Jika Memang Cinta, Biarkan Burung-burung Liar Terbang Bebas
Hari pertama dari rangkaian lima hari Operasi Pengamanan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar di Sulawesi Utara berujung pada pengamanan 10 ekor burung dilindungi. Tak jarang petugas harus bernegosiasi dan berdebat.
Raut wajah Joko Nugroho (55) menjadi tegang ketika membaca selembar surat dari dua polisi hutan yang bertandang ke rumahnya. Sejenak pandangannya teralih kepada kakatua jambul kuning di dalam sangkar di halaman rumahnya. Setelah 10 tahun bersama, mungkinkah ini saat berpisah dengan Kaka si kakatua?
”Jadi, bagaimana ini maksudnya?” tanya Joko lagi, seolah tak memahami isi surat yang baru saja dibacanya, Sabtu (5/9/2020), di kediamannya di Mapanget, Manado, Sulawesi Utara. Dengan sopan, Djenly Gawina (54), salah satu polisi hutan, mengulang prolog yang telah ia sampaikan di awal setelah masuk ke ruang tamu rumah Joko.
Intinya, selama ini, tanpa izin, Joko memelihara hewan yang dilindungi pemerintah menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Keberadaan Kaka si kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) bisa dijadikan bukti bahwa Joko melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
”Karena itu, kami harus bawa burung itu untuk direhabilitasi di pusat penyelamatan satwa (PPS), kemudian akan kami lepas liarkan. Kami minta tolong Bapak menandatangani surat berita acara penyerahan,” kata Djenly dengan santun kepada purnawirawan TNI AL itu.
Joko termenung. Ia masuk ke ruang keluarga untuk mengambil rokok, lalu ke luar untuk menyulutnya di halaman. Sambil mengisap rokok, ia berdiri menatap Kaka nanar. Wajahnya menyiratkan sedih dan gundah. Kaka menyahut tuannya, ”Kakatua!”
Yakub Ambagau, seorang kepala seksi konservasi di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, mendekati Joko untuk membujuknya. Joko menjawab, ”Boleh Bapak yang jelaskan kepada anak saya?” Ia pun mengajak Yakub ke ruang keluarganya.
Di situ, anak perempuan Joko menangis sesenggukan. Istri Joko, yang tak kuasa melihat kesedihan putrinya, juga menangis. Yakub pun duduk di hadapan gadis remaja itu, lalu berupaya menghibur dan memberikan pengertian.
”Saya paham, pasti sudah sayang sekali (dengan Kaka). Tetapi, burung itu adalah satwa yang dilindungi karena terancam punah. Kalau dia cuma di sini, kasihan tidak ada temannya. Kami akan carikan pasangannya di PPS Tasikoki supaya dia bisa berkembang biak. Kalau mau lihat, bisa ke Tasikoki. Kami janji akan rawat baik-baik,” bujuk Yakub.
Keberadaan kakatua jambul kuning kini terancam secara kritis (critically endangered) menurut kriteria Perserikatan Konservasi Alam Dunia (IUCN). Satwa itu berasal dari Sulawesi dan kepulauan sekitarnya serta jajaran pulau Nusa Tenggara. Jumlahnya kini diduga hanya di kisaran ratusan.
Baca juga :Pertama di Dunia, 11 Monyet Hitam Sulawesi Bakal Dilepasliarkan
Joko juga berusaha meyakinkan anaknya. ”Ini bukan keputusan Bapak, Nak. Kalau Kaka tetap di sini, artinya Bapak melanggar hukum. Ndakpapa, ya, kita lepas,” katanya sambil membelai kepala putrinya.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulut sang anak untuk merespons bujukan dan hiburan. Hanya anggukan dan senyum yang ia paksa di tengah isak tangisnya. Negosiasi pun menemui ujungnya. Kaka akan dibawa pergi.
”Mohon maklum. Dia (Kaka) sudah ada sejak anak saya yang pertama kelas IV SD sampai sekarang sudah jadi anggota TNI AL dan dinas di Surabaya. Jadi, kira-kira sudah 10 tahun sejak saya dikasih teman. Jadi memang sudah lama sekali dan sudah sayang, sudah ada ikatan emosional,” kata Joko.
Namun, sebagai purnawirawan TNI yang taat hukum, Joko akhirnya menandatangani surat berita acara penyerahan satwa liar. Ia lalu mengeluarkan Kaka dari kandangnya untuk dipindahkan ke kandang transportasi. Kaka pun dimuat di mobil pikap. Mesin mobil menyala, dan Kaka pun berlalu, menyisakan kenangan 10 tahun bersama keluarga Joko.
Kaka adalah satu dari 10 ekor burung dilindungi yang berhasil diamankan tim gabungan BKSDA Sulut, Polda Sulut, dan Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Wilayah Sulawesi di Manado. Itu baru hari pertama dari rangkaian lima hari Operasi Pengamanan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) di Sulawesi Utara.
Delapan tahun lalu saya mau urus izin, dulu katanya tidak usah ada izin.
