DPRD: Perencanaan Anggaran Buruk Sulitkan Batam Gelar Tes PCR Massal
Pemkot Batam berkukuh tidak akan melakukan tes PCR massal karena akan menghabiskan biaya terlalu besar. Hal itu dikritik DPRD Kota Batam yang menilai, hal itu akibat buruknya perancangan anggaran Pemkot Batam.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pemerintah Kota Batam, Kepulauan Riau, berkukuh tidak akan melakukan tes metode reaksi berantai polimerase atau PCR massal karena akan menghabiskan biaya terlalu besar. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam menilai, perancangan anggaran yang buruk menjadi penyebab utama hal tersebut.
Ketua DPRD Kota Batam Nuryanto, Kamis (3/9/2020), mengatakan, anggaran penanganan Covid-19 di Kota Batam dialokasikan sebesar Rp 268 miliar. Dari jumlah itu, Rp 180 miliar dialokasikan untuk membeli sembako sebagai jaring pengaman sosial dan sebesar Rp 88 miliar sisanya untuk penanganan aspek kesehatan.
”Anggaran untuk penanganan aspek kesehatan memang sudah banyak terpakai. Namun, anggaran untuk jaring pengaman sosial baru terpakai setengahnya atau sekitar Rp 90 miliar,” kata Nuryanto.
Sebelumnya, Wakil Wali Kota Batam Amsakar Achmad, Rabu (2/9/2020), mengatakan, anggaran yang dibutuhkan untuk melakukan tes PCR massal kepada 1,3 juta penduduk Batam akan luar biasa besar. Ia menyarankan, warga yang terbilang mampu secara ekonomi untuk melakukan tes PCR mandiri saja di rumah sakit.
Terkait pernyataan itu, Nuryanto merasa heran. ”Kalau dibilang kurang (anggaran), sebetulnya kurangnya berapa? Yang mengajukan anggaran, kan, Pemkot Batam sendiri. Sekarang yang harus dipertanyakan adalah perencanaan dan antisipasi mereka dalam merancang anggaran untuk menghadapi pandemi,” katanya.
Desakan kepada Pemkot Batam untuk segera melakukan tes PCR massal menguat setelah 86 tenaga kesehatan dan pekerja di 6 puskesmas, 2 rumah sakit, serta 1 laboratorium dinyatakan positif terjangkit Covid-19. Diduga kuat, mereka terpapar saat menangani pasien tanpa gejala atau asimtomatik.
Kepala Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Kelas I Batam Budi Santosa mengatakan, sekitar 80 persen dari 422 kasus positif yang ditemukan sepanjang Agustus adalah orang tanpa gejala. Hal ini sangat gawat karena penularan kini banyak terjadi dari orang yang secara kasat mata tampak sehat.
Ia menuturkan, BTKLPP masih mengandalkan dua real time PCR Bio-Rad CFX-9 sumbangan dari Singapura yang diberikan pada pertengahan April lalu. Kapasitas maksimal dua alat itu adalah 186 sampel per hari. Jumlah analis yang bertugas menguji sampel sebanyak 15 orang. Padahal, minimal dibutuhkan 22 analis agar pemeriksaan bisa selesai dalam sehari.
Sekitar 80 persen dari 422 kasus positif yang ditemukan sepanjang Agustus adalah orang tanpa gejala.
Sepekan terakhir, jumlah sampel yang dikirim ke BTKLPP melonjak hingga 500 spesimen per hari. Sekali beroperasi, dua alat PCR itu butuh tujuh jam untuk menguji 186 sampel. Jika sampel yang harus diperiksa lebih dari kapasitas itu, alat tersebut perlu dioperasikan berulang kali. Kini, akibatnya, tujuh hari dalam sepekan, para analis harus lembur hingga pukul 22.00.
Selain APBD, dana penanganan Covid-19 di Batam juga berasal dari Badan Pengusahaan Batam sebesar Rp 180 miliar, sumbangan pengusaha sekitar Rp 20 miliar, dan hibah Pemerintah Provinsi Kepri Rp 2 miliar. ”Dibanding daerah lain di Kepri, seharusnya Batam lebih siap dan lebih cukup,” kata Nuryanto.
Sementara itu, Gubernur Kepulauan Riau Isdianto khawatir melihat kasus positif di Batam yang hingga 2 September jumlahnya mencapai 761 pasien. Ia meminta gugus tugas provinsi ikut membantu pelacakan kontak para pasien positif untuk mencegah penularan semakin meluas.
”Dalam waktu dekat, kami akan beli alat PCR portabel supaya petugas bisa mendatangi rumah-rumah warga agar bisa segera diketahui sebetulnya berapa banyak yang positif Covid-19,” kata Isdianto.