Jamin Hak Pendidikan Anak-anak Korban Konflik Tanah Adat Pubabu di NTT
Pemerintah mesti melindungi hak mendapatkan pendidikan bagi anak-anak korban penggusuran permukiman di hutan adat Pubabu, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mereka tidak boleh mendapatkan perlakuan tak adil.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
SOE, KOMPAS — Pemerintah mesti menjamin dan melindungi hak mendapatkan pendidikan bagi anak-anak korban penggusuran permukiman di hutan adat Pubabu, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mereka tidak boleh mendapatkan perlakuan tak adil.
Sebanyak 64 siswa, korban penggusuran Satpol PP Timor Tengah Selatan terhadap permukiman warga di hutan adat Pubabu, Timor Tengah Selatan (TTS) hingga Senin (31/8/2020), belum masuk sekolah karena seragam dan alat tulis rusak saat penggusuran.
Pembongkaran rumah warga Pubabu-Besipae terjadi pada 18 Agustus 2020. Permukiman itu dibangun di atas lahan tanah adat yang jadi sengketa dengan pemerintah setempat. Akibatnya, warga, terdiri dari anak-anak, perempuan, lansia, dan orangtua yang digusur ini, terpaksa tinggal dengan mendirikan tenda di bawah pohon dan mendapatkan makanan secara patungan dari warga sekitar.
Koordinator Masyarakat Korban Penggusuran Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT), Nikolaus Manao di Soe, Senin (31/8/2020), mengatakan, 64 siswa, korban penggusuran Satpol PP Timor Tengah Selatan, belum masuk sekolah karena seragam dan alat tulis rusak saat penggusuran.
Namun, salah seorang anak, yakni Beny Sae (16) siswa kelas dua SMKN 1 Soe, NTT, Senin ini, dipanggil masuk oleh pihak sekolah setelah diskors selama dua pekan lebih tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar.
”Setelah kasus ini viral di media sosial, pihak sekolah datang menjemput Beny Sae kembali ke sekolah. Hari ini, Senin, 31 Agustus 2020, ia masuk sekolah lagi. Kami izinkan dia ke sekolah demi masa depan anak,” kata Manao.
Manao mengungkapkan, sebelumnya, selama 17 hari, Beny diskors pihak sekolah karena orangtuanya terlibat aksi penolakan penguasaan lahan oleh Pemprov NTT. Korban selama 17 hari berada di tenda darurat bersama orangtuanya dan korban penggusuran lain.
Selain Beny, masih ada sekitar 64 anak sekolah, terdiri dari 13 anak pendidikan anak usia dini (PAUD), 32 siswa SD, 11 siswa SMP, dan 8 SMA, atau sederajat yang belum ke sekolah. Seragam sekolah, alat-alat tulis, dan tas sekolah dibawa petugas satpol PP saat penggusuran rumah dan belum dikembalikan.
Para orangtua tidak punya uang untuk belanja semua keperluan sekolah. Mereka juga sedang berada di tenda pengungsian setelah rumahnya digusur, Selasa (18/8/2020). Kini, 130 korban penggusuran berada di dalam tenda bantuan dari salah satu LSM.
Bahkan, ijazah wisuda sebanyak 13 anak peserta PAUD ditahan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Timor Tengah Selatan (TTS) setelah pendamping PAUD yang mendidik mereka terlibat aksi penolakan pengambilalihan lahan Pubabu oleh Pemprov NTT. Penahanan ijazah PAUD ini dengan alasan pengelola PAUD bertindak tidak sopan terhadap pemda dalam aksi mempertahankan hutan adat Pubabu, seluas 3.780 hektar itu.
Esther Selan (43), pendiri PAUD Linamnutu yang membina anak-anak PAUD di dalam kawasan hutan adat Pubabu, mengatakan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan TTS menahan ijazah 13 siswa PAUD sehingga mereka tidak bisa mengikuti wisuda. Jadwal wisuda seharusnya dilaksanakan 15 Agustus 2020, tetapi dibatalkan karena ijazah belum ada di tangan pengelola.
