Antisipasi Erupsi Saat Pandemi, Pengungsian Diatur sesuai Protokol Kesehatan
Upaya mitigasi bencana erupsi Gunung Merapi harus memperhatikan protokol pencegahan Covid-19. Tempat pengungsian di sekitar gunung api itu harus diatur agar sesuai dengan protokol kesehatan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Upaya mitigasi bencana erupsi Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta harus memperhatikan protokol pencegahan Covid-19. Salah satu yang harus disiapkan adalah pengaturan tempat pengungsian mengacu protokol kesehatan untuk mencegah penularan penyakit Covid-19 di pengungsian.
”Kita harus melakukan mitigasi atau perencanaan apabila pada saat yang bersamaan, harus menghadapi bencana alam dan bencana nonalam seperti pandemi Covid-19,” kata epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, dalam webinar ”Erupsi Besar Merapi Tahun 2010: Sebuah Refleksi di Masa Pandemi”, Jumat (11/9/2020).
Seperti diketahui, Gunung Merapi berstatus Waspada (Level II) sejak 21 Mei 2018. Selama sekitar dua tahun terakhir, Merapi telah mengalami beberapa kali erupsi. Namun, dalam periode itu, erupsi yang terjadi di Merapi belum membahayakan warga yang bermukim di lereng gunung api tersebut. Meski begitu, upaya mitigasi untuk mengantisipasi erupsi yang lebih besar juga mesti disiapkan.
Riris menjelaskan, hingga saat ini, pemerintah belum memiliki protokol pencegahan Covid-19 di tengah situasi bencana alam. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya erupsi Merapi, pemerintah dan para pemangku kepentingan lain harus segera menyiapkan protokol pencegahan Covid-19 yang secara khusus bisa diterapkan saat erupsi terjadi.
”Hingga saat ini, kita belum mempunyai protokol seperti itu. Kementerian Kesehatan pernah memberikan semacam guideline (pedoman), tetapi masih sangat umum,” ujar Riris yang juga Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.
Riris menuturkan, saat terjadi bencana alam, ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko penularan Covid-19. Salah satunya mobilitas orang yang terjadi karena sebagian warga harus mengungsi dari rumahnya agar terhindar dari bencana alam.
Selain mobilitas, kontak atau interaksi di antara warga di lokasi bencana atau di tempat pengungsian juga meningkatkan risiko penularan Covid-19. ”Stres, kelelahan, dan kondisi psikologis yang menurun juga membuat pengungsi lebih berisiko tertular Covid-19,” papar Riris.
Dia menambahkan, salah satu hal yang harus diantisipasi saat terjadi bencana alam di tengah pandemi Covid-19 adalah kesulitan masyarakat menerapkan aturan social distancing (pembatasan sosial). Padahal, pembatasan sosial merupakan salah satu protokol penting mencegah penularan Covid-19.
”Salah satu yang sulit dilakukan dalam situasi kebencanaan adalah social distancing karena orang dipindahkan (mengungsi) secara bersamaan dalam waktu singkat dan dilokalisasi di tempat yang crowded (ramai),” tuturnya.
Salah satu hal yang harus diantisipasi saat terjadi bencana alam di tengah pandemi Covid-19 adalah kesulitan masyarakat menerapkan aturan social distancing (pembatasan sosial).
Atur pengungsian
Agar aturan jaga jarak bisa diterapkan dengan baik saat bencana alam, harus ada perubahan dalam pengaturan tempat pengungsian. Riris menyebut, jumlah tempat pengungsian harus diperbanyak sehingga pengungsi tidak ditampung di satu atau dua tempat pengungsian saja.
Selain itu, kepadatan atau jumlah orang yang ditampung di setiap tempat pengungsian juga mesti dikurangi. Menurut Riris, dalam situasi pandemi, pengungsi lebih baik ditampung di tempat-tempat pengungsian berukuran kecil, bukan di satu tempat pengungsian berukuran besar.
