Juru bicara Satgas Covid-19 pusat mengumumkan Kota Semarang, sebagai kota/kabupaten dengan kasus aktif tertinggi, yakni 2.317 kasus. Namun, data Pemkot Semarang menunjukkan kasus aktif 489. Ada perbedaan 1.828 kasus.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Satuan Tugas Covid-19 pusat mengumumkan Kota Semarang, Jawa Tengah, sebagai kota/kabupaten dengan kasus aktif tertinggi, yakni 2.317 kasus per Senin (31/8/2020). Angka itu berbeda jauh dengan data yang dimiliki Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Provinsi Jateng. Sebelumnya, perbedaan data antara pusat dan Jateng juga pernah disorot.
Juru bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito, melalui konferensi pers yang disiarkan melalui Youtube, Senin, menuturkan, ada sembilan kabupaten/kota dengan kasus aktif di atas 1.000. ”Yang tertinggi adalah Kota Semarang, yaitu 2.317 (kasus aktif),” ujar Wiku.
Setelah Kota Semarang, ada Jakarta Pusat (1.916), Kota Medan (1.432), Kota Surabaya (1.355), Jakarta Selatan (1.338), Jakarta Timur (1.327), Jakarta Utara (1.276). Kota Makassar (1.209), dan Jakarta Barat (1.135). Wiku berharap hal itu menjadi perhatian kepala daerah, dinas kesehatan, dan masyarakat setempat.
Namun, data itu jauh beda dengan data pada laman informasi Covid-19 Pemkot Semarang, Senin (31/8/2020), yang menunjukkan ada 489 kasus aktif dan 143 kasus di antaranya merupakan warga ber-KTP luar Kota Semarang. Artinya, ada perbedaan 1.828 kasus. Adapun data Pemprov Jateng adalah 678 kasus aktif di Kota Semarang.
Berdasarkan pantauan Kompas pada laman informasi Covid-19 Pemkot Semarang, dalam sepekan terakhir, jumlah kasus aktif atau dirawat/isolasi di Kota Semarang berkisar 460-509 kasus.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Abdul Hakam mengatakan, data di laman informasi Covid-19 Kota Semarang sesuai dengan kondisi yang ada. ”Data kami lebih real-time,” kata Hakam. Ia pun tak tahu kenapa ada perbedaan data signifikan.
”Sudah saya instruksikan kepada tim IT (teknologi informasi) kami untuk segera mengomunikasikan data itu ke pusat data di Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Terkait dengan alur pengiriman data ke Dinas Kesehatan Jateng, Hakam mengatakan, prosesnya sudah satu pintu sejak 1 Juli 2020. Alurnya adalah dari RS/puskesmas kemudian ke Dinkes Kota Semarang, baru ke Dinkes Jateng. Data juga dijembatani ke Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Jateng Yulianto Prabowo juga bingung dengan data yang disampaikan Satgas Covid-19 pusat. ”Kami juga belum tahu kenapa (berbeda jauh) seperti itu,” katanya.
Ketika ditanya alur pengiriman data ke pusat, Yulianto menuturkan bahwa mereka memiliki data sendiri. ”Cuma agak aneh datanya berbeda banget dengan data Kota Semarang,” ucap Yulianto.
Sebelumnya, data Gugus Tugas Covid-19 pusat dan Jateng, terutama terkait dengan kematian Covid-19, juga berbeda signifikan. Data yang ditampilkan Pemprov Jateng bahkan sempat dua kali lipat lebih banyak ketimbang yang disampaikan oleh pusat. Secara perlahan, perbedaan data itu diperbaiki.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, Budiyono, menuturkan, data terkait dengan Covid-19 merupakan milik publik. Dengan demikian, publik berhak tahu dan mendapat penjelasan apabila ada perbedaan atau kejanggalan terkait dengan data yang disampaikan kepada masyarakat.
Data yang valid dan konsisten dibutuhkan masyarakat, juga menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani Covid-19. ”Data itu intinya harus bisa dipercaya, akurat, valid, dan konsisten karena akan dipakai untuk pengambilan keputusan. Data sebagai pendukung pengambilan keputusan,” katanya.
Data itu intinya harus bisa dipercaya, akurat, valid, dan konsisten karena akan dipakai untuk pengambilan keputusan. Data sebagai pendukung pengambilan keputusan. (Budiyono)
Sementara itu, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip, Ari Udijono, menambahkan, ada banyak faktor yang membuat data yang disampaikan berbeda. Namun, idealnya, perbedaan data antara daerah dan pusat harus ditekan serendah mungkin. Komitmen dan kapasitas SDM menjadi hal penting.