”Alasannya karena saya sebagai pengelola PAUD berjuang melawan pemerintah dalam mempertahankan hutan adat ini. Kami ini bagian dari NKRI atau tidak. Kalau kami adalah warga NKRI, apa yang menjadi hak kami harus diakomodasi pemerintah. Kami tidak mengemis dari pemerintah soal hutan adat ini. Hutan ini warisan nenek moyang dulu kala yang harus kami jaga. Mengapa pemerintah mau ambil alih. Masuk akal atau tidak,” kata Esther.
Membantah
Meski demikian, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Timor Tengah Selatan Edyson Sipa membantah ada upaya menghambat anak-anak masyarakat adat Pubabu mendapatkan hak pendidikan dengan alasan orangtua mereka memperjuangkan hak tanah adat. Dalam kasus Benny Sae, skors yang diberikan pihak sekolah karena siswa bersangkutan tidak mengerjakan tugas-tugas dari guru di SMKN 1 Soe.
"Sanksi sudah selesai sehingga anak itu bisa masuk sekolah lagi hari ini (Senin). Jadi, sanksi tak ada kaitan dengan kasus hutan adat Pubabu. Sekolah punya cara dan kewenangan memberi sanksi kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas tugas sekolah," kata Edyson.
Ia juga membantah penahanan ijazah wisuda 13 siswa PAUD. Ijazah itu masih dalam proses percetakan sehingga belum bisa diserahkan ke pengelola PAUD.
Sementara itu, Kuasa Hukum Masyarakat Adat Pubabu Akhmad Bumi dari Firma Hukum ABP mengatakan, tindakan-tindakan yang dilakukan Pemda terhadap masyarakat adat Pubabu di luar batas-batas kewajaran. Setelah rumah tinggal dari 27 keluarga digusur tanpa kompromi, anak-anak korban penggusuran pun diperlakukan tidak adil.
Pemda semestinya tidak boleh memperlakukan anak-anak sekolah secara tidak adil hanya karena orangtua mereka berjuang mempertahankan hutan adat. Mereka adalah generasi muda NTT, yang perlu dipersiapkan sumber daya dan karakter mereka demi masa depan NTT.
Sikap pemda seperti membunuh karakter dan masa depan anak-anak Pubabu. Tindakan ini akan diingat dan dikenang anak-anak dan suatu ketika mereka akan membalas dendam.
Bahkan, menurut Akhmad, kebutuhan lain, seperti perkakas dapur, stok makanan di dalam rumah, dan kebutuhan lain yang ditemukan petugas satpol PP, juga ikut dibawa. Penggusuran dan pengambilan paksa barang-barang kebutuhan masyarakat adat ini dengan tujuan agar mereka segera keluar dari kawasan hutan adat itu.
”Pemerintah pusat harus hadir di Pubabu, jangan biarkan pemda secara sepihak memperlakukan masyarakat adat dengan sewenang-wenang hanya karena pemda ingin menguasai lahan itu. Pemda juga bagian dari pemerintah, tetapi kalau mereka bekerja tidak sesuai aturan, pusat harus turun tangan langsung untuk memperbaiki citra pemerintah di mata masyarakat,” kata Akhmad.
Sebelumnya, Kepala Badan Aset dan Pengelolaan Daerah NTT Zet Sony Libing membantah telah terjadi intimidasi dan teror terhadap masyarakat, terutama ibu-ibu dan anak-anak, di Pubabu-Besipae. Yang terjadi adalah kelompok remaja dan anak-anak itu tidur, duduk, dan menangis di tanah saat hendak dipindahkan ke rumah milik pemda yang sudah dilengkapi listrik oleh aparat keamanan dan satpol PP.
”Saya tegaskan lagi, tidak ada teror dan intimidasi terhadap warga Pubabu-Besipae oleh Brimob, polisi, dan satpol PP. Kami melakukan pemindahan warga secara persuasif dan koordinatif. Saat dievakuasi, warga tetap duduk di tanah kemudian menangis dan membanting badan di tanah,” kata Libing. Pengosongan lahan itu untuk pengembangan budidaya kelor, ternak, dan pakan ternak oleh Pemprov NTT.