Bobolnya Pertahanan Berlapis Pekerja Kesehatan di Yogyakarta
Ratusan pekerja kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta terpapar Covid-19. Ibarat perang, perlu strategi matang mencegah tenaga kesehatan sebagai tentara di garis depan peperangan di masa pandemi tidak bertumbangan.
Berada di garis depan penanganan penyakit menular Covid-19, para pekerja bidang kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta masih berada di posisi rentan. Selama enam bulan pandemi, ratusan tenaga kesehatan terpapar Covid-19. Situasi yang membuat cemas di tengah angka kasus yang terus bertambah.
Pandemi Covid-19 di DIY hampir berlangsung selama enam bulan jika dihitung berdasarkan pengumuman kasus positif pertama di provinsi itu pada 15 Maret 2020. Hingga Rabu (2/9/2020), jumlah pasien positif Covid-19 di DIY mencapai 1.474 kasus. Dari jumlah tersebut, 1.061 orang di antaranya sembuh dan 41 orang meninggal.
Sebagian pasien positif Covid-19 di DIY itu merupakan tenaga kesehatan. Namun, sampai saat ini, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY tidak memublikasikan data berapa banyak tenaga kesehatan di DIY yang terinfeksi Covid-19. Sebab, dalam laporan harian kasus Covid-19 yang disampaikan Pemda DIY, tidak ada data spesifik tentang tenaga kesehatan yang dinyatakan positif.
Dalam laporan harian itu, Pemda DIY memilih menggunakan istilah ”karyawan kesehatan” untuk menyebut seluruh pekerja yang bekerja di bidang kesehatan. Istilah tersebut berbeda dengan istilah tenaga kesehatan yang umum dikenal masyarakat. Apalagi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan juga memberi definisi khusus mengenai tenaga kesehatan.
Baca juga: Menyoal Bias Penetapan Pasien Negatif Korona di Yogyakarta
Menurut UU itu, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan melakukan upaya kesehatan. UU itu juga menyebut beberapa jenis tenaga kesehatan, seperti dokter, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, fisioterapis, dan lainnya.
Sementara itu, istilah karyawan kesehatan yang disebut Pemda DIY mencakup beberapa kelompok. Pertama, tenaga kesehatan seperti yang disebut UU No 36 Tahun 2014. Kedua, pekerja di fasilitas kesehatan yang tak tergolong tenaga kesehatan, misalnya staf administrasi, satpam, sopir, dan lainnya. Dan yang ketiga, karyawan atau pegawai di dinas kesehatan. Dalam tulisan ini, istilah karyawan kesehatan dipadankan dengan istilah pekerja kesehatan.
Baca juga: Jejak Sengkarut Data Korona di Yogyakarta
Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, mengatakan, hingga Senin (24/8/2020), ada sekitar 8.000 karyawan kesehatan di DIY yang sudah menjalani swab atau tes usap. Dari jumlah itu, dia menyebut, sekitar dua persen di antaranya terkonfirmasi positif Covid-19. Artinya, ada sekitar 160 orang karyawan atau pekerja kesehatan di DIY yang terkonfirmasi positif.
Sejak beberapa bulan lalu, dinas kesehatan kabupaten/kota di DIY memang melakukan swab massal kepada para pekerja di fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Tes usap massal ini dilakukan karena mereka dinilai mempunyai risiko tinggi tertular Covid-19. “Untuk puskesmas sudah selesai (swab massal), sedangkan yang rumah sakit masih berlangsung,” ucap Berty.
Namun, data yang disebut Berty itu ternyata berbeda dengan data yang dikumpulkan Kompas dari laporan harian Pemda DIY serta pernyataan beberapa narasumber. Selama ini, Pemda DIY memang memberikan laporan harian kasus Covid-19 melalui beberapa kanal, termasuk grup WhatsApp yang beranggotakan para jurnalis di Yogyakarta. Dalam laporan harian itu, tercantum keterangan riwayat pasien positif Covid-19, termasuk jika sang pasien berstatus sebagai karyawan atau pekerja kesehatan.
