Bergantung pada Industri Ekstraktif, Perekonomian Kaltim Terpuruk
Pada triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur tumbuh minus 5,46 persen secara tahunan. Sektor pertambangan memiliki andil negatif terbesar, yakni 3,32 persen.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pada triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur minus 5,46 persen secara tahunan. Sektor pertambangan memiliki andil negatif terbesar, yakni 3,32 persen, akibat harga batubara yang terus menurun dan melambatnya permintaan ekspor.
Angka itu lebih dalam dibandingkan dengan ekonomi nasional yang tumbuh negatif 5,32 persen. Angka minus Kalimantan Timur sangat dalam dibandingkan dengan provinsi lain di Kalimantan. Pada triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi Kalteng minus 3,15 persen, Kalsel minus 2,61 persen, Kaltara minus 3,35 persen, dan Kalbar minus 3,40 persen.
Menurut Badan Pusat Statistik Kaltim, struktur perekonomian Kaltim didominasi sektor pertambangan dan penggalian sekitar 44,18 persen. Sektor itu sangat bergantung pada perekonomian global karena batubara, minyak, dan gas bumi di Kaltim diekspor ke sejumlah negara.
Selama pandemi Covid-19, beberapa negara tujuan ekspor mengambil kebijakan lockdown sehingga berdampak pada kuota ekspor dan permintaan batubara. Menurut Badan Pusat Statistik Kaltim, nilai ekspor di Kaltim sampai Juni mengalami penurunan 16 persen. Adapun harga acuan batubara terus mengalami penurunan dari 67 dollar AS per metrik ton menjadi 52,98 dollar AS per metrik ton pada Juni.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Samarinda, Aji Sofyan Effendi, mengatakan, pandemi Covid-19 ini hanya menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi Kaltim yang minus. Menurut dia, perekonomian Kaltim memang tidak sehat karena didominasi industri ekstraktif minyak, gas bumi, dan batubara. Menurut dia, sangat wajar perekonomian Kaltim terpukul jika terjadi kontraksi perekonomian global karena Kaltim bergantung pada ekspor.
Mengutip teori ekonomi makro, Y=C+I+G+X-M, perekonomian suatu wilayah (Y) dibentuk dari penjumlahan konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), dan ekspor (X) dikurangi impor (M). Angka impor yang lebih besar dari ekspor menunjukkan defisit neraca perdagangan. Pada masa pandemi, investasi di Kaltim juga melemah.
”Langkah yang bisa diambil saat ini, satu-satunya jalan adalah meningkatkan konsumsi dan meningkatkan belanja langsung pemerintah. Kemudian, melakukan rehabilitasi terapi dengan pemberdayaan masyarakat di akar rumput, seperti UMKM,” kata Aji ketika dihubungi, Senin (10/8/2020).
Hal itu bisa dilaksanakan melalui pencairan dana bantuan yang sudah diprogram oleh pemerintah, seperti bantuan langsung tunai. Aji mengatakan, dalam penyaluran itu, pendataan dan penyaluran bantuan yang tepat sasaran diperlukan sehingga terjadi peningkatan konsumsi masyarakat.
Untuk jangka menengah dan panjang, Kaltim perlu serius menata struktur perekonomian yang berkelanjutan. Menurut Aji, konsep yang berhubungan dengan industri hilir di Kaltim hanya sebatas konsep, tetapi belum terlaksana dengan baik.
Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans-Kalimantan, Kawasan Industri Kariangau di Balikpapan, dan Kawasan Ekonomi Buluminung yang disiapkan untuk industri hilir sumber daya alam belum membantu perekonomian Kaltim saat ini.
Menurut dia, untuk selanjutnya, Kaltim perlu memperkuat sektor ekonomi lain yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan dari hulu ke hilir. ”Membangun agrobisnis dan agroindustri bukan dalam jangka panjang, tetapi jangka menengah. Sektor itu yang saat ini menjadi primadona dan lebih akrab dengan lingkungan,” kata Aji.
Membangun agrobisnis dan agroindustri bukan dalam jangka panjang, melainkan jangka menengah. Sektor itu yang saat ini jadi primadona dan lebih akrab dengan lingkungan.
Sektor agrobisnis dan agroindustri, menurut dia, mendesak digarap dari hulu ke hilir karena bisa membangun ketahanan pangan. Selain itu, peningkatan nilai tambah di sektor itu dapat menyerap tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan.
PHK
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan per 29 Juli 2020, pandemi Covid-19 membuat Kaltim berada pada posisi kelima provinsi dengan jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja paling banyak di Indonesia. Hal ini perlu diantisipasi untuk mencegah bertambahnya angka PHK dan kemungkinan terburuk, yakni PHK massal.
Hingga akhir Juli, orang yang terkena PHK di Kaltim berjumlah 22.043 orang, di bawah DKI Jakarta pada posisi keempat dengan jumlah 39.868 orang yang dikenai PHK. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kaltim Tutuk SH Cahyono mengatakan, akan memperkuat sinergi antara BI, pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan pihak-pihak lain untuk mendorong sektor riil agar perekonomian dapat segera pulih.
”Injeksi likuiditas BI mencapai Rp 633,2 triliun hingga 16 Juli. BI juga berkomitmen melakukan pendanaan APBN dan berbagi beban untuk mempercepat pemulihan UMKM dan korporasi,” kata Tutuk.
Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim M Sa’bani mengatakan, ada tiga langkah yang disiapkan oleh Pemerintah Provinsi Kaltim untuk pemulihan ekonomi dalam jangka pendek. Pertama, penyerapan APBD dalam bentuk stimulus akan digenjot dan diupayakan tepat sasaran.
”Paling tidak, ada stimulus perekonomian di Kaltim dari APBD provinsi dan kabupaten/kota. Kita akan percepat realisasi penyerapannya yang saat ini masih kurang dari 40 persen,” katanya.
Kedua, dengan adanya pelonggaran kegiatan di Indonesia dan negara lain, kemungkinan permintaan batubara dari luar negeri akan meningkat pada triwulan III dan IV dibandingkan dengan triwulan II-2020. Hal itu diharapkan meningkatkan produksi sehingga ada penyerapan tenaga kerja di sektor batubara yang menyokong perekonomian Kaltim.
Sementara langkah ketiga adalah mendorong percepatan pemulihan UMKM dari program APBD ataupun perbankan. Ketiga hal itu diharapkan menopang perekonomian Kaltim, baik meningkatkan konsumsi rumah tangga maupun menjaga daya beli masyarakat.
Dalam jangka panjang, Pemprov Kaltim menyiapkan transformasi perekonomian di sektor perkebunan, pertanian, dan pariwisata untuk menopang ekonomi Kaltim. Dalam Rencana Strategis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kaltim 2019-2023, Kaltim memiliki rencana mewujudkan kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.
Hal itu diwujudkan dengan hilirisasi hasil pengolahan sumber daya alam. Peningkatan realisasi nilai investasi di sektor industri pengolahan akan diperluas untuk membuka lapangan kerja baru di sektor industri hilir. Pengembangan itu direncanakan melingkupi industri pertambangan, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan pertanian.
”Kita juga sudah ada prospek mengembangkan hilirisasi batubara kalori rendah menjadi metanol. Baru ada satu rencana investasi yang masuk di Kutai Timur. Mereka sedang menyiapkan studi kelayakannya,” kata Sa’bani.