Kajian dan dialog dengan berbagai lapisan masyarakat di Papua perlu dilakukan sebelum merevisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua yang berakhir tahun depan tak boleh secara sepihak dilakukan. Diperlukan dialog antara pemerintah pusat dan masyarakat setempat agar revisi regulasi ini dapat mengatasi semua permasalahan di Papua.
Hal ini disampaikan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra selaku pembicara dalam webinar bertajuk ”Prihatin Papua”, Kamis (30/7/2020). Webinar ini diselenggarakan Unity in Diversity (UiD) bekerja sama dengan Moya Cafe.
Azyumardi mengatakan, Undang-Undang Otonomi Khusus akan berakhir pada Desember 2021. Namun, belum terlihat ada evaluasi dari segala aspek. Ia menilai otonomi khusus (otsus) belum menyelesaikan berbagai masalah di Papua dan Papua Barat meskipun anggaran yang dikucurkan telah mencapai Rp 105 triliun. Saat ini, semakin marak muncul gerakan penolakan perpanjangan otsus, bahkan dari kepala daerah di Papua.
”Saya melihat belum adanya efikasi otsus. Pemerintahan yang baik juga belum berjalan. Banyak kepala daerah yang lebih banyak waktunya tidak berada di tempat tugas. Akibatnya, pembangunan juga tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat,” papar Azyumardi.
Azyumardi menuturkan, terkesan pemerintah pusat dan DPR melaksanakan revisi otsus tanpa melibatkan masyarakat Papua. Padahal, masyarakatlah yang nanti melaksanakan regulasi tersebut.
Ia berpendapat, tanpa dialog atau komunikasi dengan masyarakat, akan terus timbul aksi penolakan otsus. Pemerintah pusat tak boleh menutup mata atas fenomena ini. ”Pemerintah pusat seharusnya melaksanakan dialog, kajian, dan penelitian dengan berbagai lapisan masyarakat. Tujuannya untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat tentang pelaksanaan otsus selama ini," tuturnya.
MRP menilai pemerintah pusat tidak serius mengimplementasikan amanah otsus.
Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Tony Wanggai, pembicara lain dalam webinar ini, mengatakan, eskalasi politik di Papua terus meningkat jelang berakhirnya otsus. Ia mengungkapkan, muncul sejumlah tuntutan dari masyarakat yang saling berbeda, yakni meminta adanya revisi dan tetap melanjutkan otsus, menyatakan otsus telah gagal, dan meminta ada referendum.
”MRP menilai pemerintah pusat tidak serius mengimplementasikan amanah otsus. Misalnya, belum disetujuinya usulan MRP tentang pendirian partai lokal, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta pengadilan HAM ad hoc. Padahal, di Aceh ada partai lokal,” ungkap Tony.
Ketua Panitia Khusus Otonomi Khusus DPRD Papua Thomas Sondegau mengatakan, pihaknya telah menggelar pertemuan dengan perwakilan MRP pada Jumat (24/7) pekan lalu. Hasilnya adalah meminta revisi Undang-Undang Otsus harus melibatkan masyarakat asli Papua.
Ia menuturkan, DPRD dan MRP selaku representasi masyarakat Papua sama sekali belum dilibatkan pusat untuk revisi undang-undang tersebut. Padahal, RUU Otsus telah masuk dalam prioritas Prolegnas tahun 2020 yang diusulkan Kementerian Dalam Negeri.
”Kami menuntut agar revisi Undang-Undang Otsus harus transparan, melibatkan orang asli Papua, dan tak hanya pada Pasal 34 terkait penganggaran. Namun, revisi secara keseluruhan setiap pasalnya,” kata Thomas.
Ia menuturkan, terdapat sejumlah persoalan utama yang belum terakomodasi dalam Undang-Undang Otsus. Misalnya, hak masyarakat asli Papua untuk mengelola sumber daya alamnya secara mandiri dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Ia mengungkapkan, hanya satu peraturan daerah khusus yang merupakan turunan dari Undang-Undang Otsus disetujui oleh pemerintah pusat, yakni pembentukan lembaga MRP.
”Pansus Otsus DPRD Papua telah menyiapkan draf atau rancangan revisi Undang-Undang Otsus. Isi draf ini sesuai dengan semangat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua,” ujar Thomas.
Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Oktorialdi mengatakan, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, diperlukan paradigma dan cara baru untuk membuat lompatan pembangunan Papua. Karena itu, pemerintah akan mengevaluasi secara menyeluruh terkait tata kelola dan efektivitas penyaluran dana otsus.
Adapun desain baru pembangunan Papua meliputi evaluasi dan merumuskan desain baru kebijakan dana otsus serta evaluasi dan merumuskan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua. Selain itu, merumuskan konsep kebijakan holistik sebagai keberlanjutan Inpres Nomor 9 Tahun 2017 dan menggunakan pendekatan tematik, holistik, integratif, dan spasial (THIS) dalam pengembangan kawasan ekonomi dari hulu ke hilir.