Berdasarkan data tersebut, sedikitnya ada 304 orang pekerja kesehatan di DIY yang terinfeksi Covid-19 pada periode 15 Maret sampai 2 September 2020. Jumlah itu mencakup sekitar 20,6 persen dari total pasien positif Covid-19 di DIY.
Baca juga: DIY Catat Rekor Kasus Baru, Pekerja Fasilitas Kesehatan Mendominasi
Sebanyak 304 orang itu terdiri dari tiga kelompok. Pertama, tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, atau bidan. Kedua, pekerja di fasilitas kesehatan yang tak tergolong tenaga kesehatan seperti staf administrasi dan sopir. Ketiga, pegawai di dinas kesehatan. Sebagian pekerja kesehatan yang terinfeksi Covid-19 itu sudah sembuh dan bisa bertugas kembali.
Namun, di antara 304 pekerja kesehatan di DIY yang terpapar Covid-19 itu, sebanyak tiga orang di antaranya meninggal dunia. Salah satu yang meninggal dunia adalah seorang dokter spesialis bedah yang bekerja di salah satu rumah sakit di DIY. Dokter laki-laki berusia 58 tahun itu meninggal pada Minggu (23/8/2020) malam.
Meninggalnya dokter itu menimbulkan dukacita mendalam di berbagai kalangan, terutama di antara para tenaga kesehatan di DIY yang tengah berjuang mati-matian menanggulangi pandemi Covid-19. Kepergian sang dokter juga menambah panjang daftar tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal setelah terinfeksi Covid-19. Hingga Senin (31/8/2020), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut ada 102 dokter yang meninggal sesudah terkonfirmasi positif Covid-19.
Baca juga: Dokter Bedah di Yogyakarta Meninggal Setelah Terkonfirmasi Positif Covid-19
APD berlapis
Banyaknya pekerja kesehatan di DIY yang terinfeksi Covid-19 itu tentu menimbulkan tanda tanya. Apalagi, sebagian pekerja kesehatan yang terinfeksi Covid-19 mengaku sudah menggunakan alat pelindung diri (APD) berlapis-lapis untuk mencegah penularan Covid-19.
Pengakuan itu antara lain disampaikan Siti Mulyani (47), perawat di Puskesmas Kasihan II, Bantul. Siti dinyatakan positif Covid-19 pada 30 Juli 2020 setelah mengikuti swab massal untuk para pegawai di pukesmas tempatnya bekerja.
Menurut Siti, dari 38 petugas Puskesmas Kasihan II yang saat itu mengikuti swab massal, 15 orang di antaranya dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka yang positif Covid-19 itu terdiri dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli gizi, petugas kefarmasian, pegawai tata usaha, dan sopir.
Selama pandemi Covid-19, Siti memang beberapa kali menangani pasien yang kemudian diketahui positif Covid-19. Namun, saat melakukan pelayanan, dia selalu memakai alat pelindung diri (APD) serta menjalankan protokol kesehatan.
Bahkan, Siti menyebut, selama pandemi Covid-19, dirinya selalu menggunakan APD berlapis-lapis saat bertugas di puskesmas. Untuk penutup kepala, misalnya, dia menggunakan handuk ditambah dua lapis kain penutup kepala serta jilbab. Untuk masker, Siti memakai masker kain yang telah dia modifikasi sehingga memiliki tujuh lapisan, lalu ditambah lagi dengan masker medis.
Covid-19 ini penularannya unpredictable (tidak bisa diprediksi). Kalau kita lengah sedikit saja, ya bisa kena (Siti Mulyani)
Selain itu, Siti menggunakan kaca mata google ditambah dengan face shield atau alat pelindung wajah. Untuk pakaian, dia memakai baju pelindung yang dibeli secara khusus dan disebutnya lebih aman dibandingkan baju hazmat biasa. Dia juga mengenakan sarung tangan dua lapis, sepatu boot dan cover shoes (penutup sepatu).
