Malaysia Bertingkah Agresif di Natuna, Nelayan Lokal Jadi Bulan-bulanan
Nelayan di Natuna mengeluhkan tingkah penjaga pantai Malaysia yang semakin agresif di perairan perbatasan. Nelayan lokal sering mengalami ikannya dirampas, bahan bakarnya dibuang, kapal disita, awak kapal ditahan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, mengeluhkan tingkah penjaga pantai Malaysia yang semakin agresif di perairan perbatasan. Nelayan lokal sering mengalami ikannya dirampas, bahan bakarnya dibuang, kapal disita, bahkan awak kapal ditahan.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Jumat (21/8/2020), mengatakan, dalam sepuluh hari belakangan, dua kali nelayan lokal dihalangi oleh penjaga laut negara tetangga, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (MMEA), ketika sedang menangkap ikan di perairan timur laut Pulau Subi.
”Sudah dilaporkan ke aparat, tetapi mereka malah suruh kami jangan pergi jauh-jauh. Masak begitu tanggapannya,” kata Hendri melalui telepon dari Natuna.
Nelayan asal Kabupaten Bintan, Apri (34), menuturkan baru saja disergap sebuah kapal patroli MMEA pada Sabtu (15/8/2020). Sekitar pukul 14.00, Apri dan empat kawannya sedang menangkap ikan dengan dua kapal kayu kecil (pompong) di perairan timur laut Pulau Subi.
”Kami enggak lari waktu mereka (MMEA) datang, terus disuruh merapat. Ikan kami diambil semua, waktu itu ada sekitar 100 kilogram ikan karang,” ujar Apri.
Menurut dia, tingkah agresif MMEA di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia itu baru terjadi satu bulan belakangan. Penjaga pantai Malaysia sering merampas ikan dan membuang bahan bakar nelayan Indonesia.
”Sepuluh hari yang lewat, tiga pompong teman kami juga kena. Dua pompong ikannya diambil dan bahan bakarnya dibuang ke laut. Lalu satu pompong fiber yang besar, 20 gros ton, dibawa ke Serawak,” ucap Apri. Tiga awak kapal juga ditahan.
Apri mengatakan, untuk sementara, dirinya akan berpindah wilayah tangkap ke Laut Natuna Utara karena takut bertemu kapal patroli MMEA. Namun, di Laut Natuna Utara juga tidak sepenuhnya aman. Sudah sering nelayan lokal harus melarikan diri karena dikejar kapal-kapal pukat besar berbendera asing yang menangkap ikan secara ilegal.
”Kami ada rencana beberapa hari lagi mau kumpulkan 10 pompong untuk berangkat ke perairan timur laut Pulau Subi lagi. Kami mau tunggu (MMEA) berani enggak mereka kalau kami beramai-ramai,” kata Apri.
Data sistem posisi global (GPS) yang diberikan para nelayan menunjukkan lokasi kejadian berada di 4 derajat lintang utara dan 110 derajat bujur timur. Perairan yang merupakan tapal batas negara itu merupakan wilayah abu-abu yang masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia.
Perairan yang merupakan tapal batas negara itu merupakan wilayah abu-abu yang masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim mengatakan, penegakan hukum di wilayah sengketa seharusnya mengacu kepada Nota Kesepahaman (MoU) tentang Pedoman Umum Perlakuan terhadap Nelayan oleh Badan Hukum Maritim yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia di Bali pada 27 Januari 2011.
Ia menjelaskan, berdasarkan MoU tersebut, MMEA di Malaysia dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Indonesia hanya boleh mengusir nelayan yang dianggap melanggar tapal batas. Penangkapan baru boleh dilakukan jika ditemukan ada pelanggaran pidana lain, misalnya penyelundupan narkoba dan perdagangan manusia.
Lewat pernyataan tertulis, Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia mengatakan, lokasi penangkapan kapal nelayan di timur laut Pulau Subi berada di klaim unilateral zona ekonomi eksklusif (ZEE). Batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia yang sudah selesai dirundingkan baru landas kontinen sehingga saat ini memang masih ada tumpang tindih klaim di lokasi tersebut.
Aan menyarankan agar nelayan tradisional melapor ke Bakamla sebelum berangkat menangkap ikan di perairan yang terdapat tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Malaysia. Selanjutnya Bakamla akan mengoordinasikan hal itu kepada aparat di Malaysia untuk menghindari penangkapan.
Sementara itu, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono mengatakan, pihaknya telah menghubungi dan bernegosiasi dengan perwakilan aparat di Malaysia. ”Sudah dibebaskan, tinggal tunggu pemulangan saja,” katanya melalui pesan Whatsapp terkait penahanan awak kapal nelayan di perairan timur laut Pulau Subi yang dilakukan Malaysia.
Pada 8 Juni lalu, KKP juga membebaskan 29 nelayan Indonesia yang ditahan oleh MMEA. Mereka adalah awak Kapal Motor (KM) Milenium, KM Laut Indah 8, dan satu kapal kecil yang tidak bernama. Pada 4 Juni, para nelayan ditangkap penjaga pantai Malaysia karena dianggap melanggar tapal batas perairan di sekitar Pulau Jarak, Selat Malaka, yang juga masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia.