 620 km2, kawasan persawahan yang saat ini sedang digarap warga Timor-Leste. Daerah ini masih dalam status zona bebas atau daerah sengketa.
Warga Amfoang di lima kecamatan ibarat hidup ”terpenjara”. Masuk-keluar desa-desa di lima kecamatan di Amfoang sangat sulit karena akses jalan yang buruk. Saking buruknya akses jalan, pada musim kemarau seperti sekarang, sebagian kendaraan lebih memilih melewati jalur sungai yang mengering. Pada musim hujan, sejumlah 45 sungai di sana justru meluap hingga wilayah Amfoang terisolasi.
”Sekarang pun masih sulit karena kondisi jalan umum yang sangat buruk. Jalan tanah berlumpur, di titik tertentu terdapat tumpukan batu-batuan, jembatan putus, tiba-tiba air meluap saat hujan di bagian hulu sungai,” kata Nimrot.
Baca juga : Segera Dibangun Kawasan Ekonomi Perbatasan RI-Timor Leste di Belu
Banyak pegawai negeri yang ditugaskan di wilayah Amfoang jarang masuk kantor karena mereka tinggal di Kupang. Mereka datang dua pekan, balik menetap di Kupang hingga dua bulan, baru kemudian datang lagi ke Amfoang. Begitu seterusnya. Kalau musim hujan, mereka jarang masuk kantor, kecuali tenaga kesehatan, guru, dan camat, yang adalah putra daerah Amfoang.
Nimrot dan 30 penumpang lain berangkat dari Oepoli, Amfoang Timur, Senin (13/7), pukul 08.00 Wita. Mereka bermalam di jalan karena bus yang juga membawa barang hasil pertanian dan madu hutan itu macet. Dua ban pecah sekaligus sehingga menunggu truk yang melintas, meminjam ban cadangan dari truk itu untuk melanjutkan perjalanan.
Saat bermalam di jalan, para penumpang menyantap hasil pertanian yang mereka bawa untuk dijual ke Kupang, seperti beras, ubi jalar, dan pisang. ”Itu yang kami masak untuk makan malam bersama. Di situ ada air sungai sehingga tidak kesulitan. Sopir membawa juga panci masak. Selasa pagi, sekitar pukul 09.00 Wita sebuah truk lewat. Kami tiba di Pasar Oeba, Kupang, Selasa, pukul 16.00 Wita,” kata Nimrot.
Baca juga : Normal Baru di Kota Kupang, Warga Masih Mengabaikan Protokol Kesehatan
Ia membawa ubi jalar empat karung, pisang tiga tandan, dan madu lima jeriken. Pisang diborong pedagang dengan harga Rp 100.000 dan madu Rp 700.000. Ubi jalar ia jual sendiri di pasar sambil menemani anaknya, Okto Kamlasi (20), yang sedang kuliah di Kupang. Selama masa pandemi Covid-19, Okto tidak pulang ke Kifu karena di sana tidak ada sinyal telepon. Ia harus mengerjakan tugas-tugas kampus secara daring.
Uang hasil penjualan komoditas pertanian sebagian digunakan untuk memenuhi kebutuhan Okto. Para penumpang bus yang ditumpangi Nimrot sebagian besar warga Amfoang yang memang berjualan. Sebagian lagi bepergian untuk bertemu keluarga dan mengurus kartu keluarga. Mereka biasanya memilih bertahan 5-7 hari di Kupang bersama keluarga sebelum kembali ke kampung.
Bahan pokok mahal
Akses jalan yang buruk di wilayah Amfoang membuat harga kebutuhan pokok di sana jauh lebih mahal ketimbang di Kota Kupang. Gula pasir misalnya, di Kupang Rp 15.000 per kg, sedangkan di Amfoang sampai Rp 30.000 per kg. Pada musim hujan, harganya bisa melonjak hingga Rp 50.000 per kg. Yehezkiel Lakapu (58), warga Desa Kolabe, Amfoang Utara, yang berjualan di Pasar Naikoten, Kupang, meminta pemerintah segera membangun akses jalan di Amfoang.
Harapan serupa disampaikan Bernad Umbu Siwa (35), penyuluh pertanian lapangan (PPL) Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kupang. Ia ditugaskan di Oepoli untuk mengampu lima desa. Ia bertugas di Amfoang Timur sejak 2017 setelah diangkat menjadi CPNS. Siwa berangkat ke Oepoli mengendarai sepeda motor trail Kawasaki milik Dinas Pertanian Kabupaten Kupang. Setiap tiga bulan ia balik ke Kupang bertemu istri-anak.