”Kalau menurut kepala puskesmas, saya adalah orang nomor satu yang paling ketat menggunakan APD,” kata Siti. Oleh karena itu, dia merasa terkejut saat dinyatakan positif Covid-19.
Baca juga: Tujuh Pegawai Puskesmas Diisolasi di Bantul
Siti meyakini, dirinya tertular Covid-19 dari puskesmas tempatnya bekerja. Sebab, selama pandemi Covid-19, aktivitasnya hanya berpusat di rumah serta puskesmas tempatnya bekerja.
”Setiap hari, saya ke kantor lalu pulang ke rumah. Tidak pernah ke mana-mana. Jadi, saya yakin saya mendapatkan (tertular) dari tempat kerja,” ujarnya. Apalagi, hasil tes usap anggota keluarga Siti dan pengasuh anak Siti juga negatif Covid-19.
Meski begitu, Siti dan teman-temannya tidak tahu pasti dari siapa mereka tertular penyakit Covid-19. Namun, dia menyebut, ada beberapa kesempatan yang memungkinkan penularan terjadi, misalnya saat hendak memakai dan melepas APD, serta saat makan siang di kantor. ”Covid-19 ini penularannya unpredictable (tidak bisa diprediksi). Kalau kita lengah sedikit saja, ya bisa kena,” tuturnya.
Pengalaman terinfeksi penyakit Covid-19 juga dialami perawat Puskesmas Pundong, Bantul, Sigit Purwanto (43). Sigit dinyatakan positif Covid-19 pada 16 Juli 2020. Beberapa hari sebelumnya, dia mengikuti swab massal yang diselenggarakan Dinkes Bantul untuk para pegawai Puskesmas Pundong.
Berbeda dengan Siti yang yakin tertular saat bekerja di puskesmas, Sigit mengaku tak tahu pasti di mana dia tertular Covid-19. Pasalnya, beberapa pekan sebelum menjalani swab, Sigit sempat bertemu dengan perawat dari puskesmas lain yang kemudian diketahui positif Covid-19. Selain itu, Sigit juga pernah menerima tamu dari Bekasi, Jawa Barat, di rumahnya.
”Jadi, dari mana saya tertular virus itu, saya tidak bisa memastikan,” tutur Sigit yang bekerja sebagai perawat sejak tahun 1998. Namun, Sigit menuturkan, ada juga kemungkinan dia tertular Covid-19 saat bekerja di puskesmas.
Saat memberi pelayanan di puskesmas, Sigit dan teman-temannya memang selalu memakai APD. Namun, dia juga menyebut, salah satu potensi penularan Covid-19 bagi tenaga kesehatan adalah saat melepas APD. ”Yang riskan untuk petugas kesehatan itu biasanya pelepasan baju APD,” katanya.
Sumber penularan
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Bantul, Sri Wahyu Joko Santoso, menjelaskan, ada beberapa jenis sumber penularan Covid-19 di kalangan pekerja kesehatan di Bantul. Dia menyebut, ada pekerja kesehatan yang diduga tertular dari pasien positif Covid-19. Namun, ada juga pekerja kesehatan yang diduga tertular dari anggota keluarganya yang lebih dulu dinyatakan positif Covid-19.
Wahyu menambahkan, ada pula pekerja kesehatan yang tertular Covid-19 setelah melakukan perjalanan ke luar daerah. ”Ada juga yang karena kedatangan tamu dari luar kota. Ada yang kedatangan tamu saat di kantor, ada yang kedatangan tamu di rumahnya,” katanya.
Namun, Wahyu menuturkan, hingga Senin (31/8/2020), tidak ada tenaga kesehatan yang bertugas di ruang isolasi pasien Covid-19 yang dinyatakan positif. ”Untuk tenaga kesehatan yang merawat pasien di ruang isolasi, tidak ada yang positif,” ungkapnya.