Para petugas harus tega terhadap para pemelihara satwa liar, tak jarang sampai berdebat. Jika memang pemelihara tak punya izin memelihara atau penangkaran, petugas tidak bisa memberi pilihan berdasar belas kasihan. Satwa liar yang didapat harus dibawa. Kecintaan pada satwa liar saja tak cukup jadi alasan memelihara.
Aswan Idrak (55), misalnya, seorang penyidik pegawai negeri sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, kedapatan memelihara kakatua jambul putih tanpa izin di rumahnya di Wanea, Manado. ”Delapan tahun lalu saya mau urus izin, dulu katanya tidak usah ada izin,” dia mengajukan alasan.
Hari Sabirin, pengendali ekosistem hutan (PEH) dalam tim operasi, mengatakan, itu aturan delapan tahun lalu. ”Belakangan, dia sudah masuk daftar di Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018, Pak. Tidak boleh dipelihara,” kata Hari tentang burung berstatus dalam bahaya (endangered) menurut IUCN itu.
Saat tim gabungan akan membawa kakatua miliknya, Aswan meminta dispensasi. ”Saya butuh waktu dulu. Sudah 15 tahun saya rawat burung ini. Nanti hari Senin (7/9/2020) saya bawa sendiri ke kantor BKSDA Sulut. Niat saya positif, kok. Saya sayang, hewan ini tidak saya sakiti,” katanya kepada rombongan tim gabungan.
Baca juga : Perdagangan Satwa Dilindungi Mengkhawatirkan
Tim sempat melunak dan mengiyakan permohonan Aswan. Namun, Djenly dan Handry Israel (50), dua polisi hutan, membatalkan kesepakatan. Kakatua harus dibawa sekarang. ”Lho, kan tadi sudah sepakat?” kata Aswan, nada bicaranya meninggi.
Seorang polisi dalam rombongan terjun dalam perdebatan. ”Pak, ini operasi. Bapak kedapatan bersalah. Sama halnya dengan ditilang. Kalau ketahuan tidak bawa SIM, tidak mungkin izin ambil dulu SIM di rumah,” katanya.
Perdebatan diakhiri dengan Aswan yang mengalah. Menurut Djenly, tim tidak bisa memberikan dispensasi, apalagi selama dua hari. ”Bisa saja nanti dia manipulasi, dia tukar burungnya dengan burung lain, atau dia malah lari menyembunyikan,” kata Djenly.
Ada kalanya tim tak mendapatkan penolakan, seperti ketika mereka mendatangi rumah Yosias Wantania (64) di Dimembe, Minahasa Utara. Pemilik restoran itu memelihara dua kakatua, dua nuri, dan seekor beo yang semuanya dilindungi. Kaki-kaki burung itu terikat oleh rantai.
Saya tahu, sih, burung-burung ini dilindungi. Tetapi, namanya hobi, ya, saya diam saja.
”Ya, sudah bawa saja, tidak apa-apa. Saya tahu, sih, burung-burung ini dilindungi. Tetapi, namanya hobi, ya, saya diam saja. Yang penting mereka tidak saya siksa,” katanya.
Di akhir hari, tim gabungan operasi itu mendapatkan dua kakatua jambul kuning dan tiga kakatua jambul putih (Cacatua alba). Mereka juga mendapatkan nuri talaud (Eos histrio), nuri kepala hitam (Lorius lory), nuri maluku (Eos bornea), nuri bayan (Eclectus roratus), dan beo (Gracula religiosa) masing-masing seekor.
Hewan-hewan itu berasal dari sejumlah daerah, seperti Maluku, Kalimantan, dan Papua. Rata-rata pemilik hewan mengatakan mereka mendapatkannya dari seorang teman. Ada pula yang mengaku membeli dengan harga sekitar Rp 1,5 juta saja.
Burung-burung yang sudah dipelihara 5-15 tahun itu pun telah kehilangan sifat liarnya. Karena itu, mereka akan direhabilitasi di PPS Tasikoki. Menurut Annisa Devi Rachmawati, dokter hewan di PPS Tasikoki, burung-burung itu akan dirawat di dalam kandang habituasi sampai sifat liarnya kembali, salah satunya tidak bisa lagi menirukan perkataan manusia.
Galeri foto :Satwa Liar Direhabilitasi di Tasikoki, Minahasa Utara, Sebelum Dilepasliarkan
Burung-burung ini termasuk dalam 3.538 spesies burung asli Indonesia, bagian dari 47.910 spesies yang membentuk keanekaragaman ekosistem di Indonesia. Willie Smits, Ketua Yayasan Masarang yang membawahkan PPS Tasikoki, mengatakan, Indonesia menderita kerugian finansial sampai 6 miliar dollar AS karena perdagangan satwa liar.
Willie mengaku, suatu saat ia berharap PPS Tasikoki bisa ditutup. ”Tentu saja ditutup karena perdagangan satwa liar sudah bisa diatasi, bukan karena satwa liar sudah punah,” ujarnya.
Entah berapa jumlah satwa liar yang masih dipelihara dan diperdagangkan secara ilegal. Tim gabungan dalam Operasi Pengamanan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar di Sulut masih akan beraksi, membujuk para pencinta satwa liar untuk membuktikan cintanya dengan cara membebaskannya dari kurungan kandang dan ikatan rantai.