”Jadi, pengungsian tidak dipusatkan di satu tempat yang besar, tapi di titik-titik kecil yang lebih banyak. Tentu saja ini akan membutuhkan resource (sumber daya) yang lebih banyak,” ujarnya.
Riris menambahkan, tempat pengungsian juga harus memiliki tempat karantina untuk mereka yang diduga telah terpapar Covid-19. Tempat karantina itu bisa dibuat di setiap lokasi pengungsian atau dibuat satu tempat karantina untuk beberapa lokasi pengungsian.
”Mereka yang memiliki gejala Covid-19 harus dipisahkan dari yang lain dengan ditempatkan di tempat karantina,” katanya.
Akses keluar masuk di lokasi pengungsian juga mesti dibatasi agar penularan Covid-19 bisa diminimalkan. Di sisi lain, petugas juga perlu membuat sistem untuk memantau interaksi di tempat pengungsian. Hasil pemantauan itu sangat penting untuk memudahkan penelusuran kontak jika terjadi penularan Covid-19 di lokasi pengungsian.
Dengan adanya pandemi Covid-19, penanganan erupsi Merapi mesti melibatkan ahli kesehatan yang memahami protokol pencegahan Covid-19.
Riris menuturkan, saat bencana terjadi, mobilisasi sukarelawan dari zona merah sebaiknya dihindari agar risiko penularan Covid-19 tak meningkat. Selain itu, protokol kesehatan pencegahan Covid-19, misalnya pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan, juga mesti diterapkan secara ketat, baik oleh para sukarelawan maupun pengungsi.
Kepala Bidang Penanganan Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Danang Samsurizal mengatakan, dengan adanya pandemi Covid-19, penanganan erupsi Merapi mesti melibatkan ahli kesehatan yang memahami protokol pencegahan Covid-19. Keterlibatan ahli itu penting untuk memastikan seluruh tindakan penanggulangan bencana yang dilakukan benar-benar memenuhi protokol kesehatan.
Danang menambahkan, penerapan protokol kesehatan saat bencana alam bukan hanya bertujuan melindungi warga atau korban bencana. Penerapan protokol juga penting untuk mencegah petugas dan sukarelawan dari penularan Covid-19.
”Kalau ada petugas yang tertular Covid-19, nanti malah bisa menulari pengungsi,” katanya.
Kondisi Merapi
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida menuturkan, sejak 22 September 2019, Gunung Merapi beberapa kali mengalami erupsi yang didominasi gas. Hal ini menunjukkan adanya suplai magma baru dari dapur magma di Gunung Merapi.
Selain itu, sejak 22 Juni 2020, BPPTKG juga mengamati adanya deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh Gunung Merapi. Deformasi itu terlihat dari pemendekan jarak tunjam berdasar pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pemendekan jarak tunjam itu menunjukkan tubuh Merapi mengalami inflasi atau penggembungan.
Hanik mengatakan, sejak 22 Juni-9 September 2020, total pemendekan jarak tunjam berdasar pengukuran EDM di pos Babadan mencapai 18 sentimeter (cm). Artinya, rata-rata terjadi pemendekan jarak tunjam sebesar 0,32 cm. ”Laju deformasi saat ini masih lambat,” katanya.
Hanik menambahkan, deformasi di Gunung Merapi saat ini menunjukkan intrusi atau naiknya magma menuju permukaan. Intrusi magma itu bisa diikuti dua kemungkinan. Jika tekanan magma itu tidak cukup kuat, magma yang naik itu akan menjadi sumbatan yang bisa mengakhiri siklus aktivitas Merapi pada periode 2018-2020.
Namun, jika tekanan magma cukup kuat, Merapi bisa mengalami erupsi dengan pola yang diperkirakan mirip dengan erupsi 2006. ”Erupsi magmatik berikutnya diperkirakan akan mengikuti perilaku erupsi 2006. Indikasi intrusi magma berupa deformasi saat ini belum berimplikasi potensi bahaya. Potensi bahaya baru dapat dihitung ketika muncul kubah lava,” ujar Hanik.