Jarak sekitar 185 km ditempuh selama 15 jam. Itu pun kalau tidak ada hambatan, seperti banjir, longsor, dan pohon tumbang. Jika menggunakan bus umum, butuh waktu sampai 18 jam. Pada musim hujan, banyak ruas jalan yang tidak bisa dilalui. Walakin, masih ada sopir atau pengendara sepeda motor yang nekat. Butuh waktu 2-3 hari untuk sampai ke tujuan.
Kendaraan roda empat yang bisa menembus wilayah Amfoang hampir semua berpenggerak empat roda. Itu pun terkadang sopir dan penumpang terpaksa berjibaku menarik kendaraan dengan tali, mendorong, dan mengganjal kendaraan agar bisa keluar dari jebakan lumpur. Pengendara juga harus membawa bekal parang untuk memotong pohon yang tumbang di jalan.
Pada musim hujan, akses jalan ke sana harus melewati tiga sungai besar dengan lebar sampai 700 meter, yakni Sungai Sito, Noefanael, dan Manggoli. Alur ketiga sungai ini selalu berpindah posisi selama musim hujan akibat pengikisan. Agar bisa menyeberangi sungai, masyarakat bergotong royong membangun jembatan darurat. ”Sering terjadi orang hanyut terbawa arus, tetapi jarang terpublikasi. Masyarakat sedang beraktivitas di alur sungai tiba-tiba datang banjir dari arah gunung menerjang,” kata Siwa.
Sering terjadi orang hanyut terbawa arus, tetapi jarang terpublikasi.
Jika tidak ada jembatan darurat, pengendara sepeda motor yang hendak menyeberangi sungai biasanya meminta tolong orang untuk memikul sepeda motor. Ongkos menyeberangkan sepeda motor untuk lima orang Rp 250.000. Jika ada dua alur sungai yang harus diseberangi, butuh Rp 500.000 untuk membayar jasa menyeberangkan sepeda motor.
Hingga saat ini, sebagian besar jalan akses ke wilayah Amfoang masih berupa jalan tanah. Jalan itu dibuka tahun 1985 kala Kabupaten Kupang dipimpin YK Moningka (1984-1989). Itu pun hanya berupa jalan tanah. Sebelum itu tidak ada kendaraan masuk-keluar Amfoang. Untuk menuju wilayah itu, warga harus berjalan kaki. Butuh waktu 4-7 hari untuk berjalan kaki dari Amfoang ke Kupang.
Pada masa Bupati Kupang Ibrahim Agustinus Medah (1999-2009), ruas jalan sepanjang 60 km dari arah Oelamasi sempat ditimbun pasir dan batu (sirtu). Tersisa sekitar 125 km menuju Oepoli yang sampai hari ini masih berupa jalan tanah. Selanjutnya, pada 2018 Kementerian PUPR membangun jalan sepanjang 60 km, dengan anggaran Rp 180 miliar.
Keterisolasian Amfoang semakin lengkap dengan ketiadaan jaringan listrik, telepon, dan sinyal televisi di sebagian wilayah. ”Jika ingin menelepon keluarga di Kupang, harus berjalan kaki sekitar 3 km ke arah bukit untuk mencari sinyal Telkomsel,” kata Siwa. Raja Amfoang Roby Mano mengatakan, sampai 2016 status jalan akses ke Amfoang tidak jelas.
Pemerintah pusat mengklaim, itu jalan provinsi, sementara provinsi mengklaim jalan kabupaten. Tahun 2016, akses jalan tersebut ditetapkan menjadi jalan nasional karena berbatasan dengan Negara Timor-Leste, yakni di Oecussi. Pemerintah sudah membangun 60 km, sisa 125 km. Jalan dari Oelamsi-Oepoli-Naikliu ini disebut jalan sabuk merah atau lingkar luar.
Sesuai dengan rencana, jalan itu akan diteruskan sampai di Napan, Timor Tengah Utara, sekitar 250 km, wilayah yang berbatasan dengan Atsabe, Timor-Leste. Pembangunan jalan sangat berarti bagi distribusi hasil-hasil pertanian dari Kupang, Oepoli, Napan, dan Kefamenanu.
Wilayah itu kaya akan komoditas pertanian, peternakan, dan hasil hutan, seperti madu dan cendana. Hingga kini, masyarakat Amfoang sedang menunggu lanjutan pembangunan jalan sepanjang 125 km serta penataan Pos Lintas Batas Negara Oepoli-Timor Leste.