Kepala Dinkes Kabupaten Bantul Agus Budi Raharja mengatakan, para tenaga kesehatan memang tergolong orang yang berisiko tinggi tertular Covid-19. Hal ini karena para tenaga kesehatan kerap bertemu dengan pasien yang memiliki kondisi berbeda-beda. Apalagi, saat ini, banyak orang yang terinfeksi Covid-19 tetapi tanpa mengalami gejala apa pun.
”Tenaga kesehatan itu memang punya risiko tinggi karena mereka kan banyak ketemu dengan orang. Kejujuran pasien juga kadang kami belum tahu. Selain itu, tenaga kesehatan kan juga manusia biasa yang bersosialisasi dengan orang lain di rumah, tempat praktik, dan tempat pergaulan lainnya,” kata Agus.
Agus memastikan, Dinkes Bantul telah memenuhi kebutuhan APD untuk para tenaga kesehatan sesuai dengan levelnya. Selain itu, setiap fasilitas kesehatan juga sudah memiliki protokol pencegahan penularan Covid-19, misalnya dengan membuat jalur infeksius untuk membawa pasien yang diduga terinfeksi penyakit tersebut.
”Kami sudah melindungi tenaga kesehatan dengan alat pelindung diri sesuai levelnya. Kemudian kami juga sudah membuat jalur infeksius. Harapannya itu bisa melindungi mereka. Tetapi kan banyak faktor yang menyebabkan penularan Covid-19,” ujar Agus.
Baca juga: Pemerintah Targetkan Penurunan Kasus di Kalangan Tenaga Kesehatan
Agus juga menyebut, salah satu kesempatan yang berisiko membuat tenaga kesehatan tertular Covid-19 adalah saat memakai dan melepas APD. Oleh karena itu, Dinkes Bantul telah melaksanakan bimbingan teknis untuk para tenaga kesehatan mengenai tata cara pemakaian dan pencopotan APD. Hal itu dilakukan agar proses pemakaian dan pencopotan APD benar-benar sesuai dengan prosedur.
”Ini bukan untuk menjustifikasi bahwa ada ketidaktepatan, tapi untuk mengingatkan kembali dan menjamin bahwa prosedur itu dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh teman-teman tenaga kesehatan,” ungkap Agus.
Salah satu kesempatan yang berisiko membuat tenaga kesehatan tertular Covid-19 adalah saat memakai dan melepas APD.
Agus mengatakan, setelah adanya tenaga kesehatan yang positif Covid-19, beberapa puskesmas di Bantul sempat ditutup. Penutupan selama beberapa hari itu antara lain dilakukan untuk melakukan penyemprotan disinfektan ke gedung puskesmas. ”Penutupan itu biasanya dilakukan selama dua hari untuk kepentingan disinfeksi,” katanya.
Selain itu, penutupan puskesmas juga mempertimbangkan kecukupan sumber daya manusia (SDM). Agus menyebut, penutupan puskesmas itu tidak dilakukan secara bersamaan sehingga warga di satu wilayah yang puskesmasnya ditutup bisa mendapat pelayanan di puskesmas lain. ”Kalau puskesmas di satu wilayah ditutup, puskesmas di dekatnya bisa membantu,” katanya.
Kajian dan evaluasi
Ketua IDI DIY Joko Murdiyanto mengatakan, peran tenaga kesehatan dalam penanganan pandemi Covid-19 sangat penting. Oleh karena itu, jika banyak tenaga kesehatan yang terinfeksi Covid-19, upaya penanggulangan pandemi bisa terganggu.
”Kalau dalam konteks peperangan, tenaga kesehatan itu bisa diibaratkan sebagai tentara. Kalau dalam peperangan itu tentara di garis depan banyak yang meninggal, kita bisa kalah dalam perang,” ujar Joko.
