Festival Lima Gunung Ke-19 digelar di Studio Mendut, Kecamatan Magelang, Jawa Tengah, dengan penuh kesederhanaan, Sabtu (22/8/2020). Dengan jumlah tamu terbatas, acara dimeriahkan dengan nasi putih dan kerupuk.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Banyak cara untuk melakukan selebrasi, dan pada Minggu (22/8/2020), para seniman pun menempuh upayanya sendiri. Tanpa ingar bingar berlebih, dan ragam hiasan dekorasi beraneka bentuk, Festival Lima Gunung Ke-19 di Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, cukup ”dimeriahkan” dengan tumpeng nasi putih dan kerupuk.
Kerupuk memang satu-satunya yang ditawarkan sebagai lauk. Namun, pemilik Studio Mendut, Sutanto Mendut, tetap mencoba menggugah selera dengan terus berbisik kepada para tamu yang datang mengambil hidangan.
”Nasinya pulen, lho. Sumpah!” ujarnya.
FLG adalah kegiatan tahunan dari Komunitas Lima Gunung (KLG). Adapun KLG adalah komunitas seniman dari lima gunung dan bukit, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan perbukitan Menoreh. Menginjak tahun ke-19 penyelenggaraannya tahun ini, di tengah pandemi Covid-19, FLG tetap dijadwalkan berjalan dengan berpindah-pindah lokasi dengan pelaksanaan mengacu pada standar protokol kesehatan.
Sejak dahulu, FLG memang selalu dilakukan sederhana, tanpa dukungan dana sponsor. Semua murni dari iuran seniman dan merupakan uang hasil keringat mereka yang sehari-hari juga bekerja sebagai petani.
Namun, semua hal tersebut sama sekali tidak pernah dipersoalkan karena siapa pun sebenarnya bisa tutut terlibat sebagai sponsor dalam FLG.
”Karena sponsor itu tidak melulu berarti menyumbang uang. Setiap orang juga bisa membantu memberikan dukungan dan berdoa membantu meminta dukungan dari Tuhan,” ujarnya.
Selebrasi FLG, Sabtu (22/8/2020), hanya memakai uang Rp 80.000 iuran dari empat anak muda anggota KLG. Nilai nominal, menurut Sutanto, semestinya tidak menjadi acuan untuk sebuah perayaan. Hal ini pernah diajarkannya saat menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
”Saya pernah mengajak mahasiswa di sana untuk membuat perayaan dengan Rp 15.000. Uang itu kemudian dipakai untuk membeli gula merah yang dipotong, dibungkus seperti permen, dan dibagikan kepada orang banyak,” ujarnya.
Saya pernah mengajak mahasiswa di sana untuk membuat perayaan dengan Rp 15.000. Uang itu kemudian dipakai untuk membeli gula merah yang dipotong, dibungkus seperti permen, dan dibagikan kepada orang banyak.
Tidak hanya dari sisi konsumsi, kesederhanaan juga terdapat pada kostum yang dipakai para seniman yang tampil, termasuk seniman tamu dari Ekuador, Cristina Duque, dan seniman tari asal Sidney, Australia, Brett Elliot. Duque tampil dalam pentas tari bertajuk Una Sangre atau Satu Darah hanya dengan mengenakan kain melilit badan dan celana panjang, sedangkan Elliot tampil dengan celana panjang dan bertelanjang dada.
Nabilla Rifany, penari asal Kota Magelang, yang menjadi host FLG, ikut menari mendampingi Elliot tanpa mengganti bajunya dengan kostum tari. Masih mengenakan overall yang dikenakannya sejak awal acara, dia hanya mempercantik penampilan dengan mengenakan selembar kain panjang yang menutup kepala hingga pinggang serta mengenakan topeng.
Terbiasa sederhana dalam berbagai aspek, FLG kali ini bahkan juga makin ”disederhanakan” lagi karena terhadang oleh berbagai aturan sesuai protokol kesehatan. Tidak bebas dihadiri oleh ribuan tamu, pengunjung yang hadir benar-benar dibatasi hanya sebatas tamu undangan saja.
Sejumlah hal yang kelihatan berbeda dan menonjol hanyalah patung-patung koleksi Sutanto Mendut yang kali ini hampir semuanya dipajang dengan memakai masker. Selain itu, tempelan lembaran kertas pada bangku dan kursi untuk tamu yang memberi tanda peringatan bagi siapa pun untuk duduk dengan selalu menjaga jarak satu sama lain.
Singgih Arif Kusnadi dari panitia FLG Ke-19 mengatakan, tidak ada sesuatu yang muluk dan dilakukan secara berlebihan dalam pelaksanaan FLG. Semua seniman penampil dari luar negeri yang tampil pada hari itu menawarkan diri, tanpa panitia FLG perlu mencari-cari. Setelah para seniman menghubungi mereka dan menjelaskan pentas yang akan ditampilkan, para seniman KLG, termasuk panitia FLG, tidak membutuhkan waktu lama untuk berdiskusi atau melakukan persiapan.
”Tidak ada rapat panjang lebar ataupun geladi resik. Kami hanya melakukan diskusi internal selama 10 menit, menentukan lokasi tepat untuk pentas, dan selanjutnya para seniman penampil langsung bisa kita lihat penampilannya hari ini (Sabtu (22/8/2020),” ujarnya.
Duque tampil sendirian menari di tepi Sungai Pabelan di halaman belakang Studio Mendut. Adapun Elliot memutuskan tampil bersama seniman pemusik dari Pati serta Nabila pada Sabtu pagi itu juga. Setelah bertemu dan bercakap-cakap selama sekitar lima menit, mereka pun menampilkan tari topeng dan api dalam durasi waktu kurang dari setengah jam.
Tidak ada rapat panjang lebar ataupun geladi resik. Kami hanya melakukan diskusi internal selama 10 menit, menentukan lokasi tepat untuk pentas, dan selanjutnya para seniman penampil langsung beraksi.
Hari Atmoko, jurnalis sekaligus anggota KLG, mengatakan, FLG memang bisa digelar dengan santai semacam itu. ”Siapa pun yang menari bisa saja langsung tampil, saat ini juga,” ujarnya sembari tertawa.
Saat ini, banyak seniman dari sejumlah daerah sudah mulai mengontak panitia FLG dan menyatakan keinginannya untuk ikut tampil dalam FLG Ke-19. Jika ingin mengapresiasi para seniman tersebut, nantinya akan ada banyak agenda FLG yang diselenggarakan hingga akhir tahun.
Budayawan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Yusuf Chudlori, mengatakan, dirinya sangat mengapresiasi upaya KLG untuk terus beraktivitas menggelar pentas kesenian. Semangat inilah, menurut dia, yang harus tetap dijaga di tengah pandemi.
”Jangan sampai semua terfokus pada pandemi sehingga, ketika wabah selesai, kesenian juga bubar. Jangan sampai, ketika pandemi berakhir, nilai tradisi masyarakat juga mendadak hilang begitu saja,” ujarnya.
Kemeriahan hari itu memang tidak bergantung pada nilai nominal. Kegembiraan untuk melangsungkan tradisi seni terbukti bisa dilakukan dengan nasi putih dan kerupuk.
Semua gembira dan antusias menonton pertunjukan. Di tengah kemeriahan dengan jumlah tamu terbatas, kurang dari 100 orang, sesuai protokol kesehatan, semua yang hadir bersukacita merayakan hari dengan harapan baik. Semoga virus korona baru pemicu wabah Covid-19 cuma menempel sesaat di kaki dan lekas pergi....