Lebih dari 100 warga dan pengelola tempat hiburan telah dijatuhi sanksi akibat melanggar Perwali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai perubahan regulasi Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru.
Oleh
IQBAL BASYARI/ AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Lebih dari 100 warga dan pengelola tempat hiburan telah dijatuhi sanksi akibat melanggar Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai perubahan regulasi Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Kota Surabaya.
Padahal, sejumlah kalangan menilai regulasi tadi tidak bisa menjadi dasar pemberlakuan sanksi. Jenis hukuman dalam peraturan yang dikeluarkan oleh kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang telah direvisi menjadi UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam regulasi ini disebutkan, perundang-undangan yang dapat memuat sanksi hanya UU atau peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) dan peraturan daerah.
Pelanggar dijatuhi sanksi penyitaan KTP, push-up (tolak angkat), atau sanksi sosial menjadi petugas di Lingkungan Pondok Sosial Keputih.
Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya Irvan Widyanto di Surabaya, Senin (27/7/2020), razia yang dilaksanakan setiap hari selama dua minggu terakhir telah menjaring lebih dari 100 pelanggar. Perwali ini diberlakukan sejak Senin (13/7/2020). Pelanggaran yang paling banyak ditemukan adalah warga tidak bermasker dan masih beraktivitas di jalan raya melewati ketentuan jam malam, yakni di atas pukul 22.00.
”Pelanggar dijatuhi sanksi penyitaan KTP, push-up (tolak angkat), atau sanksi sosial menjadi petugas di Lingkungan Pondok Sosial Keputih,” kata Irvan.
Pelanggaran lainnya berupa tempat hiburan, yakni karaoke, pub, spa, diskotek, dan panji pijat, yang nekat beroperasi. Padahal, perwali menyebutkan tempat hiburan belum diizinkan beroperasi karena risiko penularan Covid-19 masih tinggi. Dalam razia seminggu terakhir, ada 43 tempat hiburan malam yang dipaksa tutup karena melanggar perwali.
Mendisplinksn warga
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, mengatakan, penegakan hukum harus terus dilakukan untuk mendisiplinkan warga menerapkan protokol kesehatan. Sanksi yang diberikan perlu lebih tegas dan keras. Bentuk sanksinya berupa denda dan administratif berupa pencabutan izin. Sepatutnya, pemerintah dan DPRD segera membuat peraturan daerah.
Pasal 34 Ayat 4 Perwali menyebutkan, hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar berupa teguran lisan dan teguran tertulis atau secara administratif. Selain itu, ada sanksi berupa paksaan, yakni penyitaan KTP, pembubaran kerumunan, penutupan sementara. Juga ada sanksi sosial berupa tolak angkat (push-up), joget atau menari, dan menjadi petugas permakanan untuk orang dengan gangguan jiwa di Liponsos.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai pemberlakuan sanksi dalam perwali tadi tidak sah. Seluruh peraturan dari kepala daerah yang memuat sanksi bertentangan dengan UU No 15/2019. Peraturan yang boleh memberlakukan sanksi kepada masyarakat hanya UU, perppu, dan perda.
”Pada hakikatnya, pemberlakuan sanksi adalah pengurangan hak masyarakat sehingga harus diatur dalam ketentuan yang melibatkan masyarakat, dalam hal ini legislatif (DPR atau DPRD),” ujar Koordinator Posko Pengaduan Covid-19 LBH Surabaya Jauhar Kurniawan.
Dalam situasi seperti ini, koordinasi antara pemerintah daerah dan DPRD dalam membuat peraturan daerah diharapkan bisa lebih cepat untuk memberi kepastian hukum.
Dalam konteks pemberlakuan sanksi di daerah, khususnya Surabaya, ketentuan yang boleh memberlakukan sanksi hanyalah peraturan daerah. Namun, sejauh ini, belum ada peraturan daerah yang membahas tentang kekarantinaan kesehatan apalagi terkait dengan situasi khusus wabah Covid-19.
”Dalam situasi seperti ini, koordinasi antara pemerintah daerah dan DPRD dalam membuat peraturan daerah diharapkan bisa lebih cepat untuk memberi kepastian hukum,” kata Windhu.