Kalau dalam konteks peperangan, tenaga kesehatan itu bisa diibaratkan sebagai tentara. (Joko Murdiyanto)
Joko menuturkan, IDI DIY bersama sejumlah organisasi profesi kesehatan lain sedang melakukan kajian atau penelitian untuk mengetahui penyebab banyaknya tenaga kesehatan di DIY yang terinfeksi positif Covid-19. Dalam penelitian itu, para tenaga kesehatan yang terkonfirmasi positif diminta mengisi survei serta mengikuti wawancara mendalam.
”\'Harapannya, teman-teman tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19 bisa memberikan jawaban yang jujur. Dari penelitian itu, semoga ada jawaban-jawaban atas pertanyaan kenapa tenaga kesehatan di DIY ini kok banyak yang terpapar,” ungkap Joko.
Epidemiolog Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Jakarta, Iqbal Elyazar, menyatakan, bukan hanya tenaga kesehatan, seperti dokter dan perawat, yang memiliki risiko tinggi tertular Covid-19. Dia menyebut, berdasarkan penelitian di sebuah rumah sakit di Inggris, pekerja di fasilitas kesehatan, seperti tenaga administrasi, petugas satpam, resepsionis, bahkan tenaga kebersihan, juga punya risiko tinggi tertular Covid-19.
Iqbal mengatakan, penelitian itu menyebut ada beberapa faktor yang berpotensi meningkatkan risiko penularan Covid-19 di fasilitas kesehatan. Salah satunya adalah tidak adanya pengaturan zonasi ruangan di fasilitas kesehatan sehingga tidak ada jalur keluar masuk khusus pasien terduga Covid-19. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kontak atau interaksi antara pasien terduga Covid-19 dan pasien lain, serta petugas yang tak memakai APD lengkap.
Baca juga: Kematian Pasien Covid-19 Melonjak, Pemprov DIY Mesti Lakukan Audit
Iqbal menambahkan, untuk memetakan faktor risiko pemicu banyaknya pekerja kesehatan di DIY tertular Covid-19, butuh kajian spesifik di wilayah tersebut. Hal ini karena kondisi fasilitas kesehatan di berbagai daerah di Indonesia berbeda satu sama lain. ”Butuh kajian spesifik di setiap wilayah untuk melihat faktor risiko di mana kemungkinan tenaga kesehatan itu tertular,” ujarnya.
Iqbal menuturkan, pelaksanaan protokol kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya dievaluasi. Hal itu dibutuhkan untuk melihat sejauh mana protokol kesehatan telah diterapkan dengan baik di fasilitas kesehatan. Namun, agar hasilnya efektif, evaluasi itu mesti dilakukan oleh pihak independen dan berbasis pada observasi, bukan sekadar wawancara atau survei kepada tenaga kesehatan.
”Protokol kesehatan itu kan sebenarnya sama di semua tempat. Tapi kenapa ada satu lokasi yang kasus positifnya lebih banyak dibandingkan lokasi lain. Oleh karena itu, perlu review terhadap implementasi atau eksekusi protokol kesehatan di kalangan tenaga kesehatan,” ungkap Iqbal.
Pelaksanaan protokol kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya dievaluasi.
Kajian dan evaluasi itu sangat dibutuhkan untuk mencegah meluasnya penularan Covid-19 di kalangan pekerja kesehatan di DIY. Iqbal mengingatkan, banyaknya pekerja kesehatan yang terinfeksi Covid-19 bisa berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan kesehatan. Di DIY, dampak itu antara lain tampak dari penutupan sejumlah puskesmas karena adanya pekerja kesehatan yang terinfeksi Covid-19.
”Kalau semakin banyak tenaga kesehatan yang terkena Covid-19, saya khawatir akan ada penghentian layanan kesehatan,” kata Iqbal.
Ibarat perang, perlu strategi matang dan mungkin mahal untuk mencegah tenaga kesehatan yang menjadi tentara di garis depan peperangan melawan Covid-19 terus bertumbangan. Sebab, melemahnya kekuatan tenaga kesehatan bakal menurunkan resistensi kesehatan masyarakat di masa pandemi.