Penyintas Banjir Bandang Luwu Utara Cemas Bencana Alam Susulan
Warga dan pengungsi korban banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, hingga kini dihantui cuaca buruk. Sebagian penyintas juga menderita trauma berat.
Oleh
Reny Sri Ayu
·2 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Penyintas banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, masih dihantui potensi bencana alam susulan. Selain itu, puluhan pengungsi juga diduga depresi akibat kejadian ini.
Pada Senin (13/7/2020), tiga sungai besar meluap di Luwu Utara, memicu banjir bandang. Tiga sungai itu adalah Masamba, Radda, dan Rongkong. Sungai-sungai itu menerjang enam kecamatan, yaitu Masamba, Baebunta, Baebunta Selatan, Malangke, Malangke Barat, dan Sabbang. Hujan deras terjadi di wilayah tersebut.
Akibatnya, 38 orang meninggal dan 10 orang lainnya masih hilang. Ribuan rumah rusak. Total lebih kurang 14.000 warga terdampak banjir bandang itu.
Akan tetapi, belum usai penanganan banjir bandang, penyintas di Luwu Utara kembali dihantam banjir, Selasa (4/8/2020) petang. Meski surut keesokan harinya, luapan air dari sungai-sungai itu kembali menggenangi permukiman warga.
”Karena sedimentasi sungai pascabanjir bandang masih tinggi, banjir mudah terjadi di permukiman warga. Kejadian ini membuat warga lebih waspada, terutama mereka yang tinggal di sekitar bantaran sungai,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Luwu Utara Muslim Muchtar, Rabu (5/8/2020).
Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengatakan, revitalisasi sungai harus segera dilakukan untuk meminimalkan bencana lainnya. Sedimentasi berbagai material batu hingga kayu membuat aliran sungai tidak optimal.
”Saya sudah meminta kepada Pemkab Luwu Utara untuk mengosongkan daerah sekitar aliran sungai yang rentan terdampak banjir,” kata Nurdin.
Menurut Nurdin, dalam penanganan banjir ini, pemerintah pusat, provinsi, dan daerah sudah berbagi tugas. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, misalnya, membersihkan material, merevitalisasi sungai, serta membenahi infrastruktur jalan dan jembatan.
Pemprov Sulsel mendapat tugas membangun hunian sementara. Anggaran yang disediakan untuk hunian sementara mencapai Rp 10 miliar. Sementara Kementerian Sosial menyiapkan jaring pengaman sosial.
Belum usai masalah itu, beragam penyakit menyerang pengungsi yang tinggal di tenda pengungsian. Selain infeksi saluran pernapasan atas, mereka juga menderita penyakit kulit dan diare. Bahkan, ada sebagian warga yang trauma berat akibat kejadian ini.
”Warga trauma berat karena kehilangan kerabat dan rumah hingga kesulitan hidup di pengungsian. Saat ini, sukarelawan dan tenaga kesehatan juga diturunkan di tenda-tenda pengungsi untuk melakukan pemulihan trauma itu,” kata Muslim.