Lahan Calon Hunian Tetap Penyintas di Palu Masih Bermasalah
Masalah lahan untuk pembangunan hunian tetap penyintas bencana di Kota Palu, Sulteng, belum kunjung selesai dengan adanya klaim warga. Pemerintah diharapkan segera menyelesaikannya.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Lahan untuk pembangunan hunian tetap penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, masih bermasalah. Target pembangunan hunian tetap bakal rampung akhir 2020 dikhawatirkan tidak akan tercapai.
Masalah itu kembali terungkap saat 200 warga Kelurahan Talise dan Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, berunjuk rasa di DPRD Kota Palu, Selasa (21/7/2020). Tergabung dalam Forum Talise Bersaudara, mereka menuntut penghentian sementara penyiapan lahan hunian tetap (huntap) di dua kelurahan itu. Tujuannya untuk menyelesaikan masalah status lahan yang diklaim warga. Mereka diterima Wakil Ketua DPRD Sulteng Risal Dg Sewang.
”Posisi lahan itu jadinya status quo (dibiarkan tanpa aktivitas dari para pihak). Semua menahan diri sambil menunggu proses selanjutnya. Kami ingin cari solusi terbaik, kebaikan bersama tanpa ada yang dikorbankan,” kata Risal. Masalah lahan itu akan dibahas lebih lanjut di PRD melalui Panitia Khusus Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Palu.
Koordinator Forum Talise Bersaudara Bei Arifin menyatakan, lahan untuk huntap selama ini sudah diolah warga. ”Kenapa lokasi ini yang dijadikan lahan huntap? Masih ada lokasi lain yang cukup luas,” katanya.
Akan tetapi, Arifin mengakui memang tak ada alas hak berupa sertifikat atau surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT). Lahan itu bagian dari hak guna bangunan sebuah perusahaan. Namun, selama ini, lahan tak diolah perusahaan sehingga akhirnya dimanfaatkan warga.
”Kami tak menolak pembangunan huntap, tetapi jangan sampai mengorbankan warga. Kami juga bagian dari warga negara dan minta pemerintah hadir di tengah,” kata Arifin.
Lahan itu terbentang di sebelah utara Pasar Talise atau gardu induk milik Perusahaan Listrik Negara hingga ke markas baru Polda Sulteng. Saat ini, bangunan yang ada mulai digusur. Gundukan tanah yang diratakan terlihat jelas di lokasi.
Ada tiga alat berat yang diparkir di salah satu pos dekat jalan raya yang telah dibuka menuju arah utara ke lokasi pembangunan huntap lain di Kelurahan Tondo, Mantikulore. Sejumlah pondok warga juga terlihat berdiri di lahan tersebut.
Lahan yang dipersoalkan tersebut bagian dari lokasi pembangunan huntap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi. Lokasi tempat tinggal mereka dulu ditetapkan sebagai kawasan terlarang untuk pembangunan hunian baru atau zona merah bencana.
Di Palu, selain Talise, huntap tersebar di Tondo, Duyu, dan Balaroa di Kecamatan Tatanga. Di tiga tempat itu sejumlah huntap sementara dibangun. Sebagian kecil mulai ditempati warga.
Lahan yang dipersoalkan tersebut bagian dari lokasi pembangunan huntap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi. Lokasi tempat tinggal mereka dulu ditetapkan sebagai kawasan terlarang untuk pembangunan hunian baru atau zona merah bencana.
Kepala Bidang Pengadaan Tanah di Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Sulteng David R Kalangie menyatakan, lahan yang dipersoalkan itu seluas 46,8 hektar. ”(Masalah) sudah selesai dari kami. Waktu pengukuran pada awal 2020 tak ada masalah. Pengukuran dilakukan bersama banyak pihak, mulai dari kelurahan, pemerintah daerah, hingga aparat,” ujarnya.
Ia menyebutkan, lahan itu bagian dari 300 hektar lahan huntap yang telah diurus untuk Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Lahan tersebut telah diserahkan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk membangun huntap.
David menyebutkan, klaim warga dilakukan setelah lokasi itu diukur dan mulai digusur. Selama ini, pihaknya menunggu hal itu disengketakan ke pengadilan, tetapi warga tak melakukannya.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Bencana Sulteng Kementerian PUPR Arie Setiadi Moerwanto menyatakan, masalah lahan itu tengah ditangani penegak hukum. ”Kami patuh kepada arahan penegak hukum,” katanya.
Arie mengakui, masalah lahan tersebut berpengaruh terhadap pencapaian target selesainya pembangunan huntap hingga akhir 2020. Ia menegaskan, pihaknya ingin penyintas segera bangkit lewat penyediaan huntap atau rumah.
Sesuai dengan rancangan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, pembangunan huntap di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala ditargetkan selesai pada akhir 2020. Dengan berlarutnya masalah lahan, hal itu bakal sulit tercapai.
Saat ini sekitar 2.500 huntap telah dan sedang dibangun di tiga daerah terdampak parah gempa pada 28 September 2018. Angka itu masih kecil dari kebutuhan 11.000 huntap.
Wali Kota Palu Hidayat meminta masyarakat tak menghalangi pembangunan huntap. Pemerintah menyediakan solusi dengan memberikan lahan garapan ataupun pembangunan rumah untuk warga yang memiliki alas hak atas lokasi yang dipakai untuk pembangunan huntap.
Asman (45), penyintas likuefaksi Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, berharap pemerintah segera menuntas masalah huntap. ”Kami di hunian sementara ini sampai 2020. Kalau lewat waktu itu, bagaimana nasib kami ini,” katanya. Penyintas yang direlokasi ke huntap sebagian besar tinggal di hunian sementara. Huntara tersebut diproyeksikan untuk dua tahun, yakni 